
Rupiah Kalah dari Ringgit Malaysia, Baht Terbaik di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melempem melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada empat hari pertama perdagangan 2023. Aliran modal asing yang masih keluar masuk membuat rupiah sulit menguat, padahal Indonesia menjadi salah satu negara yang diramal perekonomiannya masih tumbuh.
Melansir data Refinitiv, rupiah dalam 4 hari perdagangan melemah 0,26% ke Rp 15.605/US$. Sebagian mata uang utama Asia mampu menguat, ringgit Malaysia misalnya, penguatannya sebesar 0,34%.
Baht Thailand menjadi mata uang dengan kinerja paling impresif dengan melesat 1,65%.
Dunia diramal mengalami resesi pada tahun ini. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bahkan memprediksi sepertiga dunia akan mengalaminya.
"Kami memperkirakan sepertiga dari ekonomi dunia akan berada dalam resesi," kata Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).
Mesin utama pertumbuhan yaitu Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China, semuanya mengalami aktivitas yang melemah.
"Tahun 2023 akan lebih sulit dari tahun lalu karena ekonomi AS, Uni Eropa dan China akan melambat", pungkasnya.
Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi di tahun ini diprediksi masih akan cukup tinggi, yakni 5%.
Sektor manufaktur yang meningkatkan laju ekspansi di akhir 2022 memberikan optimisme ekonomi Tanah Air akan kuat menghadapi gelapknya dunia.
S&P Global awal pekan lalu melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia naik menjadi 50,9 pada Desember 2022, naik dari bulan sebelumnya 50,3.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.
Artinya, di penghujung 2022 sektor manufaktur Indonesia meningkatkan ekspansinya.
S&P Global melaporkan, peningkatan demand membuat output produksi meningkat, begitu juga dengan aktivitas pembelian serta perekrutan tenaga kerja.
"PMI Desember menunjukkan peningkatan kondisi sektor manufaktur Indonesia pada akhir 2022. Laju ekspansi output dan penjualan yang lebih cepat bersama dengan meredanya tekanan kenaikan harga menjadi perkembangan yang bagus, meski kenaikan produksi dan demand masih lemah," kata Jingyi Pan, Economics Associate Director at S&P Global Market Intelligence dalam rilisnya hari ini.
Jingyi juga melihat kenaikan harga output turun ke level terendah sejak Mei 2021, menunjukkan tekanan harga ke konsumen sudah melambat dan akan mendukung kenaikan demand ke depannya.
Namun, hal tersebut belum cukup mendongkrak kinerja rupiah. Masalahnya arah aliran modal asing yang masih berputar-putar.
Di pasar saham, dalam 4 hari perdagangan pekan ini investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih sekitar Rp 1,7 triliun. Sementara di pasar SBN sekunder dalam dua hari pertama perdagangan tercatat ada inflow sekitar Rp 2,5 triliun, melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko (DJPPR).
Fenomena tersebut sudah terjadi sejak akhir tahun lalu. Data pasar menunjukkan terjadi outflow hingga Rp 20,9 triliun di pasar saham, sementara di pasar SBN inflow sebesar Rp 25 triliun.
Pergerakan modal asing di pasar saham dan obligasi berlawan arah sejak awal tahun lalu. Ketika inflow terjadi di pasar saham, obligasi justru terjadi outflow yang masif. Kini, kebalikannya terjadi, rupiah pun menjadi kesulitan menguat. Apalagi dengan masalah tirisnya pasokan dolar AS akibat devisa hasil ekspor (DHE) yang tidak bertahan lama di dalam negeri.
Hal tersebut tercermin dari cadangan devisa yang menurun 7 bulan beruntun hingga Oktober tahun lalu, sementara neraca perdagangan mencatat surplus 31 bulan beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)