
Revisi Aturan DHE Lambat Rampung, Rupiah "Say Goodbye"

- Rupiah melemah sekitar 2% sejak pekan lalu, setelah sebelumnya melesat empat pekan beruntun dengan total 4,7%.
- Revisi aturan DHE yang masih belum rampung menjadi salah satu alasan rupiah berbalik arah, apalagi ada risiko suku bunga di AS bisa naik tinggi.
- Inflasi Amerika Serikat menjadi perhatian utama hari ini yang bisa menentukan arah kebijakan moneter The Fed.
Jakarta, CNBC Indonesia - Tren pelemahan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) berlanjut awal pekan kemarin. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah melemah 0,4% ke Rp 15.190/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 15.225/US$, terlemah dalam satu bulan terakhir.
Kinerja negatif tersebut, membuat rupiah mencatat pelemahan sekitar 2% sejak pekan lalu. Mesk demikian, pelemahan tersebut masih terbilang wajar, sebab sebelumya rupiah melesat empat pekan beruntun dengan total 4,7%.
Salah satu pemicu penguatan tajam tersebut yakni rencana revisi aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) oleh pemerintah.
Dengan aturan tersebut diharapkan bisa menambah pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil bahkan menguat.
Seperti diketahui neraca perdagangan Indonesia terus mencatat surplus, tetapi cadangan devisa pada tahun lalu malah menurun. Kenaikan cadangan devisa pada bulan lalu juga karena penerbitan global bond pemerintah alias utang.
Devisa yang diterima dari ekspor yang tinggi tidak berada di dalam neger. Sehingga revisi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam menjadi sangat dinanti.
Melalui revisi itu, pemerintah akan mewajibkan para eksportir memarkirkan DHE di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu, pemerintah juga akan memperluas sektor industri yang wajib memarkirkan dolar hasil ekspornya.
Sayangnya, sejak wacana tersebut dilontarkan pertengahan bulan lalu, hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan segera diumumkan.
Rupiah yang sudah menguat tajam pun berbalik melemah lagi. Semakin lama aturan ini dirampungkan, rupiah berisiko semakin tertekan.
Apalagi misalnya inflasi di Amerika Serikat yang akan dirilis malam ini kembali mengalami kenaikan. Ada risiko bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi. Rupiah tentunya bakal jeblok.
Tetapi jika inflasi di AS kembali turun. maka rupiah punya peluang menguat ke depannya.
Secara teknikal, rupiah kini semakin jauh di atas Rp 15.090/US$, yang akan menjadi kunci pergerakan.
Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50%, yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Rupiah yang disimbolkan USD/IDR juga bergerak di atas rerata pergerakan 200 hari (moving average 200/MA 200), yang memberikan tekanan lebih besar.
Indikator Stochastic pada grafik harian yang sebelumnya berada di wilayah jenuh jual (oversold) dalam waktu yang lama, kini berbalik masuk wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
![]() Foto: Refinitiv |
Dengan stochastic yang mulai masuk overbought, tekanan pelemahan tentunya sedikit mereda, peluang penguatan juga terbuka.
Support berada di kisaran Rp 15.150/US$ - Rp 15.130/US$, jika ditembus rupiah berpeluang menguat lebih jauh menuju level kunci psikologis Rp15.090/US$.
Sementara selama tertahan di atas support, rupiah berisiko melemah ke Rp 15.250/US$ hingga Rp 15.280/US$.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
