Newsletter

Resesi, Resesi, dan Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 05:06
Resesi, Resesi, dan Resesi
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Sentimen eksternal yang positif menjadi pendorong penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah. 

Kemarin, IHSG mengakhiri perdagangan dengan penguatan lumayan tajam yaitu 0,91%. IHSG menjadi salah satu indeks saham terbaik di Asia, hanya kalah dari Nikkei 225 yang menguat 0,98% dan Sensex India yang naik 0,96%. 


Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,52% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah bahkan menjadi mata uang terkuat di Asia. 


Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya minat investor. 

Dari dalam negeri, IHSG cs punya momentum menguat setelah melemah selama dua hari beruntun. Dalam dua hari tersebut, pelemahan rupiah mencapai nyaris 1% tepatnya 0,92%, IHSG anjlok 1,13%, dan yield obligasi pemerintah 10 tahun naik 15,3 bps. 

Oleh karena itu, mungkin sebagian investor melihat IHSG, rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN) sudah terlalu murah. Ini membuat investor terdorong melakukan aksi beli. 

Sementara dari sisi eksternal, ini yang paling utama, sepertinya risk appetite investor sudah pulih seiring harapan perbaikan hubungan AS-China. Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menunda pemberlakuan bea masuk baru sebesar 10% untuk importasi produk-produk China. 

Bea masuk ini sedianya akan dieksekusi mulai 1 September. Namun Trump menundanya sampai 15 Desember. 

"Kami melakukan ini (menunda pemberlakuan bea masuk) untuk mengantisipasi Hari Natal, berjaga-jaga kalau ada dampak ke konsumen. Jadi kami menundanya sehingga tidak mempengaruhi musim belanja Natal," kata Trump, seperti dikutip Reuters. 

Trump mengambil keputusan ini tidak lama setelah mendapat laporan bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert 'Bob' Lighthizer melakukan pembicaraan via telepon dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, Menteri Perdagangan China Zhong Shan, dan Gubernur PBoC Yi Gang. "Kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembicaraan melalui telepon dua minggu lagi," sebut pernyataan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS. 

Jika AS dan China sepakat untuk saling menelepon lagi, maka dialog dagang di Washington awal bulan depan sangat mungkin terjadi. Apabila dialog itu membuahkan hasil positif, maka bisa jadi rencana pengenaan bea masuk 10% dibatalkan dan AS-China kembali menempuh jalan menuju damai dagang. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Meski kemarin ceria, tetapi hari ini sepertinya akan menegangkan. Pasalnya, ada berita buruk dari New York yang bisa membuat mood pelaku pasar hancur. 

Hari ini, Wall Street menutup perdagangan dengan koreksi yang amat dalam. Dow Jones Industrial Average anjlok 3,05%, S&P 500 amblas 2,93%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,02%. DJIA mencatat penurunan terdalam sejak Oktober tahun lalu. 


Penyebab kejatuhan bursa saham New York adalah kekhawatiran pelaku pasar akan risiko resesi yang semakin nyata. Rilis data ekonomi di sejumlah negara mengonfirmasi ketakutan tersebut. 

Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002. 


Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY. 

Beralih ke Jerman, pertumbuhan ekonomi Negeri Panser pada kuartal II-2019 adalah 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.  

Untuk keseluruhan 2019, pemerintah Jerman memperkirakan ekonomi tumbuh 0,5%. Tahun lalu, ekonomi Jerman tumbuh 1,5%. 


Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Benar saja, pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY. 

Jika perang dagang AS-China masih terus berlangsung, maka perekonomian global bisa semakin memburuk. Pasalnya, ketika AS dan China saling hambat dampaknya adalah rantai pasok global akan ikut rusak. 

Oleh karena itu, tidak heran isu resesi ekonomi global kembali mengemuka. Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif atau kontraksi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.  

Saat ini yang terjadi masih di taraf perlambatan ekonomi, belum resesi. Namun apabila tidak ada perbaikan, maka risiko resesi memang tidak bisa dikesampingkan. 


Data-data ekonomi yang suram ini diperparah dengan yield obligasi pemerintah AS yang mengalami inversi, yaitu yield jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Kali ini yang mengalami inversi adalah tenor 2 dan 10 tahun. 

Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi. 

"Semuanya negatif, tidak ada yang positif hari ini. Kita sudah melalui musim laporan keuangan (earnings season) sehingga pasar lebih digerakkan oleh berita-berita yang beredar," kata Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip dari Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja Wall Street yang ambruk. Kejatuhan Wall Street bisa membuat mood investor di pasar keuangan Asia drop bahkan sebelum perdagangan dimulai. Bahaya... 

Sentimen kedua adalah semakin kencangnya isu resesi global. Berinvestasi di instrumen-instrumen berisiko semakin rentan dan bukan pilihan utama. 

Saat ini, Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun berada di 98,83 bps, tertinggi sejak 18 Juni. Sedangkan CDS tenor 10 tahun adalah 166,96 bps, juga tertinggi sejak 18 Juni. 

CDS mencerminkan premi risiko obligasi pemerintah. Semakin tinggi CDS artinya semakin tinggi pula risiko gagal bayar alias default

Hari ini ada sejumlah rilis data ekonomi di beberapa negara seperti produksi Jepang, penjualan ritel Inggris, penjualan ritel AS, sampai produksi industri AS. Jika hasilnya mengecewakan, maka persepsi resesi akan semakin menebal dan investor kian menghindar dari aset-aset berisiko di negara berkembang, seperti Indonesia. 

Tanda-tanda investor memilih bermain aman adalah kenaikan harga emas. Pada pukul 04:27 WIB, harga emas dunia naik 1% ke US$ 1.516,08/troy ons, tertinggi sejak 2013. Emas adalah aset aman (safe haven) yang menjadi buruan kala perekonomian dilanda ketidakpastian. 


Sentimen ketiga adalah harga minyak yang anjlok. Pada pukul 04:29 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 3,65% dan 3,77%. 

Amblasnya harga si emas hitam apa lagi kalau bukan karena kecemasan akan resesi. Perlambatan ekonomi, ditambah ada risiko resesi, tentu akan membuat aktivitas ekonomi menurun sehingga permintaan energi berkurang. 

Selain itu, penurunan harga minyak juga disebabkan oleh kenaikan pasokan di AS. US Energy Information Adminstration mencatat stok minyak Negeri Adidaya pekan lalu naik 1,6 juta barel. 

Semestinya koreksi harga minyak bisa menjadi angin segar bagi rupiah. Sebab penurunan harga akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah, sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account). 

Namun kemungkinan penurunan harga minyak akan sulit menopang penguatan rupiah. Apa mau dikata, sepertinya investor lebih takut akan ancaman resesi... 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional periode Juli. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta. 


Defisit neraca perdagangan kali terakhir terjadi pada April, bahkan kala itu sangat dalam  mencapai US$ 2,29 miliar. Kemudian pada Mei, neraca perdagangan mampu berbalik surplus US$ 210 juta dan sebulan kemudian kembali surplus US$ 200 juta. 

Jika neraca perdagangan Juli benar-benar defisit, maka akan menjadi beban dalam mengarungi perekonomian kuartal III. Kalau sepanjang kuartal III neraca perdagangan terus-terusan tekor, maka defisit transaksi berjalan bakal semakin dalam dan menyulitkan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan penurunan suku bunga. 

"Kami memperkirakan suku bunga acuan masih bisa turun 75 bps lagi. Namun waktu pelaksanaannya akan tergantung pada perkiraan neraca pembayaran ke depan. Data neraca perdagangan dan eskalasi AS-China serta penurunan risk appetite di pasar keuangan tentu menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah rilis data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
  • Rilis data indeks harga rumah di China periode Juli (08:30 WIB).
  • Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juli (11:00 WIB).
  • Rapat Umum Pemegang Saham PT Multi Bintang Indonesia (11:00 WIB).
  • Rilis data produksi industri Jepang periode Juni (11:30 WIB).
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi membahas neraca perdagangan dan neraca pembayaran (14:30 WIB). Dilanjutkan dengan rapat koordinasi membahas perkembangan pembangunan smelter (17:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Inggris periode Juli (15:30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Juli (19:30 WIB).
  • Rilis data produksi industri AS periode Juli (20:15 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular