Ooo... Jadi Ini Alasan Jokowi Siap 'Obral' Insentif Pajak..

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 July 2019 09:25
Ooo... Jadi Ini Alasan Jokowi Siap 'Obral' Insentif Pajak..
Presiden Joko Widodo (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu terakhir getol bicara soal insentif pajak. Eks Gubernur DKI itu mengusulkan setidaknya dua 'bonus' yaitu penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan insentif super deductible tax. 

Untuk tarif PPH Badan, Jokowi ingin menurunkan dari yang sekarang 25% menjadi sekitar 20%. Belum diketahui kapan kebijakan ini akan dieksekusi, dan apakah langsung atau bertahap. Namun rencana ke arah penurunan tarif agar lebih kompetitif dengan negara-negara tetangga ini sepertinya semakin matang. 

Baca:
Tarif PPh Badan (Katanya) Mau Turun, Untung atau Rugi Kah?

Sementara untuk deductible tax, Jokowi sudah menerbitkan Peraturan Presiden (PP) No 45/2019. Dalam beleid ini, insentif yang diberikan adalah berupa pengurangan penghasilan neto yang dikenakan pajak sampai 300%. 

Baca:
Wow! Insentif 'Super' Dirilis, Pengurangan Pajak Hingga 300%

Apa yang membuat Jokowi seolah mengobral insentif pajak? Bukankah insentif ini bisa membuat penerimaan negara berkurang sehingga mendatangkan risiko bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? 

Jawabannya agak panjang. Namun sesuatu yang panjang bisa dimulai dengan satu kalimat. 

Jadi begini... 

Seperti kita tahu perekonomian yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran terbagi dalam beberapa komponen. Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, konsumsi Lembaga Non-Pemerintah untuk Rumah Tangga (LNPRT), Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) alias investasi, dan net ekspor (ekspor minus impor).  

Dari komponen-komponen itu, penyumbang terbesar memang konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I-2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,82% terhadap pembentukan PDB. 

Namun konsumsi rumah tangga sangat tergantung dari investasi dan ekspor. Tanpa investasi dan ekspor, rumah tangga akan kehilangan sumber pendapatan alias mata pencarian sehingga tidak bisa melakukan konsumsi. Pada kuartal I-2019, investasi dan ekspor menyumbang masing-masing 32,17% dan 18,48% terhadap PDB. 

 

Nah, investasi dan ekspor ini utamanya digerakkan oleh dunia usaha. Para pengusaha melakukan ekspansi bisnis sehingga menambah investasi, melakukan ekspor, dan menciptakan lapangan kerja sehingga menjaga konsumsi rumah tangga. 

Bagi dunia usaha, yang mereka cari adalah efisiensi. Bagaimana mendapatkan keuntungan dengan cara paling murah, paling efisien. Kalau ada efisiensi, maka dunia usaha akan mau berinvestasi. 

Efisiensi adalah sebuah bangunan yang ditopang oleh tiga pilar besar. Pilar pertama adalah modal. Beberapa yang termasuk di sini adalah ketersediaan infrastruktur, pasokan energi, lahan, bahan baku, dan sebagainya. 

Kalau pengusaha mau membangun pabrik, tentu hal-hal itu sangat penting karena menunjang efisiensi. Apakah ada akses jalan? Apakah dekat dengan pelabuhan? Listriknya byar-pet atau tidak?  

Membangun pabrik kalau akses jalan tidak ada, pelabuhan jauhnya amit-amit, pasokan listrik Senin-Kamis sehingga harus menggunakan generator dan menambah biaya ya sama saja bohong. Tidak efisien alias boros. Rugi bandar. 

Pilar kedua adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM). Tenaga kerja yang terampil menjadi kunci. Kalau tidak ada pasokan SDM terampil di sekitar lokasi investasi, bisa saja pengusaha terpaksa merekrut tenaga kerja asing yang tentunya dibayar mahal. Ongkos lagi, apa kabar efisiensi? 

Pilar ketiga adalah teknologi. Dalam teknologi ada efisiensi, karena bisa menghasilkan output yang sama dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dikerjakan oleh manusia. 

Mendatangkan teknologi langsung dari luar negeri tidak murah. Oleh karena itu, dibutuhkan investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) sehingga kemudian terjadi transfer teknologi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Membangun tiga pilar itu adalah pekerjaan berat dan butuh waktu. Dimensinya jangka panjang. 

Untuk pilar pertama, oke pemerintahan Jokowi sudah jor-joran membangun infrastruktur. Namun apakah cukup? Sepertinya belum. 

Misalnya untuk kelistrikan. Jokowi punya target membangun pembangkit listrik dengan total kapasitas 35.000 MW. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan realisasi sampai 2019 hanya sekitar 57%. 

Baca:
Ditarget Jokowi Kelar 2019, Proyek 35 Ribu MW Molor ke 2028

Jadi ke depan modal infrastruktur ini masih perlu digenjot lagi. Akan tetapi tentu tidak bisa sebentar, butuh waktu dalam hitungan tahun. 

Bagaimana dengan pilar kedua yaitu SDM? Ini yang repot. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pekerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah yaitu 40,51%.  

 

Pemerintahan Jokowi juga sudah mencoba mengatasi isu ini. Ingat Jokowi sering mengatakan pentingnya pendidikan vokasi? Ini tujuannya, memperkecil jarak antara ketersediaan SDM dengan kebutuhan dunia usaha. Vokasi akan mencetak tenaga-tenaga terampil yang siap menjadi pilar kedua. 

Akan tetapi, lagi-lagi membangun vokasi secara masif butuh waktu dan biaya. Tidak bisa ujug-ujug, butuh proses. 

Pilar ketiga juga sama. Investasi asing tidak bisa langsung masuk banyak dan melakukan transfer teknologi. Butuh waktu, butuh proses. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara ketiga pilar ini perlu waktu, pengusaha butuh efisiensi sekarang. Tidak bisa ditunda, atau mereka juga akan menunda investasinya. Kalau pengusaha menunda investasinya, maka pertumbuhan ekonomi akan terancam. 

Jadi bagaimana caranya agar tercipta efisiensi dalam jangka pendek? Pajak. Berikan insentif pajak maka beban pengusaha akan berkurang saat itu juga, efisiensi langsung terjadi tanpa berlama-lama. 

Dengan insentif pajak, pengusaha langsung memiliki keleluasaan dalam neracanya. Uang yang awalnya harus disetorkan ke kas negara tidak perlu dibayarkan, sehingga bisa dipakai untuk ekspansi bisnis, menaikkan gaji karyawan, terserah. 

Dahsyatnya dampak insentif pajak sudah dirasakan oleh Amerika Serikat (AS). Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memangkas tarif PPh Badan dan Orang Pribadi. Hasilnya terlihat instan pada 2018. 

Bayangkan, ekonomi sebesar AS, terbesar di dunia, masih bisa tumbuh di kisaran 4%. Artinya insentif pajak membuka ruang bagi potensi ekonomi yang selama ini belum tergali. 

 

Tidak heran Jokowi siap memberikan berbagai insentif pajak. Selagi pilar-pilar efisiensi dibangun, Indonesia membutuhkan solusi jangka pendek yang bisa datang dari sisi fiskal.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular