Sentimen Pasar Pekan Depan

Pekan Terakhir 2020, Pasar Keuangan RI Terbang atau Terbenam?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 December 2020 19:00
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Foto: Ilustrasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri melemah sepanjang pekan ini dalam perdagangan yang berlangsung 3 hari saja. Seperti diketahui, Kamis dan Jumat lalu sudah libur dalam rangka Hari Raya Natal. Pekan depan, perdagangan juga akan berlangsung dalam 3 hari saja. Sebab, Kamis dan Jumat libur dalam rangka tahun baru.

Meski perdagangan pekan ini juga berlangsung hanya 3 hari, tetapi masih berpotensi terjadi pergerakan besar di pasar keuangan Indonesia.

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan ini merosot lebih dari 1,57%, sekaligus menghentikan reli panjang dalam 11 pekan beruntun. Selama 11 pekan beruntun, IHSG menguat nyaris 24%.

Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp 3,64 triliun miliar all market.

Sementara itu nilai tukar rupiah melemah 0,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.150/US$. Dari pasar obligasi, nyaris semua tenor masuk ke zona merah.
Jika dilihat ke belakang, aksi jual di pasar keuangan dalam negeri kemungkinan akibat ambil untung (profit taking) sebab sudah mengalami penguatan lumayan besar dalam beberapa pekan terakhir.

IHSG telah menguat dalam 11 pekan beruntun, kemudian Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun, pada pekan lalu berada di level terkuat dalam 7,5 tahun terakhir, berdasarkan data Refinitiv. Yield SBN tenor 10 tahun pekan lalu berada di level 5,976%, terendah sejak Mei 2013.

Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, artinya pasar obligasi sedang menguat.

Sementara di pekan ini, yield SBN tenor 10 tahun mengalami pelemahan 12,1 basis poin (bps) menjadi 6,097%.

Dari semua tenor SBN, hanya tenor 25 tahun yang mengalami penguatan, itu pun tipis 0,5 bps ke 7,321%.

Di pekan depan, setidaknya ada tiga faktor yang akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan Indonesia, khususnya dari eksternal.

Yang pertama, sentimen negatif yang membuat IHSG, rupiah, dan SBN jeblok di pekan ini yakni mutasi virus corona baru penyebab Covid-19 di Inggris. Isu tersebut masih akan memengaruhi pergerakan pasar pekan depan.

Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan temuan varian baru virus corona bernama VUI 202012/01 atau dalam klaster pohon filogenetiknya (pohon kekerabatan berdasarkan data genetik) disebut sebagai varian B.1.1.7.

Varian baru virus Covid-19 tersebut dikabarkan memiliki 70% peluang penularan lebih tinggi ketimbang strain awalnya. Akibatnya, banyak negara-negara yang menutup perbatasannya dengan Inggris.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah mengidentifikasi virus ini di Denmark, Belanda, dan Australia.

Inggris sendiri sudah memperketat pembatasan sosial sejak Rabu pekan lalu. Ibu kota Inggris dan sejumlah kota kini dalam status 'high alert' dan akan dikenakan status level tiga yang lebih ketat.

Beberapa negara juga sudah melarang penerbangan dari Inggris akibat mutasi virus corona tersebut. 

Selain mutasi tersebut, lonjakan kasus Covid-19 memang sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir, yang membuat pembatasan sosial kembali diketatkan di berbagai negara.

Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa sudah mulai melakukan pengetatan pembatasan sosial sejak Rabu pekan lalu.

Kanselir Angela Merkel mengatakan Jerman menutup sebagian besar toko dan mempersingkat musim belanja Natal.

"Saya akan mengharapkan tindakan yang lebih ringan. Tetapi karena belanja Natal, jumlah kontak sosial telah meningkat pesat... Ada kebutuhan mendesak untuk mengambil tindakan," kata Merkel kepada wartawan, dikutip dari CNBC International.

Toko-toko penting seperti supermarket, apotek, dan bank masih tetap buka. Sementara salon rambut, salon kecantikan, dan salon tato harus ditutup.
Sekolah juga ditutup, dan pemberi kerja diminta untuk menutup operasi atau menyuruh karyawan bekerja dari rumah. Penjualan kembang api juga akan dilarang menjelang Malam Tahun Baru.

Sebelumnya Jerman sudah mengisolasi sebagian sektor seperti bar dan restoran dalam enam minggu terakhir.

Negara-negara lainnya di Benua Biru hingga beberapa negara Asia, bahkan di New York Amerika Serikat (AS) juga melakukan hal yang sama. Bisnis non esensial di New York sudah ditutup dalam beberapa pekan terakhir. Gubernur New York, Andrew Cuomo, bahkan mengatakan penutupan tersebut bisa saja berlangsung hingga bulan Januari nanti akibat lonjakan kasus Covid-19.

Perkembangan penyebaran virus tersebut akan memberikan pengaruh signifikan ke pasar keuangan global, termasuk Indonesia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Menanti Tanda Tangan Trump, Inggris Kirim Kabar Gembira

Langkah Presiden AS, Donald Trump menolak rancangan undang-undang (RUU) stimulus fiskal yang sudah disetujui Kongres (DPR dan Senat) AS, akan menjadi perhatian pasar.

Stimulus fiskal tersebut senilai US$ 900 miliar dan di-bundle dengan anggaran belanja pemerintah untuk satu tahun hingga September 2021 senilai US$ 1,4 triliun.

