India & Australia Sudah, Kapan BI Pangkas Suku Bunga Acuan?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 June 2019 20:59
Tak Mudah
Foto: Ist
Sayangnya, memangkas tingkat suku bunga acuan memang tak semudah membalikkan telapak tangan, walaupun memang Indonesia memerlukannya. Ada faktor lain yang harus dipertimbangkan BI kala ingin melakukan pelonggaran.

Sekedar mengingatkan, kenaikan tingkat suku bunga acuan yang terus dieksekusi oleh BI diambil guna mempertahankan nilai tukar rupiah dari depresiasi yang kelewat dalam.

Tingkat suku bunga acuan sudah dikerek naik 175 bps saja, rupiah melemah hingga 5,9% di pasar spot pada periode Oktober 2017-Mei 2019, dari Rp 13.470/dolar AS menjadi Rp 14.270/dolar AS.

Memang, kalau The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 3 kali, daya tarik dolar AS akan memudar dan berhamburan menuju mata uang negara-negara lain (dolar AS melemah, mata uang negara-negara lain menguat).


Namun, kalau BI ikut memangkas tingkat suku bunga acuan, rasanya sulit mengharapkan rupiah menguat melawan dolar AS. Pasalnya, fundamental ekonomi negara-negara lain lebih ‘seksi’ dalam menarik aliran dana investor.

Fundamental yang dimaksud adalah terkait dengan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.

Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kalau transaksi berjalan membukukan defisit yang besar, ini berarti Indonesia tekor dalam urusan dolar AS. Bukannya bertambah, pasokan dolar AS di tanah air malah berkurang lantaran mengalir keluar. Hukum permintaan dan penawaran pun berbicara: pasokan berkurang, nilainya akan naik (dolar AS menguat, rupiah melemah). Tentu, pelaku pasar akan enggan memegang rupiah.

Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.


Implikasinya, jika Indonesia kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, pelaku pasar akan melirik negara-negara lain yang pos transaksi berjalannya lebih seksi lantaran ada ekspektasi bahwa mata uangnya bisa terapresiasi, terutama jika negara tersebut bisa membukukan surplus transaksi berjalan. Mau tak mau, tingkat suku bunga acuan di Indonesia harus dipatok tinggi jika tak ingin rupiah dilego.

Berdasarkan pemaparan di atas, kami berpendapat bahwa sekalipun The Fed benar memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 75 bps pada tahun ini, kemungkinan besar BI akan tetap mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate. Kalaupun ada pelonggaran, rasanya tak akan lebih dari 25 bps.

Di sisi lain, pelaku pasar tak bisa mengesampingkan skenario di mana BI justru kembali mengerek tingkat suku bunga acuan. Hal ini sangat mungkin terjadi jika CAD melebar.

Seperti yang sudah disinggung di atas, CAD periode kuartal-I 2019 tercatat sebesar 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit kuartal-I 2018 yang hanya sebesar 2,01% dari PDB. Jika CAD di kuartal-I saja sudah lebih dalam, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 bisa lebih dalam juga. Oleh karenanya, kenaikan tingkat suku bunga acuan merupakan skenario yang juga harus diantisipasi pelaku pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/roy)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular