Ada Apa Ini? Sudah 9 Hari Rupiah Melemah Terus

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
03 May 2019 17:44
Ada Apa Ini? Sudah 9 Hari Rupiah Melemah Terus
Jakarta, CNBC IndonesiaNilai tukar rupiah lagi-lagi harus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Pada penutupan perdagangan pasar spot hari Jumat (3/5/2019), kurs rupiah dibukukan sebesar Rp 14.250/US$ atau melemah 5 poin (0,04%) dari posisi penutupan perdagangan kemarin (2/5/2019). Saat ini rupiah sedang berada di posisi paling lemah sejak 15 Maret 2019. Setidaknya pelemahan rupiah hari ini menipis, karena sempat terdepresiasi 0,25% pada perdagangan siang hari.



Hari ini resmi rupiah tidak pernah menguat selama sembilan hari berturut-turut. Penguatan rupiah terakhir kali terjadi pada tanggal 18 April 2019, satu hari sebelum libur Jumat Agung.

Namun, memang hari ini sebagian besar mata uang Asia sedang berada dalam tekanan dolar AS yang terlalu kuat. Hanya yen Jepang dan rupee India saja yang berhasil menaklukkan greenback.



Hari ini gairah pelaku pasar untuk masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia sedang surut. Investor sedang dibuat grogi menunggu hasil kesepakatan damai dagang AS-China.
Sebelumnya, pada hari Kamis (2/5/2019), beberapa sumber menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa diumumkan Jumat pekan depan setelah dialog antara negosiator kedua negara selesai.


Sebagai informasi, sudah sejak hari Selasa (30/4/2019) Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin berada di Beijing demi melangsungkan dialog tatap muka dengan China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, Liu He.
Kantor berita Politico mengabarkan bahwa dalam kesepakatan dagang, AS akan mencabut bea impor untuk produk asal China yang senilai US$ 200 miliar. Sebelumnya pada produk-produk tersebut AS mengenakan tarif masuk sebesar 10%. Sementara bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 50 miliar akan dipertahankan.
Akan tetapi hari Jumat (3/5/2019) Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders menampik kabar tersebut. Dirinya mengatakan bahwa Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping belum merencanakan pertemuan untuk menyegel kesepakatan. Dua pimpinan raksasa ekonomi dunia tersebut baru akan mengambil keputusan terkait kesepakatan damai dagang setelah perundingan pekan depan rampung.

Liu He dijadwalkan untuk ganti berkunjung ke Washington pekan depan untuk melanjutkan perundingan dagang.
Artinya, sebenarnya AS dan China belum benar-benar mencapai kesepakatan. Masih ada permasalahan yang harus diselesaikan. Damai dagang pun masih berpeluang untuk batal.
Jika benar-benar tidak ada kesepakatan apapun yang disegel, Trump sudah mengancam akan meningkatkan bea impor atas produk China senilai US$ 200 miliar. Perang dagang jilid II menjadi ketakutan baru pelaku pasar.



Alhasil daya tarik investor untuk masuk pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia pun sirna. Terbukti pada hari ini investor asing melakukan jual bersih sebesar Rp 748,7 miliar. Mereka sibuk melarikan asetnya pada safe haven demi menghindari risiko investasi.
Aliran dana asing yang berhamburan ke luar Indonesia membuat rupiah tidak punya pijakan untuk menahan tekanan mata uang lain, membuat depresiasi nilai tukar menjadi tak dapat dihindari.
Dalam kasus ini, dolar AS menjadi pilihan safe haven paling ciamik.

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Dolar AS mendapat asupan energi dari rilis data ekonomi yang bisa dibilang cemerlang.
Kemarin (2/5/2019), pesanan barang-barang dari pabrikan Amerika Serikat (AS) tumbuh hingga 1,9% pada bulan April, jauh melampaui ekspektasi pelaku pasar yang sebesar 1%, mengutip Forex Factory. Angka pertumbuhan tersebut juga jauh membaik dibandingkan bulan Februari yang mengalami kontraksi sebesar 0,3%.



Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019 diumumkan sebesar 3,2% (quarterly annualized). Jauh lebih tinggi dibanding prediksi konsensus yang sebesar 2%, mengutip Trading Economics.
Fakta-fakta tersebut mencerminkan gairah ekonomi AS yang sudah mulai bangkit. Perlambatan ekonomi yang melanda sejak tahun lalu sudah melalui titik terendahnya.
Dengan begitu, kemungkinan bank sentral AS, The Fed untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) tahun ini makin surut.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga tahun ini tinggal sebesar 36,7% (update 3/5/2019 pukul 16:00 WIB), turun dari posisi kemarin yang mencapai 37,4%.
Suku bunga yang tetap ditahan di kisaran 2,25%-2,5% berpotensi membuat kekuatan dolar bisa dipertahankan. Membuat daya tarik dolar sebagai safe haven membuncah.
Selain itu, pelaku pasar juga masih berdebar-debar menantikan data penciptaan tenaga kerja non-pertanian AS periode April yang akan dibacakan pada pukul 19:30 WIB nanti.
Konsensus pasar yang dihimpun oleh Trading Economics memprediksi jumlahnya akan sebesar 185.000. Bila ternyata realisasinya lebih tinggi daripada ekspektasi, maka kekuatan dolar bisa makin menjadi-jadi.



Mengingat rilis-rilis data sebelumnya AS telah banyak memberikan kejutan yang positif, kali ini pun pelaku pasar menaruh harapan yang serupa. Aset-aset berbasis dolar pun banyak diburu.
Terbukti dari nilai Dollar Index (DXY) yang menguat sebesar 0,08% ke posisi 97,91 hari ini hingga pukul 16:00 WIB. Bahkan DXY sudah naik 0,44% sejak 30 April 2019. Sebagai informasi, nilai DXY mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama dunia.


BERLANJUT KE HALAMAN 3


Di sisi lain, sentimen-sentimen dari dalam negeri malah cenderung membebani rupiah. Kemarin, tingkat inflasi Indonesia bulan April diumumkan sebesar 0,44% secara month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Angka tersebut lebih tinggi dibanding ekspektasi pelaku pasar. Berdasarkan polling CNBC Indonesia, pelaku pasar memprediksi inflasi April hanya 0,3% MoM dan 2,66% YoY.
Inflasi yang cenderung tinggi di bulan April ini membuat investor khawatir akan daya beli konsumen ke depannya. Pasalnya biasanya pada bulan Ramadan (yang jatuh pada bulan Mei) inflasi akan lebih tinggi lagi. Alhasil saham-saham emiten barang konsumsi banyak dilego investor asing.



Pada hari ini investor asing melakukan jual bersih atas saham PT Unilever Indonesia (UNVR) sebesar Rp 42,86 miliar, PT H. M. Sampoerna (HMSP) sebesar Rp 16,95 miliar, dan PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) sebesar Rp 15,85 miliar.
Membuat indeks sektor barang konsumsi anjlok hingga 0,93% hari ini.
Selain itu, capaian Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor riil kuartal I-2019 juga tidak bisa dibilang bagus karena hanya sebesar Rp 107,9 triliun atau turun 0,9% YoY. Padahal pada kuartal I-2018, pertumbuhan PMA sebesar 12,3% YoY.
Lagi-lagi, tanpa adanya asupan modal asing yang memadai, rupiah makin tak dilirik oleh investor. Pasalnya aliran dana masuk lah yang hingga kini dapat menopang nilai tukar rupiah.
Namun setidaknya hari ini harga minyak sudah mulai bersahabat dan dapat sedikit memberi dorongan ke atas bagi rupiah.
Hingga akhir perdagangan pasar spot (16:00 WIB), harga minyak jenis Brent terkoreksi 0,71% ke posisi US4 70,25/barel, setelah anjlok hingga 1,98% sehari sebelumnya. Begitu pula dengan harga minyak light sweet (WTI) yang turun 0,49% menjadi US$ 61,51/barel, setelah terjun 2,81% kemarin.
Dalam sepekan harga minyak Brent dan WTI sudah turun masing-masing sebesar 2,63% dan 2,83%.
Penyebabnya adalah stok minyak di AS yang melonjak hingga 9,9 juta barel di minggu yang berakhir pada 26 April 2019. Dampaknya, stok minyak AS menyentuh posisi 470,6 juta barel atau tertinggi sejak September 2017. Produksi minyak AS juga kembali menembus rekor menjadi 12,3 juta barel/hari.



Koreksi harga minyak menjadi berkah bagi rupiah karena dapat membuat neraca transaksi berjalan (current account) menjadi lebih sehat. Ini menjadi logis karena hingga saat ini Indonesia masih menjadi net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Bila harga minyak bisa ditekan, maka defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang sudah membengkak pada akhir tahun 2018 bisa dikurangi, sehingga rupiah punya ruang gerak yang lumayan untuk menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular