
Newsletter
Waspada, Perang Dagang AS-China Bakal Kembali Bergelora!
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 May 2019 05:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi momentum yang sepertinya ingin cepat dilupakan oleh investor di pasar keuangan Indonesia. Maklum saja karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai pasar obligasi pemerintah semuanya melemah.
Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,28% secara point-to-point. Indeks saham utama Asia juga berguguran, tetapi pelemahan IHSG menjadi yang terdalam.
Sementara dalam periode yang sama, rupiah melemah 0,49% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot. Rupiah senasib dengan mata uang utama Benua Kuning yang juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan greenback.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 9,4 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena maraknya aksi jual.
Faktor eksternal dan domestik memang kurang kondusif bagi pasar keuangan Indonesia. Dari sisi eksternal, sentimen utama yang menjadi penghantam adalah hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan.
"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.
"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan.
Dari dalam negeri, rilis data inflasi malah menjadi pemberat langkah IHSG dkk. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.
Data ini menunjukkan tekanan inflasi membesar, dan belum masuk masa Ramadan. April saja inflasi sudah terakselerasi, bagaimana Mei yang sudah masuk Ramadan?
Jika inflasi terlalu tinggi, maka ada kekhawatiran akan memperlambat daya beli dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 menjadi penuh tanda tanya, dan itu membuat investor kurang nyaman.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,28% secara point-to-point. Indeks saham utama Asia juga berguguran, tetapi pelemahan IHSG menjadi yang terdalam.
Sementara dalam periode yang sama, rupiah melemah 0,49% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot. Rupiah senasib dengan mata uang utama Benua Kuning yang juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan greenback.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 9,4 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena maraknya aksi jual.
Faktor eksternal dan domestik memang kurang kondusif bagi pasar keuangan Indonesia. Dari sisi eksternal, sentimen utama yang menjadi penghantam adalah hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan.
"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.
"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan.
Dari dalam negeri, rilis data inflasi malah menjadi pemberat langkah IHSG dkk. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.
Data ini menunjukkan tekanan inflasi membesar, dan belum masuk masa Ramadan. April saja inflasi sudah terakselerasi, bagaimana Mei yang sudah masuk Ramadan?
Jika inflasi terlalu tinggi, maka ada kekhawatiran akan memperlambat daya beli dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 menjadi penuh tanda tanya, dan itu membuat investor kurang nyaman.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Data Tenaga Kerja Angkat Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular