
Arah Suku Bunga
Ribut-ribut Suku Bunga Acuan BI, Mana yang Pas untuk Bank?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 07:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi pekannya bank sentral. Semenjak Selasa (18/6/2019) waktu setempat, The Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) menggelar pertemuan yang dijadwalkan berakhir pada hari Rabu (19/6/2019) waktu setempat.
Memang, The Fed diperkirakan masih akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5% pada pertemuan kali ini. Namun, pasar berekspektasi bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan pemangkasan tingkat suku bunga acuan selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 18 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps pada tahun ini berada di level 32,1%. Untuk pemangkasan sebesar 50 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 35,8% dan 16%.
Sementara itu, probabilitas bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipertahankan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya tersisa sebesar 2,3% saja, dari yang sebelumnya 26% pada bulan lalu. Wajar jika pelaku pasar di AS memiliki ekspektasi yang begitu tinggi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan.
Apalagi, beberapa waktu lalu Jerome Powell (Gubernur The Fed) telah secara gamblang memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan dengan mengubah standar referensinya: dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga, menjadi bank sentral yang memperhatikan dampak perang dagang dan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," kata Powell, dilansir dari Reuters.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan memang menjadi opsi paling bijak bagi AS lantaran ekonominya sedang tertekan. Bank Dunia memproyeksikan ekonomi AS tumbuh 2,5% pada 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada 2020. Sebagai informasi, ekonomi AS tumbuh 2,9% pada 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak 2015.
Tak hanya The Fed, sikap dovish juga ditunjukkan oleh bank sentral zona euro yakni European Central Bank (ECB). Berbicara dalam ECB Forum di Sintra, Portugal, Gubernur ECB Mario Draghi menegaskan bahwa pihaknya bisa memangkas tingkat suku bunga acuan atau memperbesar suntikan dana (quantitative easing) jika tingkat inflasi tak mencapai target.
"Jika tidak ada kemajuan, seperti inflasi terancam tidak sesuai dengan target, maka dibutuhkan stimulus tambahan. Kami akan menggunakan fleksibilitas kebijakan untuk mencapai mandat dan menjawab berbagai tantangan ke depan. Kebijakan moneter harus setia pada tujuannya, dan tidak mundur kala inflasi rendah," tegas Draghi, dikutip Reuters.
Pada awal bulan ini, sikap dovish ditunjukkan oleh ECB yakni dengan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
NEXT
Walaupun AS dan Eropa sudah bersIkap dovish, sikap Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Belum ada kejelasan terkait dengan arah kebijakan suku bunga bank sentral ke depannya. Pada Kamis (20/6/2019), BI dijadwalkan merilis angka tingkat suku bunga acuan terbarunya.
Sebagai informasi, sikap dovish dari The Fed dan ECB sudah membuka ruang bagi bank sentral negara-negara tetangga untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Malaysia misalnya, pada bulan lalu Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Beralih ke Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) pada awal bulan ini memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 1,25%, menandai pelonggaran pertama dalam nyaris 3 tahun. Teranyar, Reserve Bank of India (RBI) yang merupakan bank sentral India memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,75%.
Memang, kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini tak mampu tumbuh sesuai target, baik target para ekonom maupun target pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Sejumlah pejabat negara pun sudah menyuarakan wacana agar Perry Warjiyo (Gubernur BI) dan kolega mempertimbangkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, di antaranya adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Pada saat kondisinya berubah di negara negara maju, termasuk direction kebijakan moneter dan adanya tanda-tanda pelemahan ekonomi, saya rasa BI juga akan melakukan adjustment atau penyesuaian dari stance monetary policy-nya. Bagaimana BI akan melakukan, saya tentu hormati BI karena mereka akan menggunakan policy suku bunga dan makroprudensial," kata Sri Mulyani.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
NEXT
Kini, mari berhenti sejenak dari memproyeksikan keputusan BI esok hari. Baik tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau pun dipangkas, mari coba menganalisis dampaknya terhadap sektor usaha yang sangat berkaitan dengan tingkat suku bunga acuan, yakni perbankan.
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga Maret 2019, melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan oleh OJK, penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank tercatat Rp 5.085,3 triliun, naik 11,7% dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian Maret 2018 yakni sebesar 8,6% (YoY).
Namun kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per Maret 2019, DPK bank umum konvensional tercatat Rp 5.410,2 triliun, naik 7,2% jika dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian Maret 2018 sebesar 7,3% YoY.
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposit Ratio (LDR) naik menjadi 94% pada Maret 2019, dari yang sebelumnya 90,2% pada Maret 2018.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga simpanan yang ditawarkan bank harus menarik. Apalagi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berada di level yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir sehingga secara tak langsung bank berhadapan dengan pemerintah dalam upayanya untuk menyerap dana masyarakat.
Alhasil, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perbankan menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, bank bisa mendapat keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama. Pada Maret 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per Maret 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,86% saja.
Jadi, opsi mana yang paling baik untuk perbankan? Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi opsi yang paling baik untuk bank-bank di Tanah Air, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif.
Kenapa ada catatan tersebut? Alasannya, ketika AS-China meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai.
Jika kondisi itu tercipta, dan ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, maka yield bisa turun lebih dalam lagi. Dengan turunnya yield obligasi pemerintah, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito.
Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mengerek BI 7-Day Repo Rate sebesar 175 bps sejak Mei 2018, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi (denominasi rupiah) masing-masing tercatat sebesar 10,57% dan 12,4%. Per Maret 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,54% dan 11,64%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi (denominasi rupiah) naik tipis menjadi 10,34% pada Maret 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara penurunan tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM perbankan kembali naik, sembari mempertahankan penyaluran kredit tetap deras.
Namun jika BI repo rate turun tanpa diimbangi penyelesaian perang dagang AS-China, yield obligasi akan terus berada di level yang relatif tinggi dan terus membuat likuiditas ketat.
Sementara itu, kalau skenarionya justru tingkat suku bunga acuan dipertahankan sementara perang dagang AS-China memanas, yield obligasi berpotensi terkerek naik dan terus memperparah kondisi likuiditas perbankan, kecuali perbankan rela mengerek naik tingkat suku bunga deposito yang pada akhirnya lagi-lagi akan menggerus NIM.
Jadi sekali lagi, opsi terbaik bagi bankir Tanah Air adalah BI memangkas tingkat suku bunga acuan, dengan catatan bahwa perang dagang AS-China mendingin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Peternak: Atasi Masalah Broker - Harga Ayam, RI Bisa Nyontek Thailand
Memang, The Fed diperkirakan masih akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5% pada pertemuan kali ini. Namun, pasar berekspektasi bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan pemangkasan tingkat suku bunga acuan selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 18 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps pada tahun ini berada di level 32,1%. Untuk pemangkasan sebesar 50 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 35,8% dan 16%.
Apalagi, beberapa waktu lalu Jerome Powell (Gubernur The Fed) telah secara gamblang memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan dengan mengubah standar referensinya: dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga, menjadi bank sentral yang memperhatikan dampak perang dagang dan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," kata Powell, dilansir dari Reuters.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan memang menjadi opsi paling bijak bagi AS lantaran ekonominya sedang tertekan. Bank Dunia memproyeksikan ekonomi AS tumbuh 2,5% pada 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada 2020. Sebagai informasi, ekonomi AS tumbuh 2,9% pada 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak 2015.
Tak hanya The Fed, sikap dovish juga ditunjukkan oleh bank sentral zona euro yakni European Central Bank (ECB). Berbicara dalam ECB Forum di Sintra, Portugal, Gubernur ECB Mario Draghi menegaskan bahwa pihaknya bisa memangkas tingkat suku bunga acuan atau memperbesar suntikan dana (quantitative easing) jika tingkat inflasi tak mencapai target.
"Jika tidak ada kemajuan, seperti inflasi terancam tidak sesuai dengan target, maka dibutuhkan stimulus tambahan. Kami akan menggunakan fleksibilitas kebijakan untuk mencapai mandat dan menjawab berbagai tantangan ke depan. Kebijakan moneter harus setia pada tujuannya, dan tidak mundur kala inflasi rendah," tegas Draghi, dikutip Reuters.
Pada awal bulan ini, sikap dovish ditunjukkan oleh ECB yakni dengan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
NEXT
Walaupun AS dan Eropa sudah bersIkap dovish, sikap Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Belum ada kejelasan terkait dengan arah kebijakan suku bunga bank sentral ke depannya. Pada Kamis (20/6/2019), BI dijadwalkan merilis angka tingkat suku bunga acuan terbarunya.
Sebagai informasi, sikap dovish dari The Fed dan ECB sudah membuka ruang bagi bank sentral negara-negara tetangga untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Malaysia misalnya, pada bulan lalu Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Beralih ke Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) pada awal bulan ini memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 1,25%, menandai pelonggaran pertama dalam nyaris 3 tahun. Teranyar, Reserve Bank of India (RBI) yang merupakan bank sentral India memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,75%.
Memang, kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini tak mampu tumbuh sesuai target, baik target para ekonom maupun target pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Sejumlah pejabat negara pun sudah menyuarakan wacana agar Perry Warjiyo (Gubernur BI) dan kolega mempertimbangkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, di antaranya adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Pada saat kondisinya berubah di negara negara maju, termasuk direction kebijakan moneter dan adanya tanda-tanda pelemahan ekonomi, saya rasa BI juga akan melakukan adjustment atau penyesuaian dari stance monetary policy-nya. Bagaimana BI akan melakukan, saya tentu hormati BI karena mereka akan menggunakan policy suku bunga dan makroprudensial," kata Sri Mulyani.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
NEXT
Kini, mari berhenti sejenak dari memproyeksikan keputusan BI esok hari. Baik tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau pun dipangkas, mari coba menganalisis dampaknya terhadap sektor usaha yang sangat berkaitan dengan tingkat suku bunga acuan, yakni perbankan.
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga Maret 2019, melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan oleh OJK, penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank tercatat Rp 5.085,3 triliun, naik 11,7% dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian Maret 2018 yakni sebesar 8,6% (YoY).
Namun kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per Maret 2019, DPK bank umum konvensional tercatat Rp 5.410,2 triliun, naik 7,2% jika dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian Maret 2018 sebesar 7,3% YoY.
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposit Ratio (LDR) naik menjadi 94% pada Maret 2019, dari yang sebelumnya 90,2% pada Maret 2018.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga simpanan yang ditawarkan bank harus menarik. Apalagi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berada di level yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir sehingga secara tak langsung bank berhadapan dengan pemerintah dalam upayanya untuk menyerap dana masyarakat.
Alhasil, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perbankan menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, bank bisa mendapat keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama. Pada Maret 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per Maret 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,86% saja.
Jadi, opsi mana yang paling baik untuk perbankan? Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi opsi yang paling baik untuk bank-bank di Tanah Air, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif.
Kenapa ada catatan tersebut? Alasannya, ketika AS-China meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai.
Jika kondisi itu tercipta, dan ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, maka yield bisa turun lebih dalam lagi. Dengan turunnya yield obligasi pemerintah, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito.
Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mengerek BI 7-Day Repo Rate sebesar 175 bps sejak Mei 2018, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi (denominasi rupiah) masing-masing tercatat sebesar 10,57% dan 12,4%. Per Maret 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,54% dan 11,64%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi (denominasi rupiah) naik tipis menjadi 10,34% pada Maret 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara penurunan tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM perbankan kembali naik, sembari mempertahankan penyaluran kredit tetap deras.
Namun jika BI repo rate turun tanpa diimbangi penyelesaian perang dagang AS-China, yield obligasi akan terus berada di level yang relatif tinggi dan terus membuat likuiditas ketat.
Sementara itu, kalau skenarionya justru tingkat suku bunga acuan dipertahankan sementara perang dagang AS-China memanas, yield obligasi berpotensi terkerek naik dan terus memperparah kondisi likuiditas perbankan, kecuali perbankan rela mengerek naik tingkat suku bunga deposito yang pada akhirnya lagi-lagi akan menggerus NIM.
Jadi sekali lagi, opsi terbaik bagi bankir Tanah Air adalah BI memangkas tingkat suku bunga acuan, dengan catatan bahwa perang dagang AS-China mendingin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Peternak: Atasi Masalah Broker - Harga Ayam, RI Bisa Nyontek Thailand
Most Popular