Arah Suku Bunga

Bunga Acuan Tetap Atau Turun, Ini Untung-Ruginya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 June 2019 11:53
Bunga Acuan Tetap Atau Turun, Ini Untung-Ruginya
Gedung Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Bank Indonesia (BI) mulai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Juni. Puncak rapat ini adalah esok hari, di mana akan dilakukan pengumuman suku bunga acuan. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan untuk bulan ini. Namun sejumlah ekonom mulai menyuarakan penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate. 


Kini BI dihadapkan pada dua opsi, menahan atau menurunkan suku bunga acuan (karena menaikkan sudah mustahil). Kira-kira apa untung dan rugi dari dua pilihan ini? 

Bukan tanpa alasan mayoritas ekonom masih memperkirakan suku bunga acuan dipertahankan di angka 6%. Sebab untuk bulan ini, pengumuman BI 7 Day Reverse Repo Rate dilakukan sebelum rilis data neraca perdagangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Biasanya pengumuman bunga acuan terjadi setelah BPS mengumumkan data ekspor-impor. 

Apa hubungan dua data itu? Sangat erat. 

Saat ini arah kebijakan suku bunga BI adalah menjaga stabilitas, dalam hal ini adalah stabilitas sektor eksternal yang tercermin dari transaksi berjalan (current account). BI menggunakan suku bunga untuk mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sehat ke bawah 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pos ini krusial bagi nilai tukar mata uang, karena merupakan pasokan devisa yang lebih berjangka panjang (sustainable) ketimbang dari sektor keuangan. 

Nah, salah satu komponen dari transaksi berjalan adalah neraca perdagangan. Jika neraca perdagangan mengalami defisit, apalagi lumayan dalam, maka transaksi berjalan bakal terancam. Ketika transaksi berjalan bermasalah, maka nilai tukar rupiah sangat berisiko melemah. 

Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan neraca perdagangan Mei sepertinya bakal mengalami defisit yang lumayan dalam yaitu US$ 1,42 miliar. Memang lebih baik ketimbang defisit bulan sebelumnya yang mencapai US$ 2,5 miliar, tetapi tekor di kisaran US$ 1 miliar bukan jumlah yang sedikit. 



Artinya, kemungkinan besar neraca perdagangan pada dua bulan pertama kuartal II-2019 akan mencatatkan defisit. Tanpa bantuan keajaiban, sepertinya sulit untuk membaliknya menjadi surplus karena tinggal mengandalkan satu bulan yaitu Juni. 

Jadi, risiko defisit transaksi berjalan yang lumayan dalam pada kuartal II-2019 cukup tinggi. Bahkan bisa saja lebih parah ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus 2,6% PDB. Rasanya perlu waktu lebih lama untuk mencapai defisit di bawah 2,5% PDB. 



Apabila BI menurunkan suku bunga acuan, maka dampaknya bisa membuat defisit transaksi berjalan semakin parah. Sebab penurunan suku bunga acuan akan membuat aktivitas ekonomi meningkat yang kemudian dibarengi dengan lonjakan impor. Maklum, industri dalam negeri masih belum mampu untuk memenuhi peningkatan permintaan sehingga suka tidak suka harus impor. 

Saat defisit transaksi berjalan memburuk akibat pembengkakan impor, maka rupiah akan sangat mudah tertekan. Ini tentu bertentangan dengan mandat BI yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. 

Oleh karena itu, ada baiknya BI bermain aman dulu. Tunggu rilis data neraca perdagangan yang rencananya dirilis Senin pekan depan. Setelah itu, silakan menentukan langkah berikutnya. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun bukan berarti BI tidak punya opsi untuk menurunkan suku bunga acuan. Ada alasan yang cukup kuat bagi BI untuk melakukannya. 

Pertama adalah tekanan inflasi domestik yang rendah, bahkan mungkin absen. Pada Mei, inflasi memang terakselerasi menjadi 3,32% year-on-year (YoY) dari bulan sebelumnya yaitu 2,83%. Namun itu sepertinya hanya kejadian sesaat karena dorongan peningkatan permintaan saat Ramadan. 

 

Secara umum, inflasi domestik tetap aman dan terkendali. BI memperkirakan inflasi sepanjang 2019 sebesar 3,1%, berada di batas bawah kisaran 2,5-4,5%. 

Baca:
Survei BI: Inflasi April 0,35%, Akhir Tahun 3,1%

Kedua, 'suasana kebatinan' bank sentral berbagai negara sedang mengarah ke pelonggaran kebijakan moneter. Bahkan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves/The Fed diperkirakan menurunkan suku bunga acuan bulan depan. 

Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% pada Juli mencapai 67,9%. Naik dibandingkan posisi sepekan lalu yaitu 66,3%. 

Tidak hanya The Fed, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pun terlihat semakin kalem atau dovish. Berbicara di Sintra Forum di Portugal, Presiden ECB Mario Dragi menyatakan siap untuk melonggarkan kebijakan moneter jika inflasi gagal terakselerasi. 

"Jika tidak ada kemajuan, seperti inflasi terancam tidak sesuai dengan target, maka dibutuhkan stimulus tambahan. Kami akan menggunakan fleksibilitas kebijakan untuk mencapai mandat dan menjawab berbagai tantangan ke depan. Kebijakan moneter harus setia pada tujuannya, dan tidak mundur kala inflasi rendah," tegas Draghi, mengutip Reuters. 


Jadi dengan inflasi domestik yang aman plus tren suku bunga global yang mengarah ke selatan, tidak heran sejumlah pihak berani memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 5,75% esok hari. Jika terjadi, maka akan menjadi penurunan pertama sejak Agustus 2017. 

Dampak penurunan suku bunga acuan terhadap sektor riil tentu positif. Biaya dana perbankan akan turun, sehingga ada harapan suku bunga kredit bisa turun. 

Dunia usaha akan lebih terangsang melakukan ekspansi karena suku bunga kredit rendah. Rumah tangga pun bakal tergiur menambah konsumsi. Kombinasi dua hal ini adalah percepatan pertumbuhan ekonomi. 

Namun ya itu tadi. Percepatan pertumbuhan ekonomi akan diiringi dengan kenaikan impor dan defisit transaksi berjalan yang lebih dalam. Nasib rupiah bisa jadi di ujung tanduk. 

Suku bunga tetap atau naik, keduanya punya konsekuensi yang besar. Bola ada di kaki BI. Apakah bank sentral tetap di stance menjaga stabilitas? Atau sudah bergeser menjadi agen pendorong pertumbuhan ekonomi?


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular