
Sudah Jeblok 2%, Rupiah Akhirnya Menguat Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Selasa (14/2/2023). Perhatian utama tertuju pada rilis data inflasi Amerika Serikat
Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,26% ke Rp 15.150/US$ begitu perdagangan dibuka.
Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell pada pekan lalu menyatakan jika suku bunga bisa naik lebih tinggi dari prediksi sebelumnya jika pasar tenaga kerja masih terus kuat atau inflasi yang kembali meninggi.
Sehingga, rilis data inflasi malam ini akan menentukan ekspektasi suku bunga The Fed di tahun ini. Jika kembali menurun, maka pasar akan kembali melihat suku bunga The Fed tidak akan lebih dari 5%, dan rupiah bisa kembali menguat, begitu juga sebaliknya.
Kabar baiknya, hasil polling Reuters menunjukkan inflasi AS turun menjadi 6,2% year-on-year (yoy) pada Januari, lebih rendah dari bulan sebelumnya 6,5% (yoy). Ini tentunya bisa merubah ekspektasi pelaku pasar jika terealisasi, atau lebih rendah lagi.
Data inflasi ini bisa menjadi kunci pergerakan rupiah pekan ini.
Kemarin rupiah melemah 0,4% ke Rp 15.190/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 15.225/US$, terlemah dalam satu bulan terakhir.
Kinerja negatif tersebut, membuat rupiah mencatat pelemahan sekitar 2% sejak pekan lalu. Mesk demikian, pelemahan tersebut masih terbilang wajar, sebab sebelumya rupiah melesat 4 pekan beruntun dengan total 4,7%.
Salah satu pemicu penguatan tajam tersebut yakni rencana revisi aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) oleh pemerintah.
Dengan aturan tersebut diharapkan bisa menambah pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil bahkan menguat.
Seperti diketahui neraca perdagan Indonesia terus mencatat surplus, tetapi cadangan devisa pada tahun lalu malah menurun. Kenaikan cadangan devisa pada bulan lalu juga karena penerbitan global bond pemerintah alias utang.
Devisa yang diterima dari ekspor yang tinggi tidak berada di dalam neger. Sehingga revisi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam menjadi sangat dinanti.
Melalui revisi itu, pemerintah akan mewajibkan para eksportir memarkirkan DHE di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu, pemerintah juga akan memperluas sektor industri yang wajib memarkirkan dolar hasil ekspornya.
Sayangnya, sejak wacana tersebut dilontarkan pertengahan bulan lalu, hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan segera diumumkan.
Sementara itu di pekan ini pelaku pasar menanti rilis data neraca perdagangan Indonesia dan pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).
Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 12 lembaga/institusi memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menembus US$ 3,47 miliar pada Januari 2023. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat US$ 3,89 miliar.
Jika proyeksi menjadi kenyataan maka surplus akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022.
Sejumlah lembaga menjelaskan menyempitnya surplus karena anjloknya harga komoditas andalan Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan melaporkan data neraca perdagangan Rabu besok, sementara pengumuman kebijakan moneter BI pada Kamis lusa.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Neraca Perdagangan Diramal Surplus 28 Bulan, Rupiah Melesat?
