
Jadi Korban Keganasan Dolar AS, Euro Anjlok 2% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang perkasa dalam beberapa hari terakhir, mata uang 19 negara (euro) menjadi salah satu korbannya. Euro sudah merosot dalam empat hari terakhir hingga menyentuh level terendah dalam 3 bulan terakhir.
Melansir data Refinitiv, hingga Senin kemarin euro membukukan pelemahan dengan total 2.03% ke US$ 1,1834. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 24 November 2020. Sementara pada perdagangan hari ini, Selasa (9/3/2021), pukul 14:24 WIB euro menguat 0,18% ke USR 1,1864. Meski menguat, euro terlihat rentang berbalik arah.
Dolar AS sedang perkasa, bahkan saat stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun akan cair di pekan ini. Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.
Tetapi nyatanya hingga saat ini the greenback masih perkasa. Penyebabnya, dengan cairnya stimulus tersebut maka laju pemulihan ekonomi AS akan terakselerasi, dan inflasi berisiko melesat.
Apalagi dengan pasar tenaga kerja yang terus menunjukkan penguatan. Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat pekan lalu melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 6,2% di bulan Februari dari sebelumnya 6,3%.
Kemudian perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) sebanyak 379.000 orang sepanjang Februari, jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya 166.000 orang. Data tersebut menjadi indikasi perekonomian AS mulai menggeliat.
Selain itu, rata-rata gaji per jam juga naik 0,2% dari bulan Januari yang naik 0,1%.
Kenaikan rata-rata gaji per jam tentunya bisa meningkatkan konsumsi yang berpeluang mendorong inflasi.
Hal tersebut membuat yield obligasi (Treasury) AS terus menanjak. Kemarin, yield Treasury AS tenor 10 tahun naik 4 basis poin ke 1,594%, masih berada di level tertinggi dalam satu tahun terakhir, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Kenaikan yield Treasury yang dipicu prospek pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing) bank sentral AS atau The Fed yang dapat memicu taper tantrum.
"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013-2015, saat itu indeks dolar AS melesat tajam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar AS Remuk, Euro Meroket ke Level Tertinggi 2,5 Tahun!