
Newsletter
Gara-gara Minyak dan CPO, IHSG Siap Menguat?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 November 2018 05:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Performa pasar keuangan Indonesia bisa dibilang cemerlang pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan pasar obligasi pemerintah seluruhnya mencatat penguatan.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,28%. Perjalanan IHSG bak roller coaster, naik-turun dengan interval yang cepat. IHSG juga bolak-balik masuk ke zona merah dan hijau.
IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga menguat. Nikkei 225 naik 0,76%, Hang Seng melonjak 1,73%, Kospi melesat 1,24%, dan Straits Times melompat 1,34%. Hanya saja, Shanghai Composite melemah tipis 0,14%.
Sementara rupiah berakhir dengan penguatan 0,45% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Seperti IHSG, rupiah juga sempat merasakan pelemahan meski hanya sebentar. Jelang tengah hari, rupiah sudah stabil menguat bahkan semakin tajam.
Apresiasi 0,45% sudah cukup membawa rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Mata uang utama Benua Kuning juga hampir semua menguat terhadap greenback, tetapi tidak ada yang sebaik rupiah.
Obligasi pemerintah juga masih mencetak reli yang bertahan hampir sebulan. Imbal hasil (yield) instrumen ini terus turun, pertanda harga sedang naik karena tingginya permintaan.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1 basis poin (bps). Kemudian tenor 15 tahun turun 1,9 bps, tenor 20 tahun turun 1,7 bps, tenor 25 tahun turun 1 bps, dan tenor 30 tahun turun 3 bps.
Situasi memang tengah kondusif bagi pasar keuangan Asia. Kabar baik dari Eropa terbukti ampuh mendongrak risk appetite pelaku pasar sehingga tidak ada istilah bermain aman.
Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May. PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
"Saya rasa tidak ada yang kaku. Jika tujuannya adalah membuat ekonomi negara ini tumbuh, maka (defisit) bisa saja 2,2% atau 2,6%. Masalahnya bukan desimal, tetapi yang penting serius dan konkret," tutur Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, dikutip dari Reuters.
Dua kabar gembira dari Eropa itu membuat investor berbunga-bunga. Setidaknya dua risiko besar yaitu Brexit dan fiskal Italia bisa dikesampingkan, sehingga bukan lagi saatnya bermain aman.
Selain itu, performa apik pasar keuangan Asia juga didukung oleh perkembangan di AS yang kurang oke. Data ekonomi Negeri Paman Sam lagi-lagi agak mengecewakan.
Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur AS periode November 2018 adalah 55,4. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa laju ekonomi AS tidak secepat yang dibayangkan. Masih ada riak-riak yang menunjukkan perlambatan, sehingga mengurangi kebutuhan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Bila The Fed benar-benar mengurangi kecepatan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menjadi sentimen negatif buat dolar AS, yang menjadi instrumen safe haven. Selama ini penguatan greenback ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan, yang ikut mengerek imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,28%. Perjalanan IHSG bak roller coaster, naik-turun dengan interval yang cepat. IHSG juga bolak-balik masuk ke zona merah dan hijau.
IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga menguat. Nikkei 225 naik 0,76%, Hang Seng melonjak 1,73%, Kospi melesat 1,24%, dan Straits Times melompat 1,34%. Hanya saja, Shanghai Composite melemah tipis 0,14%.
Sementara rupiah berakhir dengan penguatan 0,45% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Seperti IHSG, rupiah juga sempat merasakan pelemahan meski hanya sebentar. Jelang tengah hari, rupiah sudah stabil menguat bahkan semakin tajam.
Apresiasi 0,45% sudah cukup membawa rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Mata uang utama Benua Kuning juga hampir semua menguat terhadap greenback, tetapi tidak ada yang sebaik rupiah.
Obligasi pemerintah juga masih mencetak reli yang bertahan hampir sebulan. Imbal hasil (yield) instrumen ini terus turun, pertanda harga sedang naik karena tingginya permintaan.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1 basis poin (bps). Kemudian tenor 15 tahun turun 1,9 bps, tenor 20 tahun turun 1,7 bps, tenor 25 tahun turun 1 bps, dan tenor 30 tahun turun 3 bps.
Situasi memang tengah kondusif bagi pasar keuangan Asia. Kabar baik dari Eropa terbukti ampuh mendongrak risk appetite pelaku pasar sehingga tidak ada istilah bermain aman.
Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May. PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
"Saya rasa tidak ada yang kaku. Jika tujuannya adalah membuat ekonomi negara ini tumbuh, maka (defisit) bisa saja 2,2% atau 2,6%. Masalahnya bukan desimal, tetapi yang penting serius dan konkret," tutur Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, dikutip dari Reuters.
Dua kabar gembira dari Eropa itu membuat investor berbunga-bunga. Setidaknya dua risiko besar yaitu Brexit dan fiskal Italia bisa dikesampingkan, sehingga bukan lagi saatnya bermain aman.
Selain itu, performa apik pasar keuangan Asia juga didukung oleh perkembangan di AS yang kurang oke. Data ekonomi Negeri Paman Sam lagi-lagi agak mengecewakan.
Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur AS periode November 2018 adalah 55,4. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa laju ekonomi AS tidak secepat yang dibayangkan. Masih ada riak-riak yang menunjukkan perlambatan, sehingga mengurangi kebutuhan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Bila The Fed benar-benar mengurangi kecepatan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menjadi sentimen negatif buat dolar AS, yang menjadi instrumen safe haven. Selama ini penguatan greenback ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan, yang ikut mengerek imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular