
Newsletter
Tahun Depan Mau Ngapain, Pak Jokowi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 August 2019 07:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melemah pada perdagangan kemarin. Isu ancaman resesi menjadi menjadi penyebab utama koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cs.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,16%. Meski melemah, tetap koreksi IHSG berkurang dengan signifikan karena pada penutupan perdagangan Sesi I penurunannya masih di kisaran 1%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,14%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga mampu menipiskan depresiasi lumayan signifikan.
Koreksi IHSG dan rupiah terlihat berkurang selepas tengah hari. Sepertinya pasar mulai mencerna data perdagangan internasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada Juli, ekspor terkontraksi alias turun 5,12% year-on-year (YoY) dan impor negatif 15,21% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan defisit tipis US$ 63,5 juta.
Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta.
Awalnya pasar tidak terlalu mereken data ini. Akan tetapi setelah diberi waktu, tampaknya defisit neraca perdagangan yang tipis itu mulai berdampak positif.
Data perdagangan mampu meringankan beban pasar keuangan Indonesia yang begitu berat karena sentimen eksternal yang negatif. Tema pasar keuangan global adalah ancaman resesi yang semakin nyata sehingga memangkas risk appetite investor.
Penyebabnya adalah persepsi risiko terhadap resesi yang kian tebal. Pasar mengendus pertanda resesi dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Untuk kali pertama sejak April 2007, yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dari yang 10 tahun. Yield jangka pendek yang lebih tinggi ketimbang jangka panjang disebut inversi (inverted yield).
Untuk tenor dua dan 10 tahun ini agak spesial. Sebab kali terakhir yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun, beberapa bulan kemudian meletus krisis keuangan global yang menyebabkan resesi.
Oleh karena itu, wajar jika investor benar-benar khawatir. Pasalnya selain inversi yield, aura resesi juga terlihat dari rilis data ekonomi di sejumlah negara.
Di China, harga rumah baru rata-rata naik 9,7% YoY pada Juli. Melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY dan menjadi laju paling lemah sejak Desember 2018.
Kemudian dari Jepang, output industri pada Juni turun 3,8% YoY pada Juni, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY. Secara bulanan, output industrial turun 3,3%, memburuk dibandingkan Mei yang naik 2%.
Data-data ekonomi yang gloomy plus inversi yield membuat investor semakin yakin bahwa ancaman resesi bukan main-main. Akibatnya, arus modal menjauhi pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,16%. Meski melemah, tetap koreksi IHSG berkurang dengan signifikan karena pada penutupan perdagangan Sesi I penurunannya masih di kisaran 1%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,14%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga mampu menipiskan depresiasi lumayan signifikan.
Koreksi IHSG dan rupiah terlihat berkurang selepas tengah hari. Sepertinya pasar mulai mencerna data perdagangan internasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada Juli, ekspor terkontraksi alias turun 5,12% year-on-year (YoY) dan impor negatif 15,21% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan defisit tipis US$ 63,5 juta.
Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta.
Awalnya pasar tidak terlalu mereken data ini. Akan tetapi setelah diberi waktu, tampaknya defisit neraca perdagangan yang tipis itu mulai berdampak positif.
Data perdagangan mampu meringankan beban pasar keuangan Indonesia yang begitu berat karena sentimen eksternal yang negatif. Tema pasar keuangan global adalah ancaman resesi yang semakin nyata sehingga memangkas risk appetite investor.
Penyebabnya adalah persepsi risiko terhadap resesi yang kian tebal. Pasar mengendus pertanda resesi dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Untuk kali pertama sejak April 2007, yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dari yang 10 tahun. Yield jangka pendek yang lebih tinggi ketimbang jangka panjang disebut inversi (inverted yield).
Untuk tenor dua dan 10 tahun ini agak spesial. Sebab kali terakhir yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun, beberapa bulan kemudian meletus krisis keuangan global yang menyebabkan resesi.
Oleh karena itu, wajar jika investor benar-benar khawatir. Pasalnya selain inversi yield, aura resesi juga terlihat dari rilis data ekonomi di sejumlah negara.
Di China, harga rumah baru rata-rata naik 9,7% YoY pada Juli. Melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY dan menjadi laju paling lemah sejak Desember 2018.
Kemudian dari Jepang, output industri pada Juni turun 3,8% YoY pada Juni, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY. Secara bulanan, output industrial turun 3,3%, memburuk dibandingkan Mei yang naik 2%.
Data-data ekonomi yang gloomy plus inversi yield membuat investor semakin yakin bahwa ancaman resesi bukan main-main. Akibatnya, arus modal menjauhi pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Mencoba Bangkit
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular