China Vs AS: Tiongkok Punya Senjata Rahasia Mematikan!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 May 2020 18:43
INFOGRAFIS, Damai Perang Dagang As-China Berujung Kebuntuan
Foto: Infografis/Perang Dagang AS-China/Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sudah membuat dunia dilanda krisis kesehatan, kemudian memicu pelambatan ekonomi di berbagai negara hingga risiko terjadinya resesi global. Tidak sampai di situ, Covid-19 kini menimbulkan masalah baru, hubungan Amerika Serikat (AS) dan China kembali memburuk.

Presiden AS, Donald Trump menuduh China lalai dalam menangani Covid-19 hingga menjadi pandemi, kemudian menagih kompensasi, hingga berencana menaikkan bea masuk impor. Akibatnya, babak baru perang dagang kedua negara berisiko muncul kembali.

China tidak terlalu banyak merespons serangan AS, tetapi memiliki "senjata" yang bisa digunakan untuk menyerang balik AS, yaitu  'senjata' obligasi atau Treasury AS.

Per Februari lalu, China dilaporkan memiliki Treasury AS senilai US$ 1,092 triliun, menjadikannya negara pemegang obligasi terbesar kedua di dunia. China hanya kalah dari Jepang yang memiliki Treasury senilai US$ 1,268 triliun, sebagaimana dilansir Reuters.



Jika China melepas Treasury yang dimiliki, maka kurs dolar AS bisa jeblok, harga Treasury akan merosot dan yield-nya melesat naik, suku bunga juga akan terkerek naik, pada akhirnya ekonomi AS yang sudah merosot akibat pandemi Covid-19 akan semakin nyungsep. Tetapi jika hal tersebut juga akan memicu gejolak finansial global, dan tentunya akan berbalik memukul perekonomian China juga.

Oleh karena itu, kepala ekonomi ING Bank di China, Iris Pang, mengatakan China tidak akan melepas Treasury yang dimiliki dalam jumlah besar dan waktu singkat, kecuali mereka tidak punya pilihan lain. China dikatakan akan mempertimbangkan langkah-langkah lain, salah satunya mengurangi jumlah pembelian Treasury yang baru diterbitkan.

"Dalam beberapa bulan ke depan, China kemungkinan akan berhenti membeli Treasury untuk menunjukkan niatnya ke AS. Jika hal tersebut dilakukan, maka China bisa saja melepas Treasury AS setelahnya," kata Pang, sebagaimana dilansir South China Morning Post.

Bukan kali ini saja China dikabarkan akan menggunakan Treasury sebagai senjata melawan AS. Persis satu tahun yang lalu, China juga dikabarkan berencana melepas Treasury saat perang dagang kedua negara sedang panas-panasnya.

Memburuknya hubungan kedua negara bermula dari AS yang menuduh China menutup-nutupi wabah di awal kemunculannya sehingga kini wabah itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Tiongkok bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China.

"Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).

"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.

Tetapi Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi. Namun, Trump menyatakan dirinya belum bisa menentukan jumlah akhir dari biaya kompensasi tersebut. Tetapi ia menyebut nilainya lebih besar dari yang disebutkan oleh seorang editor media terkemuka Jerman yang baru-baru ini meminta China membayar ganti rugi ke Jerman senilai US$ 165 miliar atau sekitar RP 2.475 triliun untuk menutupi kerugian ekonomi Jerman akibat Covid-19.

"Jerman melihat beberapa hal, kami melihat beberapa hal juga," katanya, menurut AFP, Senin (27/4/2020). "Kami berbicara tentang lebih banyak uang daripada yang dibicarakan Jerman."



Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu.

"Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.

"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Terus diserang tentunya membuat China mulai gerah, dan mempertimbangkan langkah-langkah balasan jika benar AS kembali menaikkan bea impor atau membatalkan kesepakatan dagang fase I. Apapun itu, perang melawan Covid-19 

“Perang” melawan Covid-19 masih belum berakhir, jika perang dagang kedua negara kembali berkecambuk, perekonomian global diramal akan mengalami resesi dalam waktu yang panjang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.

"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.

L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape dan V-shape.

Merosotnya perekonomian global hingga mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 di tahun ini diprediksi bisa segera bangkit ketika Covid-19 berhasil dihentikan, oleh karenanya perekonomian diprediksi akan membentuk kurva V-shape. Tetapi banyak yang meragukan hal tersebut, dan kurva U-shape dikatakan lebih tepat, dimana perekonomian mengalami resesi dan agak lama berada di bawah sebelum akhirnya bangkit.

Sementara dalam L-shape perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular