
Juli 2019: Neraca Dagang Migas Membaik, Nonmigas Makin Lesu
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 August 2019 14:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca dagang Indonesia sepanjang periode Januari-Juli 2019 tercatat defisit sebesar US$ 1,89 miliar.
Angka defisit tersebut menipis sebesar 40,9% dibanding periode Januari-Juli 2018 yang mencapai US$ 3,2 miliar.
Hal ini tentu menjadi berita baik untuk masyarakat Indonesia. Pasalnya, angka defisit yang semakin kecil dapat membuat perekonomian Indonesia tumbuh lebih cepat.
Penurunan nilai defisit perdagangan kali ini terjadi karena adanya penurunan impor yang cukup dalam.
Sepanjang tahun berjalan 2019 hingga akhir Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor baru sebesar US$ 97,68 miliar atau turun 9% dibanding periode Januari-Juli 2018 yang mencapai US$ 107,34 miliar.
Sementara itu, total nilai ekspor sepanjang Januari-Juli 2019 baru sebesar US$ 95,75 miliar atau turun sebesar 8,06% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari data tersebut dapat terlihat bahwa penurunan impor lebih tajam ketimbang penurunan ekspor. Tak heran apabila defisit neraca dagang Indonesia dapat membaik.
Sektor Migas Makin Ciamik
Ditilik lebih dalam, penurunan nilai impor yang begitu tajam lebih disebabkan oleh sektor minyak dan gas (migas).
Total impor migas sepanjang Januari-Juli 2019 sebesar US$ 12,64 miliar atau turun 24,42% dibanding periode yang sama tahun 2018. Adapun ekspor non migas hingga Juli 2019 sebesar US$ 88,07 miliar miliar atau turun 21,77% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Alhasil, nilai defisit migas hingga Juli hanya sebesar US$ 4,92 miliar yang artinya menipis 28,23% YoY.
Penipisan defisit migas besar disumbang oleh komponen hasil minyak. Pasalnya hingga Juli, BPS mencatat adanya kenaikan nilai ekspor hasil minyak sebesar 9,96% YoY menjadi US$ 1,03 miliar.
Kemungkinan besar peningkatan nilai ekspor hasil minyak bisa terjadi karena ada kenaikan ekspor biodiesel. Sebagaimana yang telah diketahui, pada tahun 2018, pemerintah Indonesia mencanangkan program B20 yang menggenjot penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Karena hal itu, berdasarkan data BPS pada tahun 2018 nilai ekspor biodiesel (HS 3826) Indonesia mencapai US$ 1,01 miliar. Naik 8,2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya US$ 123 juta. Tampaknya tren kenaikan ekspor biodiesel masih berlanjut hingga bulan Juli. Data terakhir yang dipublikasikan BPS mengatakan bahwa ekspor biodiesel RI sepanjang Januari-Mei 2019 telah mencapai US$ 320 juta.
Tidak hanya menggenjot ekspor, biodiesel juga berperan dalam menekan impor hasil minyak. Pasalnya, impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2019 hanya sebesar US$ 7,9 miliar atau turun hingga 19,05% YoY.
Kombinasi antara peningkatan ekspor dan penurunan impor membuat neraca hasil migas RI sepanjang Januari-Juli 2019 mengecil 22,11% YoY menjadi tinggal US$ 6,92 miliar.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa kinerja sektor migas RI semakin baik. Dengan kebijakan pemerintah yang mumpuni, neraca migas dapat diperbaiki. Terlebih pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo tengah mempercepat program B30 yang saat ini masih dalam tahap uji coba.
Akan tetapi cerita baik harus berhenti pada sektor migas.
Nonmigas Perlu Segera Diperbaiki
Pasalnya, sektor nonmigas Indonesia masih memperlihatkan penurunan kinerja perdagangan.
Sepanjang Januari-Juli 2019 neraca dagang nonmigas hanya mampu membukukan surplus sebesar US$ 3,02 miliar yang artinya turun 17,1%YoY. Pada periode yang sama tahun lalu, surplus nonmigas mencapai US$ 3,65 miliar.
Itu bisa terjadi karena adanya penurunan ekspor yang lebih tajam dibanding penurunan impor. Hingga Juli, ekspor turun 6,58% YoY sementara impor hanya berkurang 6,16% YoY. Wajar apabila neraca dagang nonmigas memburuk.
Penurunan ekspor nonmigas paling tajam terjadi pada komoditas pertambangan dan lainnya, yaitu sebesar 17,07% YoY menjadi US$ 14,53 miliar sepanjang Januari-Juli 2019.
Lagi-lagi Kepala BPS Suhariyanto menaruh perhatian pada harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang masih berada dalam tekanan.
Berdasarkan data Revinitif, harga batu bara acuan Newcastle telah terkoreksi sebesar 24,27% sepanjang Januari-Juli 2019. Faktor eksternal berperan sangat besar dalam menekan harga batu bara. Perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)-China membuat permintaan energi, yang salah satunya berasal dari batu bara ikut melambat.
Batu bara memiliki peran yang sangat besar pada kinerja perdagangan RI. Porsinya mencapai lebih dari 12% terhadap total ekspor nonmigas. Tak heran apabila kejatuhan harga batu bara berdampak cukup signifikan terhadap total ekspor
Sedangkan ekspor industri pengolahan pada periode yang sama hanya turun 4,28% YoY menjadi US$ 71,67 miliar. Ini menjadi bukti bahwa produk-produk yang bernilai tambah lebih tahan terhadap gejolak eksternal.
Untuk itu, pemerintah perlu segera memperbaiki kinerja industri pengolahan yang saat ini terus memburuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article RI Masih Tekor Dagang Sama Australia dan Thailand
Angka defisit tersebut menipis sebesar 40,9% dibanding periode Januari-Juli 2018 yang mencapai US$ 3,2 miliar.
Hal ini tentu menjadi berita baik untuk masyarakat Indonesia. Pasalnya, angka defisit yang semakin kecil dapat membuat perekonomian Indonesia tumbuh lebih cepat.
Penurunan nilai defisit perdagangan kali ini terjadi karena adanya penurunan impor yang cukup dalam.
Sepanjang tahun berjalan 2019 hingga akhir Juli, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor baru sebesar US$ 97,68 miliar atau turun 9% dibanding periode Januari-Juli 2018 yang mencapai US$ 107,34 miliar.
Sementara itu, total nilai ekspor sepanjang Januari-Juli 2019 baru sebesar US$ 95,75 miliar atau turun sebesar 8,06% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari data tersebut dapat terlihat bahwa penurunan impor lebih tajam ketimbang penurunan ekspor. Tak heran apabila defisit neraca dagang Indonesia dapat membaik.
Sektor Migas Makin Ciamik
Ditilik lebih dalam, penurunan nilai impor yang begitu tajam lebih disebabkan oleh sektor minyak dan gas (migas).
Total impor migas sepanjang Januari-Juli 2019 sebesar US$ 12,64 miliar atau turun 24,42% dibanding periode yang sama tahun 2018. Adapun ekspor non migas hingga Juli 2019 sebesar US$ 88,07 miliar miliar atau turun 21,77% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Alhasil, nilai defisit migas hingga Juli hanya sebesar US$ 4,92 miliar yang artinya menipis 28,23% YoY.
Penipisan defisit migas besar disumbang oleh komponen hasil minyak. Pasalnya hingga Juli, BPS mencatat adanya kenaikan nilai ekspor hasil minyak sebesar 9,96% YoY menjadi US$ 1,03 miliar.
Kemungkinan besar peningkatan nilai ekspor hasil minyak bisa terjadi karena ada kenaikan ekspor biodiesel. Sebagaimana yang telah diketahui, pada tahun 2018, pemerintah Indonesia mencanangkan program B20 yang menggenjot penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Karena hal itu, berdasarkan data BPS pada tahun 2018 nilai ekspor biodiesel (HS 3826) Indonesia mencapai US$ 1,01 miliar. Naik 8,2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya US$ 123 juta. Tampaknya tren kenaikan ekspor biodiesel masih berlanjut hingga bulan Juli. Data terakhir yang dipublikasikan BPS mengatakan bahwa ekspor biodiesel RI sepanjang Januari-Mei 2019 telah mencapai US$ 320 juta.
Tidak hanya menggenjot ekspor, biodiesel juga berperan dalam menekan impor hasil minyak. Pasalnya, impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2019 hanya sebesar US$ 7,9 miliar atau turun hingga 19,05% YoY.
Kombinasi antara peningkatan ekspor dan penurunan impor membuat neraca hasil migas RI sepanjang Januari-Juli 2019 mengecil 22,11% YoY menjadi tinggal US$ 6,92 miliar.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa kinerja sektor migas RI semakin baik. Dengan kebijakan pemerintah yang mumpuni, neraca migas dapat diperbaiki. Terlebih pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo tengah mempercepat program B30 yang saat ini masih dalam tahap uji coba.
Akan tetapi cerita baik harus berhenti pada sektor migas.
Nonmigas Perlu Segera Diperbaiki
Pasalnya, sektor nonmigas Indonesia masih memperlihatkan penurunan kinerja perdagangan.
Sepanjang Januari-Juli 2019 neraca dagang nonmigas hanya mampu membukukan surplus sebesar US$ 3,02 miliar yang artinya turun 17,1%YoY. Pada periode yang sama tahun lalu, surplus nonmigas mencapai US$ 3,65 miliar.
Itu bisa terjadi karena adanya penurunan ekspor yang lebih tajam dibanding penurunan impor. Hingga Juli, ekspor turun 6,58% YoY sementara impor hanya berkurang 6,16% YoY. Wajar apabila neraca dagang nonmigas memburuk.
Penurunan ekspor nonmigas paling tajam terjadi pada komoditas pertambangan dan lainnya, yaitu sebesar 17,07% YoY menjadi US$ 14,53 miliar sepanjang Januari-Juli 2019.
![]() |
Lagi-lagi Kepala BPS Suhariyanto menaruh perhatian pada harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang masih berada dalam tekanan.
Berdasarkan data Revinitif, harga batu bara acuan Newcastle telah terkoreksi sebesar 24,27% sepanjang Januari-Juli 2019. Faktor eksternal berperan sangat besar dalam menekan harga batu bara. Perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)-China membuat permintaan energi, yang salah satunya berasal dari batu bara ikut melambat.
Batu bara memiliki peran yang sangat besar pada kinerja perdagangan RI. Porsinya mencapai lebih dari 12% terhadap total ekspor nonmigas. Tak heran apabila kejatuhan harga batu bara berdampak cukup signifikan terhadap total ekspor
Sedangkan ekspor industri pengolahan pada periode yang sama hanya turun 4,28% YoY menjadi US$ 71,67 miliar. Ini menjadi bukti bahwa produk-produk yang bernilai tambah lebih tahan terhadap gejolak eksternal.
Untuk itu, pemerintah perlu segera memperbaiki kinerja industri pengolahan yang saat ini terus memburuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article RI Masih Tekor Dagang Sama Australia dan Thailand
Most Popular