Data Perdagangan Tak Membantu, Rupiah Lesu Gegara Isu Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2019 12:25
Data Perdagangan Tak Membantu, Rupiah Lesu Gegara Isu Resesi
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rilis data perdagangan tidak banyak membantu mengangkat rupiah. 

Pada Kamis (15/8/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.280. Rupiah melemah 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Mata uang Tanah Air tidak banyak merespons rilis data perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 5,12% year-on-year (YoY) dan impor negatif 15,21%. Ini menyebabkan neraca perdagangan defisit tipis US$ 63,5 juta. 


Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli terkontraksi alias turun 11,59% YoY dan impor negatif 19,38% YoY. Sementara neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 384,5 juta. 

Meski data perdagangan lebih baik dari perkiraan, tetapi rupiah tidak menguat signifikan. Memang terlihat ada penguatan dibandingkan sebelum rilis data itu, tetapi tipis sekali. 

 


Well, setidaknya data ini do no harm, tidak menambah luka rupiah. Pasalnya, beban rupiah sudah begitu berat karena sentimen eksternal. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Hari ini, pasar keuangan Asia terpukul. Di pasar valas, mayoritas mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 12:21 WIB: 

 


Tidak hanya di pasar valas, bursa saham Asia pun menjadi lautan merah. Pada penutupan perdagangan Sesi I, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,09%. Sementara pada pukul 11:45 WIB, indeks Nikkei 225 amblas 1,56%, Hang Seng turun 0,17%, Shanghai Composite terkoreksi 0,62%, dan Straits Times ambrol 1,49%. 

Penyebabnya adalah persepsi risiko terhadap resesi yang kian tebal. Pasar mengendus pertanda resesi dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. 

Untuk kali pertama sejak April 2007, yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dari yang 10 tahun. Yield jangka pendek yang lebih tinggi ketimbang jangka panjang disebut inversi (inverted yield). 

Nah, untuk tenor dua dan 10 tahun ini agak spesial. Sebab kali terakhir yield obligasi tenor 2 tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun, beberapa bulan kemudian meletus krisis keuangan global yang menyebabkan resesi. 


Oleh karena itu, wajar jika investor benar-benar khawatir. Pasalnya selain inversi yield, aura resesi juga terlihat dari rilis data ekonomi di sejumlah negara. 

Di China, harga rumah baru rata-rata naik 9,7% YoY pada Juli. Melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY dan menjadi laju paling lemah sejak Desember 2018. 

Kemudian dari Jepang, output industri pada Juni turun 3,8% YoY pada Juni, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY. Secara bulanan, output industrial turun 3,3%, memburuk dibandingkan Mei yang naik 2%. 


Data-data ekonomi yang gloomy plus inversi yield membuat investor semakin yakin bahwa ancaman resesi bukan main-main. Akibatnya, arus modal menjauhi pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular