Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diperkirakan, Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan. Kebijakan ini ditempuh untuk 'mengamankan' rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%. Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan pers usai RDG.
Rupiah memang cenderung menguat akhir-akhir ini. Sejak akhir September hingga kemarin, mata uang Tanah Air menguat 1,08% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Namun ke depan, risiko pelemahan rupiah masih ada. Fitch Solutions memperkirakan rupiah bisa mencapai Rp 15.000/US$. Bank Dunia juga punya proyeksi serupa.
BI sah-sah saja kalau mau menjadikan rupiah sebagai prioritas utama. Sebab di UU No 3/2004 memang tertulis secara eksplisit bahwa tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. BI tidak (atau belum, siapa yang tahu?) diberi tugas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Namun kalau melihat situasi ekonomi terkini, segala bentuk bantuan tentu akan sangat diapresiasi. Termasuk dari BI yaitu dengan menurunkan suku bunga acuan.
Pemerintah boleh menggelontorkan duit ratusan triliun rupiah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengatasi dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ini adalah solusi yang temporer, adhoc, tidak bisa diharapkan kelanjutannya. Repot juga kalau pemerintah setiap tahun harus menyediakan dana ratusan triliun, utang bisa semakin membengkak.
Ekonomi Indonesia didorong oleh permintaan. Peran konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 50%. Jadi untuk menggenjot ekonomi, yang sekarang sedang mengidap resesi, kuncinya adalah menumbuhkan permintaan.
Untuk menggenjot permintaan, rumah tangga kudu diyakinkan dulu bahwa mereka punya ruang, mereka bisa melakukan konsumsi tanpa hambatan yang berarti. Nah, salah satu cara untuk meyakinkan rumah tangga untuk melakukan ekspansi adalah suku bunga kredit harus murah dulu. Jika bunga bisa diturunkan, maka porsi alokasi penghasilan untuk konsumsi bisa naik.
Mengutip Survei Konsumen keluaran BI, alokasi pendapatan konsumen yang dialokasikan untuk membayar cicilan kredit adalah 11,45%. Tertinggi dialami oleh konsumen dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta/bulan yaitu 16,85%. Disusul oleh kelompok dengan pengeluaran Rp 4-5 juta/bulan yang sebesar 13,14%.
Konsumen dengan rentang pengeluaran itu, menurut klasifikasi Bank Dunia, adalah kelas menengah (pengeluaran Rp 1,2-6 juta/bulan). Kelas menengah ini adalah motor konsumsi Tanah Air.
"Konsumsi kelas menengah naik 12% per tahun sejak 2002 dan saat ini mewakili separuh dari konsumsi rumah tangga di Indonesia. Kencangnya pertumbuhan konsumsi kelas menengah berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam setengah abad terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,6% per tahun," tulis laporan Bank Dunia berjudul Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class.
 Bank Dunia |
Andai porsi untuk membayar cicilan kredit bisa lebih rendah lagi, maka alokasi pendapatan yang dipakai untuk belanja akan meningkat. Meningkatnya konsumsi kelas menengah kemudian akan mendongrak konsumsi rumah tangga secara keseluruhan dan pada gilirannya PDB ikut terungkit.
Di sini lah BI bisa memberikan semacam keteladanan. Benar, BI 7 Day sudah turun 100 basis poin (bps) sepanjang 2020 ke level terendah sepanjang sejarah. Namun ruang untuk turun lagi masih terbuka mengingat inflasi domestik yang 'jinak'.
Hingga September, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi sebesar 1,42% year-on-year (YoY). Jauh di bawah target BI yaitu 2-4%. Bank Dunia memperkirakan inflasi Indonesia sepanjang 2020 hanya 1,9%.
Jika BI menurunkan suku bunga acuan lagi, maka perbankan akan merespons dengan ikut menurunkan suku bunga simpanan. Setelah itu suku bunga kredit akan ikut turun.
Per Agustus, rata-rata suku bunga Kredit Konsumsi (KI) rupiah di bank komersial adalah 11,13% per tahun. Baru turun 49 bps dibandingkan posisi akhir 2019.
Untuk merangsang penurunan suku bunga KI, ada baiknya suku bunga acuan diturunkan sebagai bentuk keteladanan. Ketika bank sentral sudah membentuk iklim suku bunga rendah, maka akan ada tekanan bagi perbankan untuk menyesuaikan diri.
Walau belum ada data resmi, tetapi Indonesia sudah hampir pasti mengalami resesi ekonomi pada kuartal III-2020. Apabila ekonomi belum pulih, maka risiko kontraksi kembali terjadi pada kuartal IV-2020 bukan omong kosong.
Pemulihan itu harus didukung oleh seluruh pihak. Pemerintah harus membuat stimulus fiskal lebih efektif lagi dengan penyerapan yang optimal. Sementara otoritas moneter perlu menggelontorkan kebijakan akomodatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA