4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Bertaji di Aset-Aset Mercusuar, Plin-Plan Urusan Subsidi BBM
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 18:28

Pemerintah sebenarnya mungkin sudah menyadari bahaya dari defisit perdagangan migas yang semakin menjadi-jadi, di kala rupiah makin terpuruk plus harga minyak dunia yang semakin mahal.
Per 10 Oktober 2018, pemerintah akhirnya menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018.
Meski demikian, untuk urusan BBM Premium, pemerintah menunjukkan sifatnya yang plin-plan. Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, tapi sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
BBM bersubsidi (seperti solar) pun tidak berani diutak-atik oleh pemerintahan Jokowi. Malah alokasi subsidi solar pun ditambah menjadi Rp2.000/liter di tahun ini, dari semula Rp 500/liter.
Akibatnya, tidak hanya menyangkut defisit neraca perdagangan (seperti yang sudah dijelaskan di atas), namun kini anggaran subsidi BBM dan kinerja keuangan Pertamina pun di ujung tanduk. Perlu diketahui bahwa meskipun BBM Premium tidak disubsidi lagi, tapi selisih harga dengan minyak dunia ditanggung oleh Pertamina.
Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target. Artinya, kuota subsidi untuk pos ini sudah jebol.
Dengan realisasi tersebut, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Kemudian, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings juga menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, meski sudah menaikkan alokasi subsidi solar, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$2 miliar (Rp30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung Pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring terus menanjaknya harga minyak mentah global.
Kedua, harga Pertamax memang sudah dinaikkan hingga empat kali di tahun ini. Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Kondisi-kondisi di atas lantas memberikan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Jokowi perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM. (RHG/gus)
Per 10 Oktober 2018, pemerintah akhirnya menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018.
BBM bersubsidi (seperti solar) pun tidak berani diutak-atik oleh pemerintahan Jokowi. Malah alokasi subsidi solar pun ditambah menjadi Rp2.000/liter di tahun ini, dari semula Rp 500/liter.
Akibatnya, tidak hanya menyangkut defisit neraca perdagangan (seperti yang sudah dijelaskan di atas), namun kini anggaran subsidi BBM dan kinerja keuangan Pertamina pun di ujung tanduk. Perlu diketahui bahwa meskipun BBM Premium tidak disubsidi lagi, tapi selisih harga dengan minyak dunia ditanggung oleh Pertamina.
Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target. Artinya, kuota subsidi untuk pos ini sudah jebol.
Dengan realisasi tersebut, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Kemudian, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings juga menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, meski sudah menaikkan alokasi subsidi solar, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$2 miliar (Rp30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung Pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring terus menanjaknya harga minyak mentah global.
Kedua, harga Pertamax memang sudah dinaikkan hingga empat kali di tahun ini. Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Kondisi-kondisi di atas lantas memberikan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Jokowi perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM. (RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular