India & Australia Sudah, Kapan BI Pangkas Suku Bunga Acuan?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 June 2019 20:59
India & Australia Sudah, Kapan BI Pangkas Suku Bunga Acuan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Era suku bunga tinggi sudah mulai ditinggalkan. Dalam beberapa waktu terakhir, bank sentral dari negara-negara tetangga Indonesia mulai memangkas tingkat suku bunga acuannya.

Malaysia misalnya, pada bulan lalu Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam. Beralih ke Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) pada hari Selasa (4/6/2019) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 1,25%, menandai pelonggaran pertama dalam nyaris 3 tahun.

Teranyar, Reserve Bank of India (RBI) yang merupakan bank sentral India pada hari ini memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,75%.

Penyebabnya ada dua. Pertama, perlambatan ekonomi. Bank Sentral India misalnya, mengambil keputusan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan setelah data terbaru menunjukkan bahwa perekonomian mencatatkan laju pertumbuhan paling lambat dalam empat tahun terakhir.


"Penurunan kegiatan investasi yang tajam disertai dengan terus melunaknya pertumbuhan konsumsi rumah tangga adalah sesuatu yang menjadi perhatian kami," tulis komite kebijakan bank sentral (MPC) dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Reuters.

Penyebab kedua adalah ruang pemangkasan yang juga terbuka lebar di AS. Sebagai informasi, AS merupakan kiblat perekonomian dan pasar keuangan dunia sehingga adanya ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan di sana praktis memberi lampu hijau bagi bank sentral negara-negara lain untuk melakukan pelonggaran.

Pada hari Selasa waktu setempat, Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".

"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.


"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard juga mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.

Kini, pelaku pasar justru 'bertaruh' bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps pada tahun ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 6 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps pada tahun ini berada di level 36,1%. Untuk pemangkasan sebesar 50 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 30,1% dan 11%.





Sebelum berbicara mengenai peluang Bank Indonesia (BI) memangkas tingkat suku bunga acuan, pertanyaan yang terlebih dulu perlu dijawab adalah: perlukah BI melakukan pelonggaran?

Jawabannya, perlu. Pasalnya, perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.


Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebeum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Jika tingkat suku bunga acuan dipangkas oleh BI, secara teori tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Sebagai informasi, terakhir kali BI memangkas tingkat suku bunga acuan adalah pada September 2017 silam. Selepas itu, tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau dinaikkan. Terhitung dalam periode Oktober 2017 hingga Mei 2019, BI sudah mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebesar 175 bps.





Sayangnya, memangkas tingkat suku bunga acuan memang tak semudah membalikkan telapak tangan, walaupun memang Indonesia memerlukannya. Ada faktor lain yang harus dipertimbangkan BI kala ingin melakukan pelonggaran.

Sekedar mengingatkan, kenaikan tingkat suku bunga acuan yang terus dieksekusi oleh BI diambil guna mempertahankan nilai tukar rupiah dari depresiasi yang kelewat dalam.

Tingkat suku bunga acuan sudah dikerek naik 175 bps saja, rupiah melemah hingga 5,9% di pasar spot pada periode Oktober 2017-Mei 2019, dari Rp 13.470/dolar AS menjadi Rp 14.270/dolar AS.

Memang, kalau The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 3 kali, daya tarik dolar AS akan memudar dan berhamburan menuju mata uang negara-negara lain (dolar AS melemah, mata uang negara-negara lain menguat).


Namun, kalau BI ikut memangkas tingkat suku bunga acuan, rasanya sulit mengharapkan rupiah menguat melawan dolar AS. Pasalnya, fundamental ekonomi negara-negara lain lebih ‘seksi’ dalam menarik aliran dana investor.

Fundamental yang dimaksud adalah terkait dengan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.

Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kalau transaksi berjalan membukukan defisit yang besar, ini berarti Indonesia tekor dalam urusan dolar AS. Bukannya bertambah, pasokan dolar AS di tanah air malah berkurang lantaran mengalir keluar. Hukum permintaan dan penawaran pun berbicara: pasokan berkurang, nilainya akan naik (dolar AS menguat, rupiah melemah). Tentu, pelaku pasar akan enggan memegang rupiah.

Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.


Implikasinya, jika Indonesia kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, pelaku pasar akan melirik negara-negara lain yang pos transaksi berjalannya lebih seksi lantaran ada ekspektasi bahwa mata uangnya bisa terapresiasi, terutama jika negara tersebut bisa membukukan surplus transaksi berjalan. Mau tak mau, tingkat suku bunga acuan di Indonesia harus dipatok tinggi jika tak ingin rupiah dilego.

Berdasarkan pemaparan di atas, kami berpendapat bahwa sekalipun The Fed benar memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 75 bps pada tahun ini, kemungkinan besar BI akan tetap mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate. Kalaupun ada pelonggaran, rasanya tak akan lebih dari 25 bps.

Di sisi lain, pelaku pasar tak bisa mengesampingkan skenario di mana BI justru kembali mengerek tingkat suku bunga acuan. Hal ini sangat mungkin terjadi jika CAD melebar.

Seperti yang sudah disinggung di atas, CAD periode kuartal-I 2019 tercatat sebesar 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit kuartal-I 2018 yang hanya sebesar 2,01% dari PDB. Jika CAD di kuartal-I saja sudah lebih dalam, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 bisa lebih dalam juga. Oleh karenanya, kenaikan tingkat suku bunga acuan merupakan skenario yang juga harus diantisipasi pelaku pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular