
Kabar Buruk Terus Berdatangan, Apakah Resesi Sudah Dekat?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2019 12:29

Perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Ya, itulah si risiko yang bisa membuat dunia jatuh ke resesi.
Sudah lebih dari setahun Washington dan Beijing terlibat perang urat syaraf di bidang perdagangan. Keduanya saling memproteksi pasar masing-masing dengan pengenaan bea masuk.
Atas nama melindungi ekonomi, industri, dan lapangan kerja domestik, Presiden AS, Donald Trump, sejak tahun lalu mengobarkan perang dagang melawan China. Berbagai produk China dibikin sulit menginjak tanah Negeri Adidaya. Sejauh ini, AS sudah memberlakukan bea masuk terhadap US$ 250 miliar produk made in China.
Diperlakukan begitu rupa, China tentu tidak terima. Negeri Tirai Bambu balas mengenakan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA. Total ada US$ 110 miliar importasi produk AS yang sudah dibebani bea masuk.
Sebenarnya perang dagang itu sudah merugikan kedua negara. Setelah tahun lalu tumbuh impresif, ekonomi AS tahun ini kemungkinan besar melambat. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi AS tercatat 3,1% dan melambat menjadi 2,1% pada kuartal berikutnya. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan ekonomi AS pada kuartal III-2019 hanya tumbuh 1,9%.
Ketika barang AS sulit masuk ke China, kinerja ekspor tentu akan terpukul. Maklum, China adalah negara tujuan ekspor terbesar ketiga bagi AS. Pada semester I-2019, nilai ekspor AS ke China adalah US$ 52 miliar.
Bagaimana dengan China? Tidak berbeda.
Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi China 'hanya' 6,2%. Laju terlemah sejak 1990.
"China menghadapi situasi yang rumit, tekanan ke bawah (downward pressure) semakin meningkat. Namun pertumbuhan ekonomi masih stabil dan sehat. Dampak dari perang dagang terhadap ekonomi masih terkontrol," kata Liu Aihua, Juru Bicara Biro Statistik Nasional China, seperti dikutip dari Reuters.
Pemerintah China boleh bilang begitu tetapi angka tidak bisa berbohong. AS adalah negara tujuan ekspor utama bagi China. Pada 2018, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 430,33 miliar. Jadi tidak heran ekonomi China terus melambat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Sudah lebih dari setahun Washington dan Beijing terlibat perang urat syaraf di bidang perdagangan. Keduanya saling memproteksi pasar masing-masing dengan pengenaan bea masuk.
Atas nama melindungi ekonomi, industri, dan lapangan kerja domestik, Presiden AS, Donald Trump, sejak tahun lalu mengobarkan perang dagang melawan China. Berbagai produk China dibikin sulit menginjak tanah Negeri Adidaya. Sejauh ini, AS sudah memberlakukan bea masuk terhadap US$ 250 miliar produk made in China.
Sebenarnya perang dagang itu sudah merugikan kedua negara. Setelah tahun lalu tumbuh impresif, ekonomi AS tahun ini kemungkinan besar melambat. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi AS tercatat 3,1% dan melambat menjadi 2,1% pada kuartal berikutnya. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan ekonomi AS pada kuartal III-2019 hanya tumbuh 1,9%.
Ketika barang AS sulit masuk ke China, kinerja ekspor tentu akan terpukul. Maklum, China adalah negara tujuan ekspor terbesar ketiga bagi AS. Pada semester I-2019, nilai ekspor AS ke China adalah US$ 52 miliar.
Bagaimana dengan China? Tidak berbeda.
Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi China 'hanya' 6,2%. Laju terlemah sejak 1990.
"China menghadapi situasi yang rumit, tekanan ke bawah (downward pressure) semakin meningkat. Namun pertumbuhan ekonomi masih stabil dan sehat. Dampak dari perang dagang terhadap ekonomi masih terkontrol," kata Liu Aihua, Juru Bicara Biro Statistik Nasional China, seperti dikutip dari Reuters.
Pemerintah China boleh bilang begitu tetapi angka tidak bisa berbohong. AS adalah negara tujuan ekspor utama bagi China. Pada 2018, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 430,33 miliar. Jadi tidak heran ekonomi China terus melambat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Rantai Pasok Global Rusak
Pages
Most Popular