
Pekan Terakhir 2020, Pasar Keuangan RI Terbang atau Terbenam?

Langkah Presiden AS, Donald Trump menolak rancangan undang-undang (RUU) stimulus fiskal yang sudah disetujui Kongres (DPR dan Senat) AS, akan menjadi perhatian pasar.
Stimulus fiskal tersebut senilai US$ 900 miliar dan di-bundle dengan anggaran belanja pemerintah untuk satu tahun hingga September 2021 senilai US$ 1,4 triliun.
Stimulus fiskal US$ 900 miliar tersebut menjadi yang terbesar kedua yang pernah digelontorkan dalam sejarah AS, setelah stimulus senilai US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret lalu, yang disebut CARES Act. Sebagai catatan, periode program CARES Act tersebut sudah berakhir.
RUU tersebut sudah diserahkan ke Trump Kamis (24/12/2020) lalu untuk ditandatangani sehingga sah dan cair. Dalam kondisi normal, Trump punya waktu 10 hari (di luar hari Minggu) untuk menandatangani RUU tersebut sehingga menjadi undang-undang, atau memveto alias membatalkan RUU tersebut. Seandainya dalam 10 hari Trump tidak menandatangani ataupun memveto RUU tersebut, maka otomatis akan menjadi undang-undang.
Itu dalam kondisi normal, tetapi dalam kondisi saat ini ada istilah "pocket veto" di mana RUU tersebut otomatis tidak akan menjadi undang-udang meski Trump tidak menandatangani atau memveto. Hal tersebut bisa terjadi jika dalam rentang 10 hari setelah RUU tersebut diserahkan ke presiden, Kongres AS mengalami reses. Kabar buruknya, Kongres AS akan reses pada 3 Januari 2021.
Hingga saat ini Trump belum menandatangani RUU tersebut. Malah, pada Selasa malam waktu setempat Trump sedikit mengejutkan pasar, melalui akun Twitternya, ia menyebut stimulus senilai US$ 900 miliar sebagai "aib".
Dalam stimulus jilid II, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperoleh warga AS sebesar US$ 600/orang, setengah dari yang diterima sebelumnya yakni US$ 1.200/orang. Untuk pasangan yang menikah BLT yang diperoleh sebesar US$ 1.200, dan US$ 600 untuk tanggungan anak. Sama dengan program CARES Act, BLT hanya diberikan sekali saja.
Hal tersebut yang dipermasalahkan oleh Trump. Ia juga meminta Kongres AS untuk menaikkan BLT senilai US$ 600 menjadi US$ 2.000 per orang, dan US$ 4.000 untuk pasangan yang menikah.
Untuk diketahui, stimulus fiskal CARES Act akan habis pada 26 Desember mendatang, dan anggaran untuk menjalankan pemerintahan akan habis pada 28 Desember mendatang.
Artinya, jika sampai tanggal 26 atau 28 Trump tidak menandatangani RUU tersebut, maka untuk sementara tidak akan ada stimulus fiskal untuk perekonomian AS, lebih parah lagi pemerintahan AS akan berhenti beroperasi (shutdown). Untuk diketahui, sejak September lalu, Kongres AS beberapa kali meloloskan RUU untuk anggaran belanja pemerintahan AS sementara agar tidak mengalami shutdown.
Oleh karena itu, pelaku pasar tentunya menanti apakah Trump pada akhirnya akan menandatangani RUU tersebut, atau bergeming dan membiarkan perekonomian AS tanpa stimulus, dan pemerintahan AS shutdown.
Untuk saat ini, pelaku pasar memprediksi Trump pada akhirnya akan menandatangani RUU tersebut, yang tentunya akan berdampak positif bagi pasar.
Sementara itu kabar baik datang dari Inggris pada Kamis (24/12/2020), yang belum sempat direspons pasar keuangan dalam negeri.
Sehari sebelum Hari Raya Natal, Inggris dan Uni Eropa (UE) akhirnya membuat sejarah dengan mencapai kesepakatan dagang pasca Brexit. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi Inggris dan UE, tetapi bagi seluruh negara, dilihat dari sisi ekonomi.
Inggris dan UE mengumumkan keduanya mencapai kesepakatan "zero tariff-zero quota", artinya tidak akan ada bea impor yang tinggi, atau pembatasan jumlah produk yang dijual kedua belah pihak.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengapresiasi kesepakatan yang dicapai tersebut.
"Perdebatan dengan mitra Eropa terkadang sangat sengit, tetapi ini, saya percaya kesepakatan yang baik bagi seluruh Eropa," kata PM Johnson dalam konferensi pers.
Sementara von der Leyen mengatakan kesepakatan tersebut adil dan seimbang serta tepat dan bertanggung jawab bagi kedua belah pihak.
Dalam kesepakatan tersebut, kedua belah pihak tidak boleh memberikan subsidi untuk mendapat keuntungan ekspor. PM Jonhson menegaskan jika hal tersebut dilakukan baik oleh UE maupun Inggris, maka keduanya berhak untuk menaikkan bea impor.
Kemudian mengenai kesepakatan penangkapan ikan, nelayan dari UE maupun Inggris masih boleh menangkap ikan di kedua perairan selama 5,5 tahun ke depan. Setelahnya setiap tahun akan diadakan perundingan masalah kuota penangkapan ikan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut masih akan diratifikasi dan di-voting oleh Parlemen Inggris pada hari Rabu pekan depan.
Dengan kesepakatan tersebut, hard Brexit tentunya tidak akan terjadi.
Hard Brexit merupakan sesuatu yang ditakutkan pelaku pasar, sebab bisa membawa ekonomi Inggris merosot tajam, juga menyeret ekonomi negara-negara Eropa lainnya.
Kemerosotan ekonomi Eropa tentunya berisiko merembet ke negara-negara lainnya, alhasil kesepakatan dagang yang dicapai Inggris-UE membuat lega banyak pihak, dan tentunya berdampak positif di pasar finansial.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]