Awali Pekan, Rupiah Langsung Gas Pol dan Jadi Juara Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 November 2018 16:55
Awali Pekan, Rupiah Langsung Gas Pol dan Jadi Juara Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah cukup impresif di perdagangan awal pekan ini. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah mencatat penguatan paling tajam di Asia. 

Pada Senin (26/11/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.470 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,45% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Rupiah memulai hari dengan lambat. Sempat stagnan beberapa saat, rupiah bahkan pernah mencicipi zona merah meski tidak terlampau lama. 


Lepas dari zona merah, rupiah langsung tancap gas. Penguatan rupiah kian nyata dan mata uang Tanah Air merangsek ke papan atas klasemen Asia. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Di level Asia, rupiah sempat menempati posisi ketiga terbaik. Kemudian naik peringkat menjadi runner-up, dan akhirnya ditutup menjadi mata uang terkuat di Asia. Tidak ada mata uang yang menguat lebih tajam di hadapan dolar AS ketimbang rupiah. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:16 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Terlihat bahwa dolar AS melemah di hadapan hampir seluruh mata uang Asia. Ternyata tidak hanya di Asia, kelesuan dolar AS terjadi secara global. 

Pada pukul 16:20 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,22%. Faktor domestik dan eksternal memang sedang tidak mendukung dolar AS. 

Dari dalam negeri, data ekonomi Negeri Paman Sam masih kurang oke. Teranyar, pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur AS periode November 2018 adalah 55,4. Angka di atas 50 memang menunjukkan pelaku usaha masih optimistis. 

Namun optimisme tersebut melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7. Angka November juga lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 55,7, tidak berubah ketimbang Oktober. 

Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa laju ekonomi AS tidak secepat yang dibayangkan. Masih ada riak-riak yang menunjukkan perlambatan, sehingga mengurangi kebutuhan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif. 

Bila The Fed benar-benar mengurangi kecepatan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menjadi sentimen negatif buat dolar AS. Selama ini penguatan greenback ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan, yang ikut mengerek imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya.  

Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari eksternal, dolar AS tertekan karena risk appetite pasar sedang meningkat. Investor menantikan KTT G20 di Argentina 3 hari lagi. Sebenarnya bukan KTT itu yang ditunggu-tunggu, melainkan pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. 

Pelaku pasar berekspektasi akan ada hasil yang positif dari pertemuan ini. Walau mungkin belum sampai ke tahap pencabutan seluruh bea masuk yang diterapkan sejak awal tahun, tetapi setidaknya ada harapan Washington dan Beijing berdamai dan menyudahi saling balas pengenaan tarif impor. 

Ada pula kabar baik dari Eropa yang kian menambah risk appetite pasar. Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May. 

PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha. 


Kemudian dari Italia, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan. 

"Saya rasa tidak ada yang kaku. Jika tujuannya adalah membuat ekonomi negara ini tumbuh, maka (defisit) bisa saja 2,2% atau 2,6%. Masalahnya bukan desimal, tetapi yang penting serius dan konkret," tutur Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, dikutip dari Reuters. 

Dua kabar gembira dari Eropa itu membuat investor berbunga-bunga. Setidaknya dua risiko besar yaitu Brexit dan fiskal Italia bisa dikesampingkan, sehingga bukan lagi saatnya bermain aman. 

Arus modal pun mengalir deras ke negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 199,2 miliar yang membantu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,28%. 

Sedangkan di pasar obligasi, masuknya arus modal ditandai dengan penurunan imbal hasil (yield). Saat yield turun, itu artinya harga obligasi tengah naik akibat tingginya permintaan pasar. 

Pada pukul 16:40 WIB, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1 bps. Kemudian untuk tenor 15 tahun turun 1,8 bps, 20 tahun turun 1,2 bps, tenor 25 tahun turun 1 bps, dan tenor 30 tahun turun 3 bps. 

Derasnya arus modal di pasar keuangan Indonesia mendorong penguatan rupiah hari ini. Bukan sembarang menguat, tetapi menjadi yang terbaik di Asia. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular