4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Bertaji di Aset-Aset Mercusuar, Plin-Plan Urusan Subsidi BBM
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 18:28

Merebut tiga aset tambang besar bukannya tanpa biaya dan risiko. Untuk akuisisi Freeport misalnya, Inalum mencari dana pinjaman ke 8 bank asing sekaligus untuk kumpulkan US$ 3,85 miliar atau Rp 57 triliun.
Bukitan duit juga dibutuhkan PT Pertamina (Persero) untuk memenangkan pertarungan dengan Chevron dalam merebut blok Rokan. Dengan tawaran bonus tanda tangan US$ 784 juta atau setara Rp 11,7 triliun ini adalah tanda tangan terbesar di dalam sejarah perminyakan Indonesia.
"Iya, Rokan itu yang terbesar sejauh ini. Sebelumnya ada di blok di Sumatra yang nilainya kalau tidak salah US$ 200 juta," tutur Wakil Menteri ESDM Arcandra kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/9/2018).
Tidak cuma itu, Pertamina juga menawarkan komitmen kerja pasti sebesar Rp7,2 triliun. Pertanyaannya, dengan imbalan 220.000 barel/hari produksi Rokan (dua kali lipat dari produksi gabungan 10 blok terminasi), wajarkah Pertamina mengeluarkan bonus tanda tangan hingga Rp 11,7 triliun? Jumlah itu nyaris 15 kali lipat dari bonus tanda tangan untuk 10 blok terminasi!
Wajar jika Chevron akhirnya takluk, karena jumlah bonus tanda tangan untuk Blok Rokan yang diajukan Pertamina begitu fantastis
Tantangan Produksi
Tantangan satu ini menjadi amanat paling berat yang harus dijaga BUMN yang bertanggung jawab atas SDA raksasa ini.
Blok Mahakam yang ditargetkan bisa sumbang 1.008 MMSCF (juta standar kaki kubik per hari), per awal Agustus 2017 baru bisa mencapai 957 MMSCFD. Pertamina sendiri memiliki anggaran cukup besar untuk blok gas raksasa ini yakni US$ 1,7 miliar. Dengan rincian belanja modal US$ 700 juta, sementara operasional porsinya lebih besar yakni US$ 1 miliar.
Angka produksi gas ini jauh dibanding yang bisa dicapai kontraktor sebelumnya, yakni Inpex dan Total, yang rata-rata produksi bisa mencapai 1.360 MMSCFD. Artinya, selama dikelola Pertamina produksi blok ini turun sekitar 30%.
Cerita serupa juga terjadi di blok Rokan. Blok yang dalam masa suburnya bisa produksi minyak ,hingga 220 ribu barel per hari ini, berdasar hitungan SKK Migas bahkan tak akan bisa sentuh level rata-rata 200 ribu barel per hari di akhir tahun nanti.
Blok yang dioperasikan oleh Chevron ini sungguh tak menunjukkan performa optimalnya. Dibandingkan dengan produksi 2016 misalnya bisa sentuh 251 ribu barel sehari. Sementara saat ini, boro-boro bisa sama dengan rekor 2016, menyentuh target APBN yang mematok produksi blok ini bisa sampai 213 ribu barel sehari pun berat.
Alhasil, blok Rokan tak lagi jadi andalan untuk produksi minyak mulai tahun depan. Pemerintah beralih ke blok Cepu yang dioperasikan oleh Exxon yang kini bisa menyalip Chevron.
Data SKK Migas menunjukkan tahun depan blok Cepu bisa sumbang 212 ribu barel dalam sehari, jauh di atas Rokan yang cuma bisa kontribusi 180 ribu barel.
Saat beralih ke tangan Pertamina pada 2021 mendatang, bisa dibayangkan beban berat yang dilimpahkan dari Chevron untuk mengelola sumur minyak yang tua ini.
Sudahlah dibayar mahal, produksi pun terancam menurun. Tapi, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai produksi 200 ribu barel sehari masih bisa datangkan uang puluhan triliun ke Pertamina.
Ia menghitung jika sehari bisa dapat 200 ribu barel produksi, dikali dengan harga minyak asumsi US$ 60 per barel dan dikali 365 hari. "Hitungannya bisa dapat US$ 4,83 miliar atau sekitar Rp 60 triliun, itu sudah enggak usah ngapa-ngapain. Pertamina tinggal produksi minyak saja," kata Arcandra saat berbincang bersama, Selasa (28/8/2018).
Smelter Freeport dan Belitan Isu Lingkungan
Masalah yang kerap menjadi sorotan dalam pertambangan mineral adalah pemurnian dan pengolahan, pengolahan di sini termasuk dengan pengolahan limbah pertambangan atau tailing.
Saat ini, PT Freeport Indonesia sedang berurusan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya potensi kerugian kerusakan ekosistem senilai Rp 185 triliun selama tambang tersebut beroperasi.
Sampai saat ini, metode penghitungan kerugian yang ternyata hasil penelitian IPB ini masih simpang siur tindak lanjutnya. Tapi yang pasti, jika masalah lingkungan ini tak selesai, pinjaman Rp 57 triliun juga tak akan cair.
Dengan kembalinya Freeport ke pelukan RI, harapannya adalah pengolahan limbah dan kondisi lingkungan alam di Papua lebih diperhatikan. Inalum harus lebih baik dari operator sebelumnya.
Begitu juga dengan pembangunan smelter sebagai realisasi komitmen hilirisasi. Sampai saat ini perkembangan smelter Freeport masih di bawah 5,18%, bahkan lokasi masih bisa bergeser.
Freeport sebut sedang dalam tahap mengkaji pembangunan smelter bersama Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat. Sementara, mereka juga sedang membangun smelter di Jawa Timur bersama PT Smelting.
Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan studi untuk pembangunan smelter ini dilakukan sejak 2017 lalu. "Smelternya ini diusulkan oleh Amman, kalau Freeport kami kan sudah ada rencana juga di Gresik. Jadi masih studi dulu," kata Riza kepada CNBC Indonesia, usai acara buka puasa bersama, Senin (11/6/2018).
(NEXT) (RHG/gus)
Bukitan duit juga dibutuhkan PT Pertamina (Persero) untuk memenangkan pertarungan dengan Chevron dalam merebut blok Rokan. Dengan tawaran bonus tanda tangan US$ 784 juta atau setara Rp 11,7 triliun ini adalah tanda tangan terbesar di dalam sejarah perminyakan Indonesia.
"Iya, Rokan itu yang terbesar sejauh ini. Sebelumnya ada di blok di Sumatra yang nilainya kalau tidak salah US$ 200 juta," tutur Wakil Menteri ESDM Arcandra kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/9/2018).
Tidak cuma itu, Pertamina juga menawarkan komitmen kerja pasti sebesar Rp7,2 triliun. Pertanyaannya, dengan imbalan 220.000 barel/hari produksi Rokan (dua kali lipat dari produksi gabungan 10 blok terminasi), wajarkah Pertamina mengeluarkan bonus tanda tangan hingga Rp 11,7 triliun? Jumlah itu nyaris 15 kali lipat dari bonus tanda tangan untuk 10 blok terminasi!
Wajar jika Chevron akhirnya takluk, karena jumlah bonus tanda tangan untuk Blok Rokan yang diajukan Pertamina begitu fantastis
Tantangan Produksi
Tantangan satu ini menjadi amanat paling berat yang harus dijaga BUMN yang bertanggung jawab atas SDA raksasa ini.
Blok Mahakam yang ditargetkan bisa sumbang 1.008 MMSCF (juta standar kaki kubik per hari), per awal Agustus 2017 baru bisa mencapai 957 MMSCFD. Pertamina sendiri memiliki anggaran cukup besar untuk blok gas raksasa ini yakni US$ 1,7 miliar. Dengan rincian belanja modal US$ 700 juta, sementara operasional porsinya lebih besar yakni US$ 1 miliar.
Angka produksi gas ini jauh dibanding yang bisa dicapai kontraktor sebelumnya, yakni Inpex dan Total, yang rata-rata produksi bisa mencapai 1.360 MMSCFD. Artinya, selama dikelola Pertamina produksi blok ini turun sekitar 30%.
Cerita serupa juga terjadi di blok Rokan. Blok yang dalam masa suburnya bisa produksi minyak ,hingga 220 ribu barel per hari ini, berdasar hitungan SKK Migas bahkan tak akan bisa sentuh level rata-rata 200 ribu barel per hari di akhir tahun nanti.
Blok yang dioperasikan oleh Chevron ini sungguh tak menunjukkan performa optimalnya. Dibandingkan dengan produksi 2016 misalnya bisa sentuh 251 ribu barel sehari. Sementara saat ini, boro-boro bisa sama dengan rekor 2016, menyentuh target APBN yang mematok produksi blok ini bisa sampai 213 ribu barel sehari pun berat.
Alhasil, blok Rokan tak lagi jadi andalan untuk produksi minyak mulai tahun depan. Pemerintah beralih ke blok Cepu yang dioperasikan oleh Exxon yang kini bisa menyalip Chevron.
Data SKK Migas menunjukkan tahun depan blok Cepu bisa sumbang 212 ribu barel dalam sehari, jauh di atas Rokan yang cuma bisa kontribusi 180 ribu barel.
![]() |
Saat beralih ke tangan Pertamina pada 2021 mendatang, bisa dibayangkan beban berat yang dilimpahkan dari Chevron untuk mengelola sumur minyak yang tua ini.
Sudahlah dibayar mahal, produksi pun terancam menurun. Tapi, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai produksi 200 ribu barel sehari masih bisa datangkan uang puluhan triliun ke Pertamina.
Ia menghitung jika sehari bisa dapat 200 ribu barel produksi, dikali dengan harga minyak asumsi US$ 60 per barel dan dikali 365 hari. "Hitungannya bisa dapat US$ 4,83 miliar atau sekitar Rp 60 triliun, itu sudah enggak usah ngapa-ngapain. Pertamina tinggal produksi minyak saja," kata Arcandra saat berbincang bersama, Selasa (28/8/2018).
Smelter Freeport dan Belitan Isu Lingkungan
Masalah yang kerap menjadi sorotan dalam pertambangan mineral adalah pemurnian dan pengolahan, pengolahan di sini termasuk dengan pengolahan limbah pertambangan atau tailing.
Saat ini, PT Freeport Indonesia sedang berurusan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya potensi kerugian kerusakan ekosistem senilai Rp 185 triliun selama tambang tersebut beroperasi.
Sampai saat ini, metode penghitungan kerugian yang ternyata hasil penelitian IPB ini masih simpang siur tindak lanjutnya. Tapi yang pasti, jika masalah lingkungan ini tak selesai, pinjaman Rp 57 triliun juga tak akan cair.
Dengan kembalinya Freeport ke pelukan RI, harapannya adalah pengolahan limbah dan kondisi lingkungan alam di Papua lebih diperhatikan. Inalum harus lebih baik dari operator sebelumnya.
Begitu juga dengan pembangunan smelter sebagai realisasi komitmen hilirisasi. Sampai saat ini perkembangan smelter Freeport masih di bawah 5,18%, bahkan lokasi masih bisa bergeser.
Freeport sebut sedang dalam tahap mengkaji pembangunan smelter bersama Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat. Sementara, mereka juga sedang membangun smelter di Jawa Timur bersama PT Smelting.
Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan studi untuk pembangunan smelter ini dilakukan sejak 2017 lalu. "Smelternya ini diusulkan oleh Amman, kalau Freeport kami kan sudah ada rencana juga di Gresik. Jadi masih studi dulu," kata Riza kepada CNBC Indonesia, usai acara buka puasa bersama, Senin (11/6/2018).
(NEXT) (RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular