Upah-Pesangon Diotak-Atik, Sederet Alasan Omnibus Law Ditolak

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
17 February 2020 08:25
Jam Kerja Dianggap Eksploitatif
Foto: Ratusan buruh gabungan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berdemo di depan Gedung Kementerin Kesehatan, Jakarta, Kamis (6/2/2020). Kedatangan massa aksi ini untuk menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dua mobil komando lengkap dengan pengeras suara dibawa massa aksi ke lokasi. Massa juga membawa alat peraga, di antaranya spanduk dan poster bertulisan 'Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan'. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Iqbal berpendapat di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40 jam seminggu. Hal ini menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.

Menurutnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif. Ia beralasan bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama 4 hari kerja tanpa dibayar upah lembur, seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif. 

Selain itu, lembur bisa dilakukan lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya boleh maksimal 14 jam, dalam RUU Cipta Kerja menjadi 18 jam. Akibatnya buruh akan kelelahan dan rentan terjadi kecelakaan kerja.

Bahkan hari libur yang biasanya 2 hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja dibuat hanya 1 hari.  Hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti besar atau istirahat panjang selama 2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun dihilangkan.  (hoi/hoi)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular