4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Bertaji di Aset-Aset Mercusuar, Plin-Plan Urusan Subsidi BBM
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 18:28

Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia mengimpor terlalu banyak minyak dan gas (migas) sehingga menjadi pengimpor bersih (net importir) minyak, di tengah kenaikan konsumsi energi dalam negeri.
Namun jika kita bertanya apakah bengkaknya impor migas tersebut, yang membuat rupiah terkapar 12% sepanjang tahun berjalan ini, sedikit-banyak terpicu oleh kebijakan pemerintah? Mungkin tidak banyak yang menyadarinya.
Tim Riset CNBC Indonesia akan memaparkan analisis yang menunjukkan indikasi itu, dengan harapan pemerintah mau untuk bersikap realistis dan bukannya bersikap politis demi pertarungan pilpres tahun depan sembari mengorbankan ekonomi.
Kinerja perdagangan Indonesia pada tahun 2018 sama sekali tidak membanggakan. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,81 miliar (Rp57,88 triliun) pada periode Januari-September 2018.
Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$9,37 miliar (Rp142,35 triliun) di periode yang sama. Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,87 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat nyaris 60%.
Dari sisi volume, impor migas juga ternyata tercatat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia bukanlah variabel satu-satunya di balik kenaikan impor Indonesia atas energi utama dunia ini.
Kenaikan volume jelas mengindikasikan adanya kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Sejauh mana? Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tim Riset CNBC Indonesia menemukan fakta bahwa impor produk jadi BBM dan minyak mentah pada semester I/2018 meningkat masing-masing sebesar 8,12% dan 1,5% secara tahunan.
Apa pemicu kenaikan konsumsi BBM tersebut? Kenaikan konsumsi BBM tidak akan lepas dari pertumbuhan ekonomi. Saat aktivitas ekonomi di suatu negara berekspansi, sudah pasti permintaan akan energi pun meningkat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2018 tercatat sebesar 5,27% YoY, atau lebih kencang daripada 5,01% di kuartal I-2017. Laju ekonomi yang positif ini otomatis menjadi pendorong permintaan BBM tahun ini.
Tapi benarkah pertumbuhan ekonomi yang sehat menjadi satu-satunya peningkatan konsumsi? Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi memutuskan kembali membuka "keran" pasokan BBM jenis premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Tidak hanya itu, presiden ke-7 RI tersebut menetapkan bahwa harga BBM jenis premium itu dilarang naik, alias bertahan di harga Rp6.550/liter, setidaknya hingga tahun 2019.
Alhasil, saat BBM premium yang harganya murah kembali diguyur ke Jamali, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan melonjak. Sederhana saja, sesuai hukum penawaran-permintaan, saat harga suatu barang menjadi lebih murah, otomatis permintaan barang tersebut akan naik.
Padahal, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang nyaris mencapai Rp3.000/liter. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis premium di Jamali sejak 2015 lalu.
Terlebih, impor BBM Premium pun kian menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan defisit neraca perdagangan mungkin hanya tinggal impian.
(NEXT)
(RHG/gus)
Namun jika kita bertanya apakah bengkaknya impor migas tersebut, yang membuat rupiah terkapar 12% sepanjang tahun berjalan ini, sedikit-banyak terpicu oleh kebijakan pemerintah? Mungkin tidak banyak yang menyadarinya.
Tim Riset CNBC Indonesia akan memaparkan analisis yang menunjukkan indikasi itu, dengan harapan pemerintah mau untuk bersikap realistis dan bukannya bersikap politis demi pertarungan pilpres tahun depan sembari mengorbankan ekonomi.
Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$9,37 miliar (Rp142,35 triliun) di periode yang sama. Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,87 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat nyaris 60%.
Dari sisi volume, impor migas juga ternyata tercatat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia bukanlah variabel satu-satunya di balik kenaikan impor Indonesia atas energi utama dunia ini.
Kenaikan volume jelas mengindikasikan adanya kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Sejauh mana? Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tim Riset CNBC Indonesia menemukan fakta bahwa impor produk jadi BBM dan minyak mentah pada semester I/2018 meningkat masing-masing sebesar 8,12% dan 1,5% secara tahunan.
Apa pemicu kenaikan konsumsi BBM tersebut? Kenaikan konsumsi BBM tidak akan lepas dari pertumbuhan ekonomi. Saat aktivitas ekonomi di suatu negara berekspansi, sudah pasti permintaan akan energi pun meningkat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2018 tercatat sebesar 5,27% YoY, atau lebih kencang daripada 5,01% di kuartal I-2017. Laju ekonomi yang positif ini otomatis menjadi pendorong permintaan BBM tahun ini.
Tapi benarkah pertumbuhan ekonomi yang sehat menjadi satu-satunya peningkatan konsumsi? Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi memutuskan kembali membuka "keran" pasokan BBM jenis premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Tidak hanya itu, presiden ke-7 RI tersebut menetapkan bahwa harga BBM jenis premium itu dilarang naik, alias bertahan di harga Rp6.550/liter, setidaknya hingga tahun 2019.
Alhasil, saat BBM premium yang harganya murah kembali diguyur ke Jamali, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan melonjak. Sederhana saja, sesuai hukum penawaran-permintaan, saat harga suatu barang menjadi lebih murah, otomatis permintaan barang tersebut akan naik.
Padahal, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang nyaris mencapai Rp3.000/liter. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis premium di Jamali sejak 2015 lalu.
Terlebih, impor BBM Premium pun kian menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan defisit neraca perdagangan mungkin hanya tinggal impian.
(NEXT)
(RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular