
Kabar Buruk Terus Berdatangan, Apakah Resesi Sudah Dekat?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2019 12:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang enak datang dari Singapura. Kemarin, Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Singa untuk 2019 berada di kisaran 0-1%. Cukup jauh dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,5-2,5%.
Sebelumnya, kisah hampir sama datang dari Filipina. Pada kuartal II-2019, ekonomi Filipina tumbuh 'hanya' 5,5%. Ini menjadi laju paling lemah dalam empat tahun terakhir.
Indonesia? Sama saja. Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Tanah Air tercatat 5,05%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07%.
Padahal pada kuartal II-2019, ada momentum Ramadan, Idul Fitri, dan Pemilu yang mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Terbukti konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 5,17%, terbaik sejak kuartal I-2014.
Jadi apa yang salah? Ekspor. Sudah dua kuartal beruntun ekspor terkontraksi alias turun. Pada kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik mencatat ekspor negatif 1,81% dan kuartal sebelumnya minus 1,86%.
'Penyakit' serupa juga dialami Singapura. Sejak Oktober 2017, ekspor Singapura bergerak dalam tren menurun.
Dalam tiga bulan terakhir, ekspor Singapura selalu terkontraksi. Rantai defisit terpanjang sejak Juni-Oktober 2016.
Lemahnya sektor perdagangan adalah masalah dunia, seluruh negara mengalaminya. Bank Dunia memperkirakan arus perdagangan dunia tahun ini hanya tumbuh 2,6%, laju terlemah sejak krisis keuangan global. Saking lemahnya arus perdagangan global, sampai-sampai muncul persepsi bahwa dunia di ambang resesi.
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama. Mungkin dalam waktu dekat resesi masih belum terjadi, ekonomi global masih tumbuh. Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 2,6% tahun ini, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) punya proyeksi sedikit lebih optimistis yaitu 3,3%.
Akan tetapi, ada risiko besar yang jika tidak ditangani bisa benar-benar menjerumuskan dunia ke jurang resesi. Sebab, risiko itu bakal membuat arus perdagangan dan investasi global semakin terjerembab.
Apakah sebenarnya risiko itu?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sebelumnya, kisah hampir sama datang dari Filipina. Pada kuartal II-2019, ekonomi Filipina tumbuh 'hanya' 5,5%. Ini menjadi laju paling lemah dalam empat tahun terakhir.
Padahal pada kuartal II-2019, ada momentum Ramadan, Idul Fitri, dan Pemilu yang mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Terbukti konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 5,17%, terbaik sejak kuartal I-2014.
Jadi apa yang salah? Ekspor. Sudah dua kuartal beruntun ekspor terkontraksi alias turun. Pada kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik mencatat ekspor negatif 1,81% dan kuartal sebelumnya minus 1,86%.
'Penyakit' serupa juga dialami Singapura. Sejak Oktober 2017, ekspor Singapura bergerak dalam tren menurun.
Dalam tiga bulan terakhir, ekspor Singapura selalu terkontraksi. Rantai defisit terpanjang sejak Juni-Oktober 2016.
Lemahnya sektor perdagangan adalah masalah dunia, seluruh negara mengalaminya. Bank Dunia memperkirakan arus perdagangan dunia tahun ini hanya tumbuh 2,6%, laju terlemah sejak krisis keuangan global. Saking lemahnya arus perdagangan global, sampai-sampai muncul persepsi bahwa dunia di ambang resesi.
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama. Mungkin dalam waktu dekat resesi masih belum terjadi, ekonomi global masih tumbuh. Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 2,6% tahun ini, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) punya proyeksi sedikit lebih optimistis yaitu 3,3%.
Akan tetapi, ada risiko besar yang jika tidak ditangani bisa benar-benar menjerumuskan dunia ke jurang resesi. Sebab, risiko itu bakal membuat arus perdagangan dan investasi global semakin terjerembab.
Apakah sebenarnya risiko itu?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular