
Tak Ada Duit, Pemerintahan AS Terancam Tutup!

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York bergerak variatif sepanjang pekan lalu, meski tipis saja. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Nasdaq Composite naik masing-masing 0,07% dan 0,38% secara point-to-point, sedangkan S&P 500 terkoreksi 0,17%.
Sepertinya Santa Claus Rally (tren penguatan jelang akhir tahun) belum terlihat. Pasalnya, investor dibuat cemas dengan perkembangan dua isu utama, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan stimulus fiskal.
Penyebaran virus corona di Negeri Paman Sam memang masih mengkhawatirkan, meski sekitar satu juta rakyatnya sudah menerima vaksinasi. Per 25 Desember 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di AS mencapai 18.311.405 orang. Bertambah 221.145 orang (1,22%) dibandingkan sehari sebelumnya. AS masih menjadi negara dengan jumlah kasus corona terbanyak di planet bumi.
Dalam 14 hari terakhir (12-25 Desember 2020), rata-rata pasien positif corona di AS bertambah 222.014 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 184.317 orang setiap harinya.
Negara Bagian Tennessee kini menjadi episentrum baru, bersama dengan California. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (US Centers for Disease Control and Prevention/CDC) mencatat pasien positif corona di Tennessee pada pekan lalu mencapai 128 orang per 100.000 penduduk, tertinggi di antara 50 negara bagian di Negeri Adidaya.
"Kita bisa dan harus membalikkan tingkat penyebaran virus corona di negara bagian ini. Kami ingin seluruh warga Tennesse mendengar pesan ini dengan jelas. Keputusan Anda untuk memakai masker hari ini akan membuat perbedaan beberapa pekan ke depan," tegas Bill Lee, Gubernur Tennessee, dalam cuitan di Twitter.
Kemudian, investor (dan seluruh dunia) juga dibikin cemas dengan virus corona jenis baru yang menyebar di Inggris. Beberapa negara telah melakukan langkah pencegahan yang cukup ekstrem.
Jepang, misalnya, memutuskan untuk menutup pintu bagi warga negara asing dari seluruh negara. Kebijakan ini berlaku mulai 28 Desember 2020 hingga akhir Januari 2021. Namun untuk warga dari 11 negara yang sudah meneken perjanjian bilateral dengan Jepang (termasuk China dan Korea Selatan), bisa tetap masuk untuk keperluan bisnis.
"Untuk saat ini, kami belum tahu seberapa besar ancaman virus varian baru tersebut. Jadi kami memilih untuk menempuh langkah paling ketat sebagai pencegahan," sebut seorang pejabat pemerintah Jepang, sebagaimana diwartakan Nikkei Asia.
Virus corona varian baru berisiko membuat dunia kembali tertutup, seperti pada April-Mei lalu. Dengan aktivitas dan mobilitas publik yang terbatas, roda ekonomi tentu sulit untuk berputar kencang. Sangat mungkin prospek ekonomi dunia masih akan suram.
Kemudian soal stimulus, benar bahwa kongres AS sudah sepakat dengan paket senilai US$ 892 miliar (Rp 12.739,54 triliun). Di dalamnya mencakup Bantuan Langsung Tunai (BLT) US$ 600 atau sekira Rp 8,57 juta bagi mereka yang membutuhkan, terutama para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Namun Presiden AS Donald Trump tidak sepakat. Eks pembawa cara reality show The Apprentice itu ingin agar BLT dinaikkan menjadi US$ 2.000 (Rp 28,56 juta).
Keenganan Trump meneken stimulus fiskal (yang merupakan bagian dari anggaran negara) membuat 14 juta rakyat AS tidak bisa menerima tunjangan pengangguran (unemployment benefit). Sebab, masa berlaku tunjangan ini selesai pada 26 Desember dan harus diperpanjang dengan Undang-undang (UU) baru.
Tanpa intervensi pemerintah, daya beli rakyat AS tentu sulit terdongkrak. Apalagi dengan pandemi virus corona yang semakin menggila bisa membuat berbagai negara bagian menerapkan karantina wilayah alias lockdown. Ekonomi bakal 'mati suri', pengangguran dan kemiskinan melonjak.
