Resesi dan Kebangkitan Proteksionisme dari Alam Kubur

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 10:10
Trump Jadikan Proteksionisme sebagai Tren Baru
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Kalau dirunut-runut, sebenarnya apa yang menyebabkan ancaman resesi saat ini terasa begitu nyata? Jawabannya adalah proteksionisme perdagangan. 

Sejak AS dipimpin oleh Presiden Donald Trump, kebijakan perdagangan Negeri Paman Sam berubah drastis. Trump membatalkan keikutsertaan AS dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) karena dirinya tidak percaya dengan skema perjanjian multilateral. Alasan yang sama membuatnya menarik AS keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). 

Baca: VIDEO: Trump Kritik NAFTA & TPP

Sesuai dengan slogan America First, Trump sangat mengedepankan kepentingan AS. Sang presiden ke-46 itu membuat perjanjian bilateral dengan berbagai negara sebagai pengganti skema multilateral. Perjanjian-perjanjian itu sebisa mungkin menguntungkan Negeri Adidaya. 

Tidak hanya itu, Trump juga memahami posisi AS sebagai Negeri Adidaya, perekonomian terbesar di dunia. Daya tawar yang tinggi itu dipakainya untuk 'menginjak' negara-negara yang selama ini menurutnya terlalu banyak mengambil keuntungan dalam berdagang dengan AS. 

Sasaran utama Trump adalah China. Wajar, karena China adalah negara asal barang impor terbesar di AS. Sepanjang 2019 hingga semester I, AS mengalami defisit US$ 167 miliar kala berdagang dengan China. 

 

Atas nama melindungi industri dan lapangan kerja dalam negeri, Trump pun mulai berusaha membatasi masuknya produk made in China ke tanah AS. Caranya adalah dengan mengenakan bea masuk. Sejauh ini, AS sudah memberlakukan bea masuk terhadap US$ 250 miliar produk Negeri Tirai Bambu. 

Diperlakukan begitu rupa, China tentu tidak terima. China balas mengenakan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA. Total ada US$ 110 miliar importasi produk AS yang sudah dibebani bea masuk. 

Saling 'balas pantun' ini kemudian dikenal sebagai fenomena perang dagang AS-China. Sampai saat ini, friksi dagang kedua negara belum menemukan solusi. 

Baca: Goldman Sachs Hingga IMF Peringatkan Risiko Resesi Meningkat

Namun tidak hanya kepada China, AS juga 'galak' terhadap negara-negara yang dinilai membuat neraca perdagangan AS defisit. Jepang, Uni Eropa, bahkan para tetangganya seperti Meksiko dan Kanada tidak luput dari beban bea masuk. 

Kebijakan proteksionistis yang dianut Donald Trump seakan menjadi kenormalan baru (the new normal). Dengan dalih balas dendam, berbagai negara ikut menerapkan bea masuk kepada produk-produk AS. Proteksionisme seolah menjadi tren, globalisasi menjadi tidak penting lagi. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular