Resesi dan Kebangkitan Proteksionisme dari Alam Kubur

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 10:10
Resesi dan Kebangkitan Proteksionisme dari Alam Kubur
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa hari terakhir, isu resesi ekonomi global santer terdengar dan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dunia. Hari ini, sentimen itu menebal dan membuat investor cemas bukan main. 

Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Street mengalami koreksi sangat dalam. Dow Jones Industrial Average anjlok 3,05%, S&P 500 amblas 2,93%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,02%. DJIA mencatat penurunan terdalam sejak Oktober tahun lalu. 


Penyebabnya apalagi kalau bukan kekhawatiran soal ancaman resesi. Sinyal ke arah sana terlihat dari inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Inversi berarti yield obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Investor meminta jaminan lebih untuk instrumen jangka pendek karena merasa ada risiko besar di depan mata. 

Berikut yield obligasi pemerintah AS berbagai tenor pada pukul 09:07 WIB: 



Bagai efek domino, kejatuhan Wall Street merembet ke Asia. Pada pukul 09:11 WIB, indeks Nikkei 225 anjlok 1,47%, Hang Seng turun 0,68%, Shanghai Composite ambruk 1,06%, Straits Times ambrol 1,41%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) amblas 1,03%. 

Tidak hanya di pasar saham mata uang Asia pun ramai-ramai melemah di hadapan dolar AS. Berikut  perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:13 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kalau dirunut-runut, sebenarnya apa yang menyebabkan ancaman resesi saat ini terasa begitu nyata? Jawabannya adalah proteksionisme perdagangan. 

Sejak AS dipimpin oleh Presiden Donald Trump, kebijakan perdagangan Negeri Paman Sam berubah drastis. Trump membatalkan keikutsertaan AS dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) karena dirinya tidak percaya dengan skema perjanjian multilateral. Alasan yang sama membuatnya menarik AS keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). 

Baca: VIDEO: Trump Kritik NAFTA & TPP

Sesuai dengan slogan America First, Trump sangat mengedepankan kepentingan AS. Sang presiden ke-46 itu membuat perjanjian bilateral dengan berbagai negara sebagai pengganti skema multilateral. Perjanjian-perjanjian itu sebisa mungkin menguntungkan Negeri Adidaya. 

Tidak hanya itu, Trump juga memahami posisi AS sebagai Negeri Adidaya, perekonomian terbesar di dunia. Daya tawar yang tinggi itu dipakainya untuk 'menginjak' negara-negara yang selama ini menurutnya terlalu banyak mengambil keuntungan dalam berdagang dengan AS. 

Sasaran utama Trump adalah China. Wajar, karena China adalah negara asal barang impor terbesar di AS. Sepanjang 2019 hingga semester I, AS mengalami defisit US$ 167 miliar kala berdagang dengan China. 

 

Atas nama melindungi industri dan lapangan kerja dalam negeri, Trump pun mulai berusaha membatasi masuknya produk made in China ke tanah AS. Caranya adalah dengan mengenakan bea masuk. Sejauh ini, AS sudah memberlakukan bea masuk terhadap US$ 250 miliar produk Negeri Tirai Bambu. 

Diperlakukan begitu rupa, China tentu tidak terima. China balas mengenakan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA. Total ada US$ 110 miliar importasi produk AS yang sudah dibebani bea masuk. 

Saling 'balas pantun' ini kemudian dikenal sebagai fenomena perang dagang AS-China. Sampai saat ini, friksi dagang kedua negara belum menemukan solusi. 

Baca: Goldman Sachs Hingga IMF Peringatkan Risiko Resesi Meningkat

Namun tidak hanya kepada China, AS juga 'galak' terhadap negara-negara yang dinilai membuat neraca perdagangan AS defisit. Jepang, Uni Eropa, bahkan para tetangganya seperti Meksiko dan Kanada tidak luput dari beban bea masuk. 

Kebijakan proteksionistis yang dianut Donald Trump seakan menjadi kenormalan baru (the new normal). Dengan dalih balas dendam, berbagai negara ikut menerapkan bea masuk kepada produk-produk AS. Proteksionisme seolah menjadi tren, globalisasi menjadi tidak penting lagi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akibat saling hambat perdagangan, arus barang dan rantai pasok (supply chain) global mengalami gangguan. Saat perdagangan lesu, maka pertumbuhan ekonomi sulit untuk dipacu. Jika situasi terus seperti ini, atau bahkan semakin parah, resesi memang tinggal menunggu waktu. 

Jadi jangan heran isu resesi menjadi momok di pasar keuangan global. Sebab ada tendensi menuju ke sana... 


Proteksionisme perdagangan bukan barang baru, bahkan sudah ada sejak cukup lama. Kala Depresi Besar (Great Depression) 1930-an, berbagai negara memilih untuk menyelamatkan diri masing-masing dengan membatasi impor guna menggerakkan industri dalam negeri dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja. 

Cara membatasi impor kala itu sama seperti sekarang. Memberlakukan bea masuk, mengenakan kuota, dan semacamnya. 

Kini, proteksionisme seakan bangkit dari kubur. Sosok yang menggali makam proteksionisme tidak lain adalah Donald John Trump.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular