Newsletter

Tak Ada Duit, Pemerintahan AS Terancam Tutup!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 December 2020 06:00
2020 Election Protests Washington
Foto: AP/Jacquelyn Martin

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di pasar keuangan Indonesia pekan lalu berlangsung singkat, hanya tiga hari. Namun dalam tiga hari tersebut, koreksi terjadi di mana-mana.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,5% secara point-to-point pekan lalu. Pekan ini, IHSG harus memulai start kembali di bawah 6.100.

Sepanjang pekan lalu, investor asing melakukan jual bersih Rp 320 miliar di pasar saham Indonesia. Sepertinya investor mulai mencairkan keuntungan dari bursa saham Tanah Air yang sudah menguat tajam. Dalam sebulan terakhir, IHSG melesat dengan penguatan 6,3%. Ini menjadi salah satu yang terbaik di Asia.


Tidak hanya di pasar saham, aksi jual sepertinya juga terjadi di pasar obligasi pemerintah. Ini terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield).

Sepanjang pekan lalu, yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun naik 12,1 basis poin (bps) secara point-to-point. Kenaikan yield menandakan harga obligasi bergerak turun, penyebabnya adalah kurangnya minat investor atau terpapar tekanan jual.

Seperti halnya di pasar saham, harga SBN juga telah menguat gila-gilaan. Dalam sebulan terakhir, yield SBN 10 tahun turun 14,2 bps. Yield instrumen ini bahkan sempat berada di bawah 6%, terendah sejak 2013.

Aksi jual di pasar saham dan obligasi tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Ibu Pertiwi melemah 0,5% pekan lalu.

Rupiah memang sedang menjalani tren yang kurang oke. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,14% di hadapan greenback. Ini membuat rupiah jadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York bergerak variatif sepanjang pekan lalu, meski tipis saja. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Nasdaq Composite naik masing-masing 0,07% dan 0,38% secara point-to-point, sedangkan S&P 500 terkoreksi 0,17%.

Sepertinya Santa Claus Rally (tren penguatan jelang akhir tahun) belum terlihat. Pasalnya, investor dibuat cemas dengan perkembangan dua isu utama, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan stimulus fiskal.

Penyebaran virus corona di Negeri Paman Sam memang masih mengkhawatirkan, meski sekitar satu juta rakyatnya sudah menerima vaksinasi. Per 25 Desember 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di AS mencapai 18.311.405 orang. Bertambah 221.145 orang (1,22%) dibandingkan sehari sebelumnya. AS masih menjadi negara dengan jumlah kasus corona terbanyak di planet bumi.

Dalam 14 hari terakhir (12-25 Desember 2020), rata-rata pasien positif corona di AS bertambah 222.014 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 184.317 orang setiap harinya.

Negara Bagian Tennessee kini menjadi episentrum baru, bersama dengan California. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (US Centers for Disease Control and Prevention/CDC) mencatat pasien positif corona di Tennessee pada pekan lalu mencapai 128 orang per 100.000 penduduk, tertinggi di antara 50 negara bagian di Negeri Adidaya.

"Kita bisa dan harus membalikkan tingkat penyebaran virus corona di negara bagian ini. Kami ingin seluruh warga Tennesse mendengar pesan ini dengan jelas. Keputusan Anda untuk memakai masker hari ini akan membuat perbedaan beberapa pekan ke depan," tegas Bill Lee, Gubernur Tennessee, dalam cuitan di Twitter.

Kemudian, investor (dan seluruh dunia) juga dibikin cemas dengan virus corona jenis baru yang menyebar di Inggris. Beberapa negara telah melakukan langkah pencegahan yang cukup ekstrem.

Jepang, misalnya, memutuskan untuk menutup pintu bagi warga negara asing dari seluruh negara. Kebijakan ini berlaku mulai 28 Desember 2020 hingga akhir Januari 2021. Namun untuk warga dari 11 negara yang sudah meneken perjanjian bilateral dengan Jepang (termasuk China dan Korea Selatan), bisa tetap masuk untuk keperluan bisnis.

"Untuk saat ini, kami belum tahu seberapa besar ancaman virus varian baru tersebut. Jadi kami memilih untuk menempuh langkah paling ketat sebagai pencegahan," sebut seorang pejabat pemerintah Jepang, sebagaimana diwartakan Nikkei Asia.

Virus corona varian baru berisiko membuat dunia kembali tertutup, seperti pada April-Mei lalu. Dengan aktivitas dan mobilitas publik yang terbatas, roda ekonomi tentu sulit untuk berputar kencang. Sangat mungkin prospek ekonomi dunia masih akan suram.

Kemudian soal stimulus, benar bahwa kongres AS sudah sepakat dengan paket senilai US$ 892 miliar (Rp 12.739,54 triliun). Di dalamnya mencakup Bantuan Langsung Tunai (BLT) US$ 600 atau sekira Rp 8,57 juta bagi mereka yang membutuhkan, terutama para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Namun Presiden AS Donald Trump tidak sepakat. Eks pembawa cara reality show The Apprentice itu ingin agar BLT dinaikkan menjadi US$ 2.000 (Rp 28,56 juta).

Keenganan Trump meneken stimulus fiskal (yang merupakan bagian dari anggaran negara) membuat 14 juta rakyat AS tidak bisa menerima tunjangan pengangguran (unemployment benefit). Sebab, masa berlaku tunjangan ini selesai pada 26 Desember dan harus diperpanjang dengan Undang-undang (UU) baru.

Tanpa intervensi pemerintah, daya beli rakyat AS tentu sulit terdongkrak. Apalagi dengan pandemi virus corona yang semakin menggila bisa membuat berbagai negara bagian menerapkan karantina wilayah alias lockdown. Ekonomi bakal 'mati suri', pengangguran dan kemiskinan melonjak.

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah risiko. Pertama apalagi kalau bukan pandemi virus corona.

Tidak hanya AS, berbagai negara pun membukukan lonjakan kasus baru. Akibatnya, jumlah pasien secara global meningkat tajam.

WHO mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 25 Desember 2020 adalah 78.194.947 orang. Bertambah 655.041 orang (0,84%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien baru bertambah 644.914 orang per hari. Naik tajam dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 599.695 orang setiap harinya.

Inggris masih menjadi sorotan dunia, karena menjadi 'pusat gempa' penyebaran virus corona jenis baru. Biro Statistik Nasional Inggris (Office of National Statistics/ONS) mencatat pada pekan yang berakhir 18 Desember 2020 jumlah kasus baru bertambah 645.800. Artinya, satu dari 85 warga Negeri John Bull terinfeksi virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Sepekan sebelumnya, tambahan kasus adalah 567.3000 dan sepekan sebelumnya 481.500. Semakin hari jumlah pasien baru bertambah dengan laju yang kian cepat.

Kini, virus corona jenis baru mulai terdeteksi di sejumlah negara. Jerman, Israel, Australia, hingga Singapura melaporkan infeksi terjadi di negaranya.

Pandemi virus corona yang semakin ganas bisa membuat dunia kembali memasuki masa kegelapan seperti kuartal II-2020. Berbagai negara menutup diri, warga 'terpenjara' #dirumahaja, nadi ekonomi tidak berdenyut, gelombang PHK menyapu, kemiskinan di mana-mana. Mengerikan...

Sentimen kedua, investor perlu mencermati perkembangan pengesahan anggaran negara di AS. Gara-gara tidak sepakat dengan paket stimulus, Trump masih ogah meneken UU anggaran negara yang bernilai total US$ 2,3 triliun (Rp 32.848,6 triliun).

"Saya meminta kongres untuk mengamandemen UU ini dan menaikkan bantuan dari US$ 600 yang sangat rendah itu ke US$ 2.000, atau US$ 4.000 untuk pasangan. Saya juga meminta kongres untuk menghapus belanja-belanja yang tidak berguna dari anggaran negara ini.

"Kirimkan ke meja saya UU yang layak. Kalau tidak, pemerintah berikutnya harus memberikan stimulus dan mungkin saya pemerintahan itu adalah saya. Kami akan selesaikan. Terima kasih," sebut Trump dalam pidato berdurasi 4 menit 9 detik yang diunggah di Twitter.

Tanpa duit yang disalurkan lewat anggaran negara, pemerintahan AS terancam tutup alias shutdown. Hanya beberapa layanan vital yang masih beroperasi, sisanya berhenti untuk sementara.

Kalau pemerintahan AS sampai shutdown, dampaknya bakal luar biasa. Misalnya dalam hal vaksinasi virus corona, pemerintah di berbagai negara bagian memang sudah mendapatkan dana US$ 340 miliar (Rp 4.855,88 triliun). Namun masih kurang US$ 8 miliar (Rp 114,26 triliun) lagi. Shutdown akan membuat kekurangan itu sulit ditutup.

Kemudian d sektor keuangan, Komisi Pengawas Pasar Modal (Securities and Exchange Commission/SEC) terpaksa harus merumahkan sejumlah pegawai non-esensial. Ini berisiko membuat pengawasan terhadap pasar modal mengendur.

Sementara di bidang pertahanan, Kementerian Pertahanan akan terpaksa merumahkan personel non-esensial yang berlatar belakang sipil. Sedangkan di bidang kesehatan, bukan tidak mungkin CDC juga akan merumahkan sejumlah pegawai yang bisa berdampak terhadap upaya penanggulangan pandemi virus corona.

Ini tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar. Ketidakpastian akan bertambah, sesuatu yang sangat tidak diinginkan.

Sentimen ketiga, kali ini kabar positif, adalah tercapainya kesepakatan Inggris dan Uni Eropa. Pada 1 Januari 2021, masa transisi 'perceraian' Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) akan berakhir dan harus ada kesepakatan untuk menetukan masa depan perdagangan di antara keduanya.

"Kesepakatan sudah tercapai. Kita kembali memegang kendali atas arus uang, perbatasan, hukum, perdagangan, dan perairan. Kesepatan ini sangat fantastis, mencakup bebas bea masuk dan bebas kuota perdagangan dengan Uni Eropa," ungkap seorang sumber di kantor Perdana Menteri Inggris, seperti dikutip dari Reuters.

Kata sepakat dari London dan Brussels mengakhiri 'drama' Brexit yang terjadi bertahun-tahun. Satu ketidakpastian besar kini bisa dicoret dari daftar, tentu sebuah perkembangan yang melegakan.

Namun apakah kesepakatan Brexit mampu menutup kekhawatiran terhadap pandemi virus corona yang kian ganas dan ancaman shutdown pemerntahan AS? Well, kita lihat saja...

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data pembacaan awal pertumbuhan produksi industri Jepang periode November 2020 (06:50 WIB).
2. Konferensi pers akhir tahun oleh Kementerian Perindustrian (10:00 WIB).
3. Konferensi pers akhir tahun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan (16:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (kuartal III-2020 YoY)

-3,49%

Inflasi (November 2020 YoY)

1,59%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2020)

3,75%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (kuartal III-2020)

0,36% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal III-2020)

US$ 2,05 miliar

Cadangan Devisa (November 2020)

US$ 133,56 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular