
Kala Suku Bunga Tak Lagi ke Utara
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 June 2019 15:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalau membandingkan kondisi setahun lalu dengan sekarang, maka kita akan merasakan betapa cepatnya dunia berubah. Perubahan yang cepat ini menuntut seluruh pihak untuk menyesuaikan diri, termasuk bank sentral.
Ya, arah kebijakan moneter tahun lalu dengan sekarang sangat berbeda. Tahun lalu, sepertinya berbagai bank sentral berbondong-bondong mengerek suku bunga acuan.
Adalah Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves/The Fed, yang memicu 'huru-hara' ini. Sepanjang 2018, The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali, terbanyak sejak normalisasi kebijakan moneter ditempuh pada 2015.
Kebijakan moneter ekstra ketat ini bukan tanpa alasan. Tahun lalu, ekonomi AS bisa dibilang tumbuh 'ugal-ugalan'. Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintahan Presiden Donald Trump sangat efektif untuk mendorong ekspansi dunia usaha dan rumah tangga.
Puncak dampak pemangkasan tarif PPh terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi pada kuartal II-2018. Kala itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam mencapai 4,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly anualized). Laju tercepat sejak kuartal III-2014.
Apabila ekonom melaju terlalu cepat, maka risiko yang paling besar adalah terjadi overheating. Permintaan tumbuh terlalu cepat tanpa bisa diimbangi oleh sisi permintaan, sehingga menciptakan tekanan inflasi yang terlalu tinggi.
Oleh karena itu, The Fed bertindak sebagai rem agar ekonomi tidak terlalu ngebut dan kebablasan. Caranya adalah mencoba mengendalikan sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Namun kenaikan suku bunga acuan memiliki efek samping, yaitu membuat imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS melesat. Instrumen seperti obligasi pemerintah AS adalah aset aman (safe haven), jadi kalau imbalannya naik tentu semakin menarik. Sudah aman, cuan pula.
Arus modal pun menyemut di sekitar dolar AS. Tingginya minat pasar membuat dolar AS menjadi sangat kuat, bahkan menjadi raja mata uang dunia.
Dolar AS yang begitu kuat membuat mata uang negara lain tertekan. Akibatnya, berbagai bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal asing agar mata uang tidak melemah terlalu dalam.
Salah satunya adalah Bank Indonesia (BI). Demi menjaga agar pasar keuangan domestik tetap atraktif, BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali atau 175 basis poin (bps).
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Ya, arah kebijakan moneter tahun lalu dengan sekarang sangat berbeda. Tahun lalu, sepertinya berbagai bank sentral berbondong-bondong mengerek suku bunga acuan.
Adalah Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves/The Fed, yang memicu 'huru-hara' ini. Sepanjang 2018, The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali, terbanyak sejak normalisasi kebijakan moneter ditempuh pada 2015.
Kebijakan moneter ekstra ketat ini bukan tanpa alasan. Tahun lalu, ekonomi AS bisa dibilang tumbuh 'ugal-ugalan'. Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintahan Presiden Donald Trump sangat efektif untuk mendorong ekspansi dunia usaha dan rumah tangga.
Puncak dampak pemangkasan tarif PPh terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi pada kuartal II-2018. Kala itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam mencapai 4,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly anualized). Laju tercepat sejak kuartal III-2014.
Apabila ekonom melaju terlalu cepat, maka risiko yang paling besar adalah terjadi overheating. Permintaan tumbuh terlalu cepat tanpa bisa diimbangi oleh sisi permintaan, sehingga menciptakan tekanan inflasi yang terlalu tinggi.
Oleh karena itu, The Fed bertindak sebagai rem agar ekonomi tidak terlalu ngebut dan kebablasan. Caranya adalah mencoba mengendalikan sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Namun kenaikan suku bunga acuan memiliki efek samping, yaitu membuat imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS melesat. Instrumen seperti obligasi pemerintah AS adalah aset aman (safe haven), jadi kalau imbalannya naik tentu semakin menarik. Sudah aman, cuan pula.
Arus modal pun menyemut di sekitar dolar AS. Tingginya minat pasar membuat dolar AS menjadi sangat kuat, bahkan menjadi raja mata uang dunia.
Dolar AS yang begitu kuat membuat mata uang negara lain tertekan. Akibatnya, berbagai bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuan untuk menarik arus modal asing agar mata uang tidak melemah terlalu dalam.
Salah satunya adalah Bank Indonesia (BI). Demi menjaga agar pasar keuangan domestik tetap atraktif, BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali atau 175 basis poin (bps).
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Cerita yang Berbeda Tahun Ini
Pages
Most Popular