It Takes Two to Tango, Tapi BI Sendirian di Lantai Dansa...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 July 2019 14:13
It Takes Two to Tango, Tapi BI Sendirian di Lantai Dansa...
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perlambatan ekonomi global adalah tema besar tahun ini. Seluruh dunia merasakannya, tidak terkecuali Indonesia. 

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal II-2019 tidak akan banyak berubah dibandingkan kuartal sebelumnya. Padahal kuartal II ada Ramadan, Idul Fitri, hingga Pemilu yang semestinya bisa mendongrak konsumsi.  

Sayang sekali, Indonesia kehilangan momentum itu. Jika hari ini sama dengan kemarin, maka sesungguhnya dia adalah orang yang merugi... 

Oleh karena itu, para pengambil kebijakan di seluruh negara sedang jungkir balik, pontang-panting, kaki di kepala-kepala di kaki, mencari cara untuk meredam perlambatan ekonomi. Berbagai cara dipelajari, tetapi yang menjadi fokus adalah mendorong dan meningkatkan permintaan domestik. 

Bukan tanpa alasan, karena ekspor agak sulit diandalkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan berbagai negara serta perlambatan ekonomi dunia membuat permintaan di luar negeri agak seret.  

Di Indonesia, puncak pertumbuhan ekspor adalah pada Juli 2017, mencapai 41%. Selepas itu ekspor terus melambat, bahkan sudah negatif alias terkontraksi sejak November 2018 sampai Juni 2019. Sedih... 





Oke, kunci untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi dalam negeri. Caranya banyak, tetapi salah satu yang paling populer adalah menurunkan suku bunga acuan. 

Dengan suku bunga acuan yang lebih rendah, maka likuiditas akan lebih banyak mengalir ke sistem perekonomian karena penurunan bunga kredit perbankan. Hasilnya (semoga) permintaan domestik akan meningkat. 

Inilah mengapa tren kebijakan moneter global saat ini mengarah ke longgar. Berbagai bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan, dan yang lainnya semakin kuat ke arah sana. 

Baca:
Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara

Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed, memang belum menurunkan suku bunga acuan. Namun sepertinya penurunan Federal Funds Rate dalam rapat komite pengambil kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) pada 31 Juli tidak bisa terhindarkan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin (bps) pada bulan ini adalah 55,9%. Sementara pemangkasan yang lebih agresif yaitu 50 bos punya kemungkinan 44,2%. 

Di sejumlah negara Asia, bank sentral yang sudah menurunkan suku bunga adalah di Malaysia, Filipina, Korea Selatan, India, dan teranyar Indonesia. Ya, Bank Indonesia (BI) baru kemarin menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 5,75%. Penurunan pertama sejak September 2017. 

Sejauh ini dunia menyaksikan baru bank sentral yang bergerak, berjuang untuk meredam perlambatan ekonomi dengan pelonggaran kebijakan moneter. Bagaimana di sisi fiskal? Apakah pemerintah juga sudah melakukan upaya yang optimal? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kalau melihat kasus Indonesia, sepertinya pemerintah belum terlalu terlibat dalam upaya meredam perlambatan ekonomi. Dari yang rutin saja yaitu belanja negara, terlihat masih business as usual. Belum ada sense of urgency. 

Pada semester I-2019, belanja negara tumbuh 4,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan semester I-2018 yaitu 5,67%.  

Well, untuk belanja yang rutin saja pemerintah belum bisa bergerak cepat. Agak sulit mengharapkan belanja yang lambat ini bisa menjadi stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Itu dari sisi yang rutin. Bagaimana dengan kebijakan tambahan alias extra effort

Banyak wacana yang dilemparkan pemerintah, misalnya berbagai insentif pajak. Ada rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan pengurangan penghasilan neto yang dikenakan pajak alias super dedectible tax


Bagaimana perkembangannya? Huft... 

Untuk penurunan tarif PPh Badan, sepertinya sulit untuk dieksekusi dalam waktu dekat. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin kebijakan ini berlaku 2019, tetapi butuh proses yang memakan waktu tidak sebentar. 

"Dalam formula sebuah RUU tentang perpajakan, tentu pertama internal dari pemerintah sendiri harus siapkan naskah akademis, kita harus koordinasi antar kementerian/lembaga, sehingga kemudian nanti Bapak Presiden akan sampaikan surat kepada DPR pengajuan rencana UU tersebut. Mekanismenya kemudian akan beralih di DPR. Ini nanti kita berkomunikasi dengan para pimpinan fraksi di dalam rangka kita bisa dapatkan momentum politik pembahasan dari berbagai masalah perpajakan," papar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, belum lama ini. 

Panjang kali lebar kali tinggi, itulah proses yang harus dilalui untuk menggolkan penurunan tarif PPh. Sulit berharap stimulus ini bisa segera berlaku untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Sementara untuk super deductible tax, Jokowi memang sudah menandatangani Peraturan Presiden No 45/2019. Namun beleid ini seolah menjadi macan ompong, tidak bisa dilaksanakan, karena belum ada aturan pelaksanaan yang lebih teknis. 

Sebenarnya pemerintah bisa menempuh cara cepat untuk mendorong permintaan. Misalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2019 pemerintah bisa mengajukan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Program BLT memang kontroversial, sering dibilang tidak mendidik dan menjatuhkan martabat rakyat. Namun senyinyir apapun komentar yang keluar, program ini efektif dan langsung berdampak terhadap daya beli rumah tangga. 

Pilihan pemerintah memang terbatas, segala kebijakan harus berdasarkan aturan yang wajib melalui proses politik di parlemen. Tidak seperti bank sentral yang bisa memutuskan suku bunga acuan tanpa konsultasi ke Senayan. 

Namun bukan berarti itu menjadi alasan pemerintah tidak melakukan apa-apa. Belanja negara harus dipercepat dan wajib tepat sasaran agar punya dampak stimulus terhadap perekonomian. Lalu berbagai rencana insentif harus dipercepat, dikawal prosesnya, dan segera dilaksanakan.  

Kemudian kalau pemerintah berani, ajukan program BLT dalam APBN-P 2019. Ini adalah kebijakan yang mengundang perdebatan, tetapi bisa mendorong konsumsi dengan instan. Toh, katanya Jokowi tidak punya beban lagi di periode kedua bukan? 

Pepatah mengatakan it takes two to tango, harus ada dua orang agar bisa menari tango. Sekarang baru BI yang turun ke lantai dansa, sementara pemerintah masih sibuk memilih baju...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular