Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,78%. IHSG sempat galau, bolak-balik ke zona merah dan hijau.
Namun jelang penutupan pasar, IHSG mulai mantap menapaki jalur hijau. Bahkan penguatan 0,78% membawa IHSG menjadi indeks saham terbaik Asia.
Agak mirip dengan IHSG, rupiah banyak menghabiskan hari di jalur merah tetapi mulai mampu melawan jelang penutupan pasar. Meski tidak seperti IHSG, rupiah gagal masuk jalur hijau.
Sepertinya pelaku pasar baru melakukan aksi setelah pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI). Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 4%. BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak berubah selama empat bulan beruntun.
Keputusan ini membawa dampak positif bagi pasar obligasi dan rupiah. Tanpa penurunan suku bunga acuan, imbalan berinvestasi di Indonesia (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) akan terjaga, tidak ikut turun. Ini membuat Surat Berharga Negara (SBN) akan tetap menarik di mata investor, dan arus modal yang mengalir ke sana juga akan memperkuat nilai tukar rupiah.
Selain suku bunga acuan, ada kabar lain yang membuat investor bergerak. BI memperkirakan transaksi berjalan (current account) pada kuartal III-2020 bisa membukukan surplus. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 2011.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry.
Surplus transaksi berjalan akan membuat fundamental ekonomi Tanah Air lebih kuat, karena pasokan devisa tidak lagi bergantung kepada investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Ekonomi Indonesia akan lebih berdaya tahan dalam menghadapi guncangan eksternal.
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 0,55%, S&P 500 turun 0,63%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,1%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Wall Street terpeleset. Satu, bursa saham New York memang sudah menguat tajam. Sejak akhir bulan lalu, DJIA melesat 3,23%, S&P 500 melonjak 4,44%, dan Nasdaq meroket 6,29%.
Keuntungan yang didapat investor sudah lumayan tebal, dan pasti akan ada godaan untuk mencairkannya. Tekanan jual akibat profit taking ini membuat Wall Street merah.
Dua, ada berita kurang menggembirakan seputar pengembangan vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Uji coba vaksin buatan Johnson & Johnson dihentikan sementara karena ada laporan salah satu relawan merasakan efek samping.
"Butuh beberapa hari untuk mengumpulkan informasi dan melakukan evaluasi," kata Mathai Mammen, Kepala Riset dan Pengembangan Johnson & Johnson, seperti dikutip dari Reuters.
Dinamika ini membuat investor cemas. Kalau rilis vaksin anti-virus corona tertunda, maka ekonomi akan sulit dibangkitkan karena masyarakat belum merasa aman untuk beraktivitas di luar rumah. Resesi jadi semakin susah diakhiri.
"Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa kehadiran vaksin sepertinya masih memakan waktu. Johnson & Johnson beberapa pekan lalu cukup menjanjikan, tetapi sekarang berbalik arah," ujar Oliver Pursche, Presiden Bronson Meadows Capital yang berbasis di Connecticut, sebagaimana diwartakan Reuters.
Tiga, pembahasan stimulus fiskal di AS lagi-lagi mentok. Nancy Pelosi, Ketua House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk Kongres AS), menolak proposal stimulus dari pemerintah yang bernilai US$ 1,8 triliun. Jumlah yang memang lebih rendah ketimbang usulan Partai Demokrat yaitu US$ 2,2 triliun.
"(Nilai stimulus) sangat kurang untuk mengatasi kebutuhan penanganan pandemi dan resesi yang begitu dalam," tegas Pelosi, seperti diberitakan Reuters.
Namun, koreksi di Wall Street bisa diredam karena rilis laporan keuangan emiten perbankan yang impresif. Pada kuartal III-2020, laba JPMorgan Chase & Co naik 4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) menjadi US$ 9,4 miliar. Ini berarti laba per saham (Earnings per Share/EPS) adalah US$ 2,92, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan proyeksi US$ 2,23.
Sementara Citigroup membukukan laba US$ 3,23 miliar atau EPS US$ 1,4. Juga lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpu Reuters yang menghasilkan angka US$ 93 sen.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah risiko. Pertama tentu Wall Street yang ditutup merah. Aura negatif dari New York sangat mungkin bakal menular sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, pelaku pasar patut memonitor perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 02:28 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,5%.
Apa boleh buat, risiko di pasar memang sedang tinggi. Baik itu upaya pengembangan vaksin sampai pembahasan stimulus fiskal di Negeri Paman Sam, tidak ada kabar baik. Hasilnya, pelaku pasar memilih bermain aman dan berpaling ke dolar AS.
"Saya tidak bilang bahwa investor benar-benar berharap vaksin dan stimulus akan hadir pada akhir tahun. Namun pelaku pasar ingin mendengar berita baik," kata Erik Nelson, Currency Strategist Wells Fargo yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Kala investor memasang mode risk-on, maka aset-aset berisiko di negara berkembang akan dijauhi. Jika sudah begini, berat buat IHSG dan rupiah untuk menguat.
Sentimen ketiga, Dana Moneter Internasional (IMF) telah merilis proyeksi ekonomi terbaru. Dalam laporan berjudul A Long and Difficult Ascent tersebut, IMF merevisi 'ramalan' pertumbuhan ekonomi global dan sejumlah negara.
IMF kini memperkirakan ekonomi dunia pada 2020 mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 4,4%. Membaik dibandingkan proyeksi yang dirilis pada April lalu yaitu -4,9%.
 IMF |
"Ekonomi dunia perlahan mulai keluar dari jurang terdalam. Namun dengan virus corona yang masih menyebar, beberapa negara mulai mengerem pembukaan kembali aktivitas publik (reopening) dan sebagian bahkan mulai menerapkan karantina wilayah (lockdown) skala lokal. Perjalanan pemulihan ekonomi dunia ke level pra-pandemi masih panjang dan rentan berbalik arah," tulis laporan itu.
Kontraksi ekonomi tahun ini mungkin tidak sedalam perkiraan semula, yang artinya berita baik. Namun 'ramalan' IMF untuk 2021 patut dijadikan catatan.
Awalnya, IMF memperkirakan ekonomi global tahun depan bisa tumbuh 5,4%. Pada pembacaan Oktober, angkanya diturunkan menjadi 5,2%.
Tidak hanya itu, prospek ekonomi dunia selepas 2021 pun masih suram dengan pertumbuhan 3,5% dalam jangka menengah. Pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat itu akan mengurangi kemampuan untuk mengentaskan kemiskinan.
"Pandemi membuat kemajuan dalam pengurangan kemiskinan yang dirintis sejak dekade 1990-an menjadi berbalik arah. Hampir 90 juta orang bisa jatuh ke kelompok berpendapatan US$ 1,9 per hari. Ditambah lagi penutupan sekolah akan menghadirkan tantangan berupa mundurnya upaya pembangunan manusia," tulis laporan IMF.
So, laporan IMF bisa dilihat dari kacamata positif dan negatif. Tinggal pelaku pasar memilih mau condong ke arah mana.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data pembacaan awal indeks keyakinan konsumen dan dunia usaha Australia periode Oktober 2020 (06:30 WIB).
- Pengumuman suku bunga acuan Korea Selatan (08:00 WIB).
- Rilis data Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia periode kuartal III-2020 (10:00 WIB).
- Rilis data Survei Kegiatan Dunia Usaha Indonesia periode kuartal III-2020 (10:00 WIB).
- Rilis data pembacaan akhir produksi industri Jepang periode Agustus 2020 (11:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (September 2020 YoY) | 1,42% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (September 2020) | US$ 135,15 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA