CNBC Indonesia Research

Puluhan Tahun "Kuasai" Dunia, China Jatuh ke Masa Tergelap!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 January 2023 07:15
Presiden Xi Jinping dan pencapaiannya di Tiongkok di bawah kepemimpinannya di Balai Pameran Beijing di ibu kota tempat Kongres Partai ke-20 akan diadakan di Beijing, Rabu, 12 Oktober 2022. (AP/Andy Wong)
Foto: Presiden Xi Jinping dan pencapaiannya di Tiongkok di bawah kepemimpinannya di Balai Pameran Beijing di ibu kota tempat Kongres Partai ke-20 akan diadakan di Beijing, Rabu, 12 Oktober 2022. (AP/Andy Wong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Siapa yang tidak kenal China, negara yang produk dagangannya ada di mana-mana. Negara dengan 1,4 miliar penduduk ini muncul sebagai kekuatan ekonomi baru mulai tahun 2000-an, tetapi kini memasuki era tergelap dalam beberapa dekade terakhir.

Awal abad milenium, pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) Negeri Tiongkok terus melejit, Italia menjadi yang pertama disalip, kemudian Prancis di 2005, Inggris dan Jerman juga dilibas.

Pada 2010, China menjungkalkan Jepang dan menjadi negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, di bawah Amerika Serikat (AS) dan bertahan hingga saat ini. Nilai PDB China pada 2021 tercatat sebesar US$ 17,73 triliun, sementara Amerika Serikat Sekitar US$ 23 triliun.

Produk "Made in China" yang membanjiri dunia menjadi salah satu penopang pertumbuhan tersebut.

China menjadi "penguasa" perdagangan dunia. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan yang konsisten mencatat surplus.

Defisit neraca perdagangan biasanya tercatat saat Hari Raya Imlek. Maklum saja China akan libur panjang merayakan tahun baru tersebut, sehingga ekspor pun mengalami penurunan.

Rekor tertinggi surplus perdagangan tercatat pada Agustus lalu, yakni sebesar US$ 101 miliar.

Dengan konsisten mencetak surplus, cadangan devisanya pun terus bertambah. Bahkan, China menjadi negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia, senilai US$ 3,1 triliun pada akhir November 2022, berdasarkan data Refinitiv.

Cadangan devisa tersebut lebih dari dua kali lipat ketimbang Jepang US$ 1,2 triliun yang berada di urutan kedua.

Data tersebut sudah menjadi bukti dominannya China di dunia dari sisi perdagangan PDB-nya pun menembus dua digit persentase sebelum terjadi krisis finansial global 2008.

Tapi itu dulu, kini China menghadapi masalah serius, pertumbuhan ekonominya diperkirakan akan rendah dalam beberapa tahun ke depan.

Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan bahwa ekonomi China tengah menuju 'new normal'. Menurutnya, China tidak bisa tumbuh dobel digit ke depannya.

"Mungkin long term growth-nya di sekitar 4%, jauh, (tapi) itu yang harus diantisipasi. Saya gak bicara tahun ini, tapi long term growth-nya bisa ke arah sana," ungkapnya Oktober lalu.

Survei Reuters terhadap 40 ekonom menunjukkan pada 2022 perekonomian China diperkirakan hanya tumbuh 3,2%, Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Pada 2020 lalu, PDB China tumbuh 2,2% saja, tetapi hal yang sama juga melanda dunia.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva juga mengungkapkan hal yang sama.

"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," kata Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Senin (2/1/2023).

Lonjakan baru kasus Covid yang diperkirakan terjadi di Negeri Tirai Bambu dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.

"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," katanya.

Belakangan ini tanda-tandanya sudah terlihat. Data dari pemerintah China menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada Desember 2022 sebesar 47, turun dari bulan sebelumnya 48.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya artinya kontraksi, dan di atasnya adalah ekspansi. PMI manufaktur sudah mengalami kontraksi dalam 3 bulan beruntun, versi pemerintah China.

Laporan dari Caixin lebih lama lagi, kontraksinya sudah dimulai sejak Agustus 2022. Data terbaru dari Caixin yang dirilis awal pekan ini menunjukkan angka 49 pada Desember, turun dari sebelumnya 49,4.

"Baik supply dan demand terus menunjukkan penurunan pada bulan lalu. Kejatuhan saat pandemi terus menyeret produksi dan penjualan, dengan subindeks output dan pesanan barang masih di bawah 50 dalam empat dan lima bulan beruntun" kata Wang Zhe, ekonom senior di Caixin Insight Group, dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip Investing, Senin (2/1/2023). 

Indonesia pun akan terkena imbasnya. Ketika ekonomi China melempem, artinya permintaan komoditas ke Indonesia tentunya juga berkurang.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke China pada periode Januari - November 2022 sebesar US$ 57,8 miliar. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 26,5% dari total ekspor.

"Durian runtuh" yang didapat Indonesia akibat tingginya harga komoditas kini terancam menyusut. Selain itu, rendahnya permintaan juga bisa berdampak ke industri dalam negeri, sebab China merupakan pasar ekspor utama Indonesia. Sehingga, era tergelap yang dihadapi China akan turut menarik Indonesia ke dalamnya.

(pap/pap)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation