Rupiah Dihantam Isu Resesi, Ditolong Neraca Dagang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 16:20
Rupiah Dihantam Isu Resesi, Ditolong Neraca Dagang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun depresiasi rupiah menipis sehingga tidak lagi menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Pada Kamis (15/8/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.260 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Rupiah sudah melemah sejak pembukaan pasar, belum pernah sedetik pun merasakan zona hijau.


Namun sebenarnya depresiasi rupiah menipis selepas tengah hari.
 Sepertinya pasar mulai mencerna data perdagangan internasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB tadi.

Ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 5,12% year-on-year (YoY) dan impor negatif 15,21%. Ini menyebabkan neraca perdagangan defisit tipis US$ 63,5 juta.
 



Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta.

 
Awalnya pasar tidak terlalu mereken data ini. Akan tetapi setelah diberi waktu, tampaknya defisit neraca perdagangan yang tipis itu mulai berdampak positif. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Data perdagangan setidaknya mampu meringankan beban rupiah yang begitu berat karena sentimen eksternal yang negatif. Hari ini, tema pasar keuangan global adalah ancaman resesi yang semakin nyata sehingga memangkas risk appetite investor.

Penyebabnya adalah persepsi risiko terhadap resesi yang kian tebal. Pasar mengendus pertanda resesi dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. 

Untuk kali pertama sejak April 2007, yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dari yang 10 tahun. Yield jangka pendek yang lebih tinggi ketimbang jangka panjang disebut inversi (inverted yield). 

Nah, untuk tenor dua dan 10 tahun ini agak spesial. Sebab kali terakhir yield obligasi tenor 2 tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun, beberapa bulan kemudian meletus krisis keuangan global yang menyebabkan resesi. 


Oleh karena itu, wajar jika investor benar-benar khawatir. Pasalnya selain inversi yield, aura resesi juga terlihat dari rilis data ekonomi di sejumlah negara. 

Di China, harga rumah baru rata-rata naik 9,7% YoY pada Juli. Melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY dan menjadi laju paling lemah sejak Desember 2018.

   

Kemudian dari Jepang, output industri pada Juni turun 3,8% YoY pada Juni, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY. Secara bulanan, output industrial turun 3,3%, memburuk dibandingkan Mei yang naik 2%.

Data-data ekonomi yang gloomy plus inversi yield membuat investor semakin yakin bahwa ancaman resesi bukan main-main. Akibatnya, arus modal menjauhi pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 


Di pasar valas, mayoritas mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Bahkan yen Jepang yang begitu perkasa saja melemah hari ini. 

Satu hal yang patut disyukuri adalah rupiah bukan lagi mata uang terlemah di Asia. Kini posisi juru kunci ditempati oleh peso Filipina. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:09 WIB: 




Kemudian di pasar saham, situasinya sama saja. Sebagian besar indeks saham utama Benua Kuning melemah. Hanya Shanghai Composite, Hang Seng, dan Kospi yang berhasil selamat. 

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada pukul 16:12 WIB: 





TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular