
Malaysia & Thailand Bisa Tertibkan Eksportir, RI Gak Berani?

Jakarta, CNBC Indonesia - Demi menahan devisa hasil ekspor (DHE) lebih lama di dalam negeri, Indonesia semestinya bisa berkaca dengan kebijakan yang sudah berjalan di Malaysia dan Thailand.
Bank sentral Thailand beberapa kali melakukan revisi terhadap rezim devisa mereka. Tidak hanya ekspor barang, di Negara Gajah Putih ini juga menerapkan rezim bebas mereka kepada ekspor jasa.
Namun pada 2006, Thailand sudah memberi batasan terhadap DHE yang tidak diharuskan direpatriasi ke baht.
Pada Maret 2021, bank sentral Thailand menaikkan batas DHE yang tidak harus direpatriasi menjadi US$ 1 juta dari sebelumnya US$ 200.000. Di atas US$ 1 juta maka DHE harus direpatriasi ke baht.
Repatriasi dilakukan paling terlambat 360 hari setelah mendapat pembayaran. DHE juga diwajibkan mengendap dan baru bisa ditransaksikan lagi setelah 360 hari.
Berbeda dengan Malaysia. Negeri jiran ini pernah melakukan liberalisasi pada hasil ekspor mereka. Sebelumnya, eksportir wajib merepatriasi 75% DHE mereka ke ringgit Malaysia.
Namun, aturan tersebut dihapus sejak 1 Juni 2022. Bank sentral Malaysia kini memperbolehkan eksportir untuk menempatkan DHE mereka dalam bentuk ringgit dan mata uang valuta asing (valas).
Namun, eksportir masih harus menaruh DHE mereka paling terlambat 6 bulan sejak ekspor.
Sementara Indonesia, masih membahas revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa pemerintah berjanji untuk menyelesaikan pembahasan pada bulan ini. Saat ini, beberapa aspek masih menjadi pembahasan.
Pembahasan yang dimaksud mencakup aspek objek pengenaan DHE hingga besaran insentif yang akan berlaku. Namun, Sri Mulyani tidak merinci kapan waktu dan tanggal revisi aturan PP 1/2019 itu terbit.
"Saya sudah bilang (rampung Februari 2023), Februari kan sampai tanggal 28," ujarnya saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta beberapa waktu lalu, dikutip Senin (13/2/2023).
"Beberapa area masih akan didiskusikan mengenai cakupan dari subjek DHE, threshold, dan mekanisme insentif," kata Sri Mulyani lagi.
Lewat revisi PP 1/2019 tersebut, ada kewajiban para eksportir untuk bisa menahan lebih lama pasokan dolarnya di dalam negeri, minimal tiga bulan. Pemerintah juga akan memperluas sektor industri yang wajib memarkirkan dolar hasil ekspornya.
Adapun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menjelaskan dalam pembahasan yang sudah berlangsung, lamanya DHE para eksportir parkir di dalam negeri minimal tiga bulan.
Bank Indonesia (BI) pun telah merilis Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang instrumen operasi moneter valas terbaru, pelaksanaannya masih belum ditentukan.
Keputusan terkait revisi ini dijalankan setelah menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023). Dari hasil rapat kabinet ditetapkan bahwa pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Selama ini, eksportir terutama yang bisnisnya terkait dengan sumber daya alam kerap kali membawa kabur dolar hasil ekspor barang tambang yang dikeruk di Indonesia ke luar negeri.
Padahal, praktik ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3 yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 Ayat 3 tersebut sebetulnya bisa menjadi senjata kuat Jokowi. Karena status UUD merupakan payung hukum tertinggi di tanah air.
(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rayuan BI ke Eksportir Dianggap Kurang 'Sedap', Butuh LPS!