Stimulus fiskal US$ 900 miliar tersebut menjadi yang terbesar kedua yang pernah digelontorkan dalam sejarah AS, setelah stimulus senilai US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret lalu, yang disebut CARES Act. Sebagai catatan, periode program CARES Act tersebut sudah berakhir.

RUU tersebut sudah diserahkan ke Trump Kamis (24/12/2020) lalu untuk ditandatangani sehingga sah dan cair. Dalam kondisi normal, Trump punya waktu 10 hari (di luar hari Minggu) untuk menandatangani RUU tersebut sehingga menjadi undang-undang, atau memveto alias membatalkan RUU tersebut. Seandainya dalam 10 hari Trump tidak menandatangani ataupun memveto RUU tersebut, maka otomatis akan menjadi undang-undang.

Itu dalam kondisi normal, tetapi dalam kondisi saat ini ada istilah "pocket veto" di mana RUU tersebut otomatis tidak akan menjadi undang-udang meski Trump tidak menandatangani atau memveto. Hal tersebut bisa terjadi jika dalam rentang 10 hari setelah RUU tersebut diserahkan ke presiden, Kongres AS mengalami reses. Kabar buruknya, Kongres AS akan reses pada 3 Januari 2021.

Hingga saat ini Trump belum menandatangani RUU tersebut. Malah, pada Selasa malam waktu setempat Trump sedikit mengejutkan pasar, melalui akun Twitternya, ia menyebut stimulus senilai US$ 900 miliar sebagai "aib".

Dalam stimulus jilid II, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperoleh warga AS sebesar US$ 600/orang, setengah dari yang diterima sebelumnya yakni US$ 1.200/orang. Untuk pasangan yang menikah BLT yang diperoleh sebesar US$ 1.200, dan US$ 600 untuk tanggungan anak. Sama dengan program CARES Act, BLT hanya diberikan sekali saja.

Hal tersebut yang dipermasalahkan oleh Trump. Ia juga meminta Kongres AS untuk menaikkan BLT senilai US$ 600 menjadi US$ 2.000 per orang, dan US$ 4.000 untuk pasangan yang menikah.

Untuk diketahui, stimulus fiskal CARES Act akan habis pada 26 Desember mendatang, dan anggaran untuk menjalankan pemerintahan akan habis pada 28 Desember mendatang.

Artinya, jika sampai tanggal 26 atau 28 Trump tidak menandatangani RUU tersebut, maka untuk sementara tidak akan ada stimulus fiskal untuk perekonomian AS, lebih parah lagi pemerintahan AS akan berhenti beroperasi (shutdown). Untuk diketahui, sejak September lalu, Kongres AS beberapa kali meloloskan RUU untuk anggaran belanja pemerintahan AS sementara agar tidak mengalami shutdown.

Oleh karena itu, pelaku pasar tentunya menanti apakah Trump pada akhirnya akan menandatangani RUU tersebut, atau bergeming dan membiarkan perekonomian AS tanpa stimulus, dan pemerintahan AS shutdown.

Untuk saat ini, pelaku pasar memprediksi Trump pada akhirnya akan menandatangani RUU tersebut, yang tentunya akan berdampak positif bagi pasar.

Sementara itu kabar baik datang dari Inggris pada Kamis (24/12/2020), yang belum sempat direspons pasar keuangan dalam negeri.

Sehari sebelum Hari Raya Natal, Inggris dan Uni Eropa (UE) akhirnya membuat sejarah dengan mencapai kesepakatan dagang pasca Brexit. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi Inggris dan UE, tetapi bagi seluruh negara, dilihat dari sisi ekonomi.

Inggris dan UE mengumumkan keduanya mencapai kesepakatan "zero tariff-zero quota", artinya tidak akan ada bea impor yang tinggi, atau pembatasan jumlah produk yang dijual kedua belah pihak.

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengapresiasi kesepakatan yang dicapai tersebut.

"Perdebatan dengan mitra Eropa terkadang sangat sengit, tetapi ini, saya percaya kesepakatan yang baik bagi seluruh Eropa," kata PM Johnson dalam konferensi pers.

Sementara von der Leyen mengatakan kesepakatan tersebut adil dan seimbang serta tepat dan bertanggung jawab bagi kedua belah pihak.

Dalam kesepakatan tersebut, kedua belah pihak tidak boleh memberikan subsidi untuk mendapat keuntungan ekspor. PM Jonhson menegaskan jika hal tersebut dilakukan baik oleh UE maupun Inggris, maka keduanya berhak untuk menaikkan bea impor.

Kemudian mengenai kesepakatan penangkapan ikan, nelayan dari UE maupun Inggris masih boleh menangkap ikan di kedua perairan selama 5,5 tahun ke depan. Setelahnya setiap tahun akan diadakan perundingan masalah kuota penangkapan ikan.

Kesepakatan-kesepakatan tersebut masih akan diratifikasi dan di-voting oleh Parlemen Inggris pada hari Rabu pekan depan.

Dengan kesepakatan tersebut, hard Brexit tentunya tidak akan terjadi.

Hard Brexit merupakan sesuatu yang ditakutkan pelaku pasar, sebab bisa membawa ekonomi Inggris merosot tajam, juga menyeret ekonomi negara-negara Eropa lainnya.

Kemerosotan ekonomi Eropa tentunya berisiko merembet ke negara-negara lainnya, alhasil kesepakatan dagang yang dicapai Inggris-UE membuat lega banyak pihak, dan tentunya berdampak positif di pasar finansial.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular