Newsletter

Resesi, Resesi, dan Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 05:06
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja Wall Street yang ambruk. Kejatuhan Wall Street bisa membuat mood investor di pasar keuangan Asia drop bahkan sebelum perdagangan dimulai. Bahaya... 

Sentimen kedua adalah semakin kencangnya isu resesi global. Berinvestasi di instrumen-instrumen berisiko semakin rentan dan bukan pilihan utama. 

Saat ini, Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun berada di 98,83 bps, tertinggi sejak 18 Juni. Sedangkan CDS tenor 10 tahun adalah 166,96 bps, juga tertinggi sejak 18 Juni. 

CDS mencerminkan premi risiko obligasi pemerintah. Semakin tinggi CDS artinya semakin tinggi pula risiko gagal bayar alias default

Hari ini ada sejumlah rilis data ekonomi di beberapa negara seperti produksi Jepang, penjualan ritel Inggris, penjualan ritel AS, sampai produksi industri AS. Jika hasilnya mengecewakan, maka persepsi resesi akan semakin menebal dan investor kian menghindar dari aset-aset berisiko di negara berkembang, seperti Indonesia. 

Tanda-tanda investor memilih bermain aman adalah kenaikan harga emas. Pada pukul 04:27 WIB, harga emas dunia naik 1% ke US$ 1.516,08/troy ons, tertinggi sejak 2013. Emas adalah aset aman (safe haven) yang menjadi buruan kala perekonomian dilanda ketidakpastian. 


Sentimen ketiga adalah harga minyak yang anjlok. Pada pukul 04:29 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 3,65% dan 3,77%. 

Amblasnya harga si emas hitam apa lagi kalau bukan karena kecemasan akan resesi. Perlambatan ekonomi, ditambah ada risiko resesi, tentu akan membuat aktivitas ekonomi menurun sehingga permintaan energi berkurang. 

Selain itu, penurunan harga minyak juga disebabkan oleh kenaikan pasokan di AS. US Energy Information Adminstration mencatat stok minyak Negeri Adidaya pekan lalu naik 1,6 juta barel. 

Semestinya koreksi harga minyak bisa menjadi angin segar bagi rupiah. Sebab penurunan harga akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah, sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account). 

Namun kemungkinan penurunan harga minyak akan sulit menopang penguatan rupiah. Apa mau dikata, sepertinya investor lebih takut akan ancaman resesi... 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional periode Juli. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta. 


Defisit neraca perdagangan kali terakhir terjadi pada April, bahkan kala itu sangat dalam  mencapai US$ 2,29 miliar. Kemudian pada Mei, neraca perdagangan mampu berbalik surplus US$ 210 juta dan sebulan kemudian kembali surplus US$ 200 juta. 

Jika neraca perdagangan Juli benar-benar defisit, maka akan menjadi beban dalam mengarungi perekonomian kuartal III. Kalau sepanjang kuartal III neraca perdagangan terus-terusan tekor, maka defisit transaksi berjalan bakal semakin dalam dan menyulitkan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan penurunan suku bunga. 

"Kami memperkirakan suku bunga acuan masih bisa turun 75 bps lagi. Namun waktu pelaksanaannya akan tergantung pada perkiraan neraca pembayaran ke depan. Data neraca perdagangan dan eskalasi AS-China serta penurunan risk appetite di pasar keuangan tentu menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular