
Newsletter
Tahun Depan Mau Ngapain, Pak Jokowi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 August 2019 07:12

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang sudah jauh lebih kalem ketimbang kemarin. Semoga ketenangan Wall Street bisa menjadi mood booster bagi pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, ancaman resesi sebenarnya masih belum bisa dipandang sebelah mata. Meski yield obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun sudah tidak lagi mengalami inversi, tetapi masih ada inversi untuk tenor-tenor lainnya.
Misalnya, yield obligasi AS tenor 3 bulan saat ini berada di 1,8921%, jauh di atas yang 10 tahun. Demikian pula yang bertenor 1 tahun, masih di atas yang 10 tahun.
Oleh karena itu, situasi belum sepenuhnya normal. Masih ada hal yang berpotensi mengganggu kedamaian. Investor harus tetap memasang kuda-kuda, tidak boleh lengah.
Sentimen ketiga adalah perang dagang AS-China yang belum juga mendingin. Ada kemungkinan China panas mendengar pernyataan Trump.
Sejak pekan lalu, ada tendensi China membalas dengan mendevaluasi nilai tukar yuan. Jadi perang dagang dan perang mata uang masih menjadi risiko yang nyata di depan mata. Semoga AS dan China jadi bertemu di Washington pada awal bulan depan dan mampu meredakan kekhawatiran dunia.
Sentimen keempat adalah harga minyak yang melemah lumayan dalam. Pada pukul 06:42 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 1,75% dan 0,71%.
Hantu ancaman resesi masih menggelayuti si emas hitam. Jika dunia sampai terjerumus ke jurang resesi, maka aktivitas ekonomi tentu mengerut sehingga permintaan energi berkurang.
Namun pelemahan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi Indonesia. Sebab penurunan harga minyak akan membuat impor komoditas ini lebih murah sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account). Rupiah akan punya fondasi yang lebih kuat.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Pelaku pasar perlu mencermati RAPBN 2020 untuk mengetahui arah kebijakan fiskal ke depan. Utamanya adalah bagaimana upaya pemerintah untuk menggenjot konsumsi domestik.
Jujur saja, sulit untuk mengandalkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Perang dagang AS-China, apalagi muncul kekhawatiran resesi, akan membuat kinerja ekspor tertekan.
Oleh karena itu, kunci untuk membuka sumber pertumbuhan ekonomi adalah dari dalam negeri yaitu konsumsi. Bank Indonesia (BI) sudah mencoba mendorong konsumsi dengan penurunan suku bunga acuan. Bahkan ada kemungkinan BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak hanya turun sekali tahun ini.
Pasar menantikan apa yang akan dilakukan otoritas fiskal. Jangan sampai BI turun sendirian ke lantai dansa, karena it takes two to Tango. Pemerintah juga harus mengimbangi dengan aksi yang nyata, berbekal APBN yang nilainya ribuan triliun rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Kedua, ancaman resesi sebenarnya masih belum bisa dipandang sebelah mata. Meski yield obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun sudah tidak lagi mengalami inversi, tetapi masih ada inversi untuk tenor-tenor lainnya.
Misalnya, yield obligasi AS tenor 3 bulan saat ini berada di 1,8921%, jauh di atas yang 10 tahun. Demikian pula yang bertenor 1 tahun, masih di atas yang 10 tahun.
Oleh karena itu, situasi belum sepenuhnya normal. Masih ada hal yang berpotensi mengganggu kedamaian. Investor harus tetap memasang kuda-kuda, tidak boleh lengah.
Sentimen ketiga adalah perang dagang AS-China yang belum juga mendingin. Ada kemungkinan China panas mendengar pernyataan Trump.
Sejak pekan lalu, ada tendensi China membalas dengan mendevaluasi nilai tukar yuan. Jadi perang dagang dan perang mata uang masih menjadi risiko yang nyata di depan mata. Semoga AS dan China jadi bertemu di Washington pada awal bulan depan dan mampu meredakan kekhawatiran dunia.
Sentimen keempat adalah harga minyak yang melemah lumayan dalam. Pada pukul 06:42 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 1,75% dan 0,71%.
Hantu ancaman resesi masih menggelayuti si emas hitam. Jika dunia sampai terjerumus ke jurang resesi, maka aktivitas ekonomi tentu mengerut sehingga permintaan energi berkurang.
Namun pelemahan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi Indonesia. Sebab penurunan harga minyak akan membuat impor komoditas ini lebih murah sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account). Rupiah akan punya fondasi yang lebih kuat.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Pelaku pasar perlu mencermati RAPBN 2020 untuk mengetahui arah kebijakan fiskal ke depan. Utamanya adalah bagaimana upaya pemerintah untuk menggenjot konsumsi domestik.
Jujur saja, sulit untuk mengandalkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Perang dagang AS-China, apalagi muncul kekhawatiran resesi, akan membuat kinerja ekspor tertekan.
Oleh karena itu, kunci untuk membuka sumber pertumbuhan ekonomi adalah dari dalam negeri yaitu konsumsi. Bank Indonesia (BI) sudah mencoba mendorong konsumsi dengan penurunan suku bunga acuan. Bahkan ada kemungkinan BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak hanya turun sekali tahun ini.
Pasar menantikan apa yang akan dilakukan otoritas fiskal. Jangan sampai BI turun sendirian ke lantai dansa, karena it takes two to Tango. Pemerintah juga harus mengimbangi dengan aksi yang nyata, berbekal APBN yang nilainya ribuan triliun rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular