Tarif PPh Badan (Katanya) Mau Turun, Untung atau Rugi Kah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 July 2019 12:11
Tarif PPh Badan (Katanya) Mau Turun, Untung atau Rugi Kah?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat agak marah kepada para menteri di Kabinet Kerja. Kemarahan eks Wali Kota Surakarta itu disebabkan masalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang tidak kunjung kelar. 

Merespons amarah Jokowi, sejumlah menteri menawarkan solusi untuk menekan defisit transaksi berjalan. Salah satunya adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan mengarah ke 20%. Saat ini tarif PPh Badan adalah 25% untuk yang memiliki peredaran bruto (omzet) di atas Rp 50 miliar/tahun. 

Penurunan tarif PPh Badan diharapkan dapat merangsang investasi untuk masuk ke Indonesia, terutama di sektor riil. Investasi yang masuk akan memperkuat industri dalam negeri, yang ujungnya adalah meningkatkan ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Hasilnya, defisit transaksi berjalan bisa diminimalkan. 



Namun, apakah benar demikian? Apakah urusan pajak saja bisa menjadi alasan investor menanamkan modalnya? 

Bank Dunia melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan di laporan berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018. Ternyata tarif pajak bukan alasan utama bagi investor dalam memilih lokasi penanaman modal. 

Dari 754 perusahaan itu, 19% menyatakan tarif pajak rendah sangat penting dan 39% menyebut penting. Sementara 31% bilang agak penting, 9% tidak penting, dan sisanya tidak tahu. 

Faktor yang paling menjadi perhatian investor adalah stabilitas politik dan keamanan, dengan 50% responden menganggapnya sangat penting dan 37% menilai penting. Faktor kedua adalah kepastian hukum dan perundangan, di mana 40% responden menyatakan sangat penting dan 46% menyebut penting. Kemudian faktor ketiga adalah pasar domestik yang besar, dengan 42% menilainya sangat penting dan 38% menganggapnya penting. 

Bank Dunia
 
Oleh karena itu, penurunan tarif pajak saja tidak cukup untuk menarik investasi, meningkatkan ekspor, mengurangi impor, dan kemudian menurunkan transaksi berjalan. Bahkan faktor pajak, menurut survei Bank Dunia, tidak lebih penting ketimbang stabilitas makroekonomi dan nilai tukar mata uang, ketersediaan tenaga kerja yang mumpuni, serta keandalan infrastruktur. 

Jadi sebelum menurunkan tarif pajak, ada baiknya pemerintah memperbaiki hal-hal yang sudah disebutkan tadi. Sebab kalau hanya mengandalkan pajak, rasanya akan sulit mencapai tujuan yang diharapkan Jokowi. 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Selain itu, penurunan tarif pajak juga pasti akan menurunkan penerimaan negara cukup signifikan. Pasalnya, PPh Badan adalah kontributor utama dalam penerimaan negara. 

Sepanjang Januari-Mei 2019, penerimaan PPh Badan tercatat Rp 109,68 triliun. Jumlah ini adalah 22,08% dari total penerimaan pajak yang sebesar Rp 496,65 triliun. 

Kalau tidak digenjot dari pos lain, sementara diasumsikan tidak ada penghematan di sisi belanja, maka defisit anggaran akan membengkak. Artinya, utang semakin bertambah.  


Saat ini saja utang pemerintah sudah mendekati 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Masih aman, karena jauh di bawah 60% PDB seperti amanat UU Keuangan Negara. Namun tren kenaikannya lumayan tajam, dan ini perlu menjadi perhatian. 

 

Transaksi berjalan dan anggaran negara yang defisit sering disebut sebagai twin deficit. Ini menjadi risiko besar, karena membuat pemerintah dan sektor swasta berlomba-lomba mendapatkan dana dari pasar untuk membiayai defisit tersebut. 

Akibatnya likuiditas di pasar mengkerut sehingga biaya dana semakin makin mahal. Pemerintah dan swasta akan menanggung beban berat kala mengakses pembiayaan dari pasar. Sebuah kondisi yang tentu sangat tidak ideal. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Meski belum tentu efektif dan berisiko membuat utang membengkak, tetap penurunan  tarif PPh Badan memang sangat menggoda. Belajar dari kasus Amerika Serikat (AS), pemangkasan tarif PPh sangat efektif mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memutuskan tarif PPh Badan turun dari 35% menjadi maksimal 26,5%. Korporasi AS menjadi bersemangat melakukan ekspansi sehingga meningkatkan penyerapan lapangan kerja. 

Tidak hanya investasi perusahaan, konsumsi rumah tangga di AS pun melonjak. Alhasil, AS mencapai pertumbuhan ekonomi yang impresif. 

Puncaknya, Negeri Paman Sam berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi 4,2% pada kuartal II-2018. Tertinggi sejak kuartal III-2014. 

 

Tingginya penyerapan tenaga kerja membuat angka pengangguran terus menurun. Sejak Juli 2018, angka pengangguran AS stabil di kisaran 3%. Bahkan pada November 2018 angka pengangguran yang sebesar 3,6% menjadi yang terendah sejak November 1969! 

Sekarang keputusan ada di tangan Pak Jokowi. Penurunan tarif PPh, jika melihat apa yang terjadi di AS, memang berhasil menggairahkan perekonomian. Namun di sisi lain, ada masalah defisit kembar yang juga harus menjadi perhatian. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular