Newsletter

Resesi, Resesi, dan Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 05:06
Wall Street Karam!
Ilustrasi Bursa Saham New York (AP Photo/Richard Drew))
Meski kemarin ceria, tetapi hari ini sepertinya akan menegangkan. Pasalnya, ada berita buruk dari New York yang bisa membuat mood pelaku pasar hancur. 

Hari ini, Wall Street menutup perdagangan dengan koreksi yang amat dalam. Dow Jones Industrial Average anjlok 3,05%, S&P 500 amblas 2,93%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,02%. DJIA mencatat penurunan terdalam sejak Oktober tahun lalu. 


Penyebab kejatuhan bursa saham New York adalah kekhawatiran pelaku pasar akan risiko resesi yang semakin nyata. Rilis data ekonomi di sejumlah negara mengonfirmasi ketakutan tersebut. 

Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002. 


Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY. 

Beralih ke Jerman, pertumbuhan ekonomi Negeri Panser pada kuartal II-2019 adalah 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.  

Untuk keseluruhan 2019, pemerintah Jerman memperkirakan ekonomi tumbuh 0,5%. Tahun lalu, ekonomi Jerman tumbuh 1,5%. 


Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Benar saja, pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY. 

Jika perang dagang AS-China masih terus berlangsung, maka perekonomian global bisa semakin memburuk. Pasalnya, ketika AS dan China saling hambat dampaknya adalah rantai pasok global akan ikut rusak. 

Oleh karena itu, tidak heran isu resesi ekonomi global kembali mengemuka. Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif atau kontraksi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.  

Saat ini yang terjadi masih di taraf perlambatan ekonomi, belum resesi. Namun apabila tidak ada perbaikan, maka risiko resesi memang tidak bisa dikesampingkan. 


Data-data ekonomi yang suram ini diperparah dengan yield obligasi pemerintah AS yang mengalami inversi, yaitu yield jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Kali ini yang mengalami inversi adalah tenor 2 dan 10 tahun. 

Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi. 

"Semuanya negatif, tidak ada yang positif hari ini. Kita sudah melalui musim laporan keuangan (earnings season) sehingga pasar lebih digerakkan oleh berita-berita yang beredar," kata Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, seperti dikutip dari Reuters. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular