4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Bertaji di Aset-Aset Mercusuar, Plin-Plan Urusan Subsidi BBM
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 18:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 bisa dibilang tahun emas untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), prestasinya mengakuisisi sederet aset pertambangan migas dan mineral raksasa kembali ke pangkuan ibu pertiwi patut diapresiasi.
Tidak main-main, aset-aset yang direbut adalah aset yang terklasifikasi akbar dan memiliki peran kunci dalam penerimaan negara. Aset tersebut adalah; Blok Mahakam, Blok Rokan, dan PT Freeport Indonesia.
Blok Mahakam adalah blok gas terbesar di Indonesia, blok Rokan memproduksi minyak terbanyak di RI, dan Freeport berkilau dengan tambang emas tak akan habis hingga puluhan tahun ke depan.
Jokowi pun berkali-kali tak ragu membawa nama 3 aset tambang ini sebagai bahan kampanye, menunjukkan bahwa di era kepemimpinannya ia tak gentar melawan asing. Seperti yang ia sampaikan dalam pidato kenegaraannya di Gedung MPR/DPR pada 16 Agustus 2018 lalu.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus tegas soal kedaulatan sumber daya alamnya. "Tidak sampai di situ saja. Setelah beberapa dekade berada di tangan pihak lain, Blok Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, dan mayoritas saham Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi yang sebesar-besarnya digunakan bagi kemakmuran rakyat," kata Jokowi di gedung MPR, Kamis (16/8/2018).
Sepekan sebelum ia berpidato di hadapan anggota dewan, ia juga menyampaikan pesan serupa di hadapan ribuan kyai di Bogor. Joko Widodo menegaskan upayanya merebut Blok Rokan, Blok Mahakam dan Freeport adalah usaha nyata dalam melakukan perubahan di Indonesia.
"Blok Rokan, Blok Mahakam, mayoritas Freeport, bukti bahwa kita berdaulat. Kita ingin sebesar-besarnya digunakan untuk rakyat Indonesia. Itu adalah bukti, bukan fiksi. Ini butuh dilanjutkan, butuh diteruskan untuk mentransformasi Indonesia negara maju," tegas Jokowi.
Potensi di Blok-Blok Raksasa
Blok Mahakam
Blok Mahakam resmi berpindah tangan ke Pertamina pada 1 Januari 2018 lalu. Sebelumnya blok dengan produksi gas berlimpah ini dikelola selama 50 tahun oleh kontraktor migas asal Perancis dan Jepang, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex. Pertamina diberikan 100% saham blok Mahakam ke Pertamina, tetapi tetap terbuka untuk bermitra dengan kontraktor lainnya agar bisa menggenjot produksi.
Semula, Total dan Inpex dikabarkan masih akan bertahan di blok ini dengan porsi 39%. Namun tarik ulur negosiasi porsi semakin alot dan Total mengatakan tidak jadi bermitra di blok ini.
Pertamina, kini masih mencari mitra untuk menggarap blok gas raksasa ini. Data SKK Migas per semester I-2018, produksi blok ini masih meleset dari target.
PT Pertamina Hulu Mahakam hanya mencapai 92,47%, yaitu 44.638 barel per hari dari target 48.271 barel. Sementara untuk produksi gas bumi, capaian hanya 84% yaitu 932.700 MMSCFD dari target 1,2 juta MMSCFD.
Blok Rokan
Sempat terjadi drama di balik perebutan siapa yang akan jadi pengelola di blok minyak terbesar RI ini setelah 2021 mendatang. Chevron Pasific Indonesia yang hampir seabad lamanya berada di blok ini, menginginkan untuk bertahan. Sementara PT Pertamina (Persero) mencoba peruntungan dan mengajukan proposal menandingi Chevron.
Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sampai April 2018 tercatat produksi minyak di blok Rokan mencapai 210.280,60 BOPD, dan produksi gas-nya sebesar 24,26 MMSCFD.
Tapi, menangnya Pertamina di blok Rokan bukan tanpa harga. Pertamina merogoh kocek cukup dalam untuk merebut blok Rokan dengan menawarkan bonus tanda tangan senilai Rp 11,3 triliun. Perlu dicatat, bonus tanda tangan ini wajib dibayar cash oleh Pertamina ke pemerintah sebulan setelah penandatanganan wilayah kerja.
Divestasi Freeport
Jika tak ada aral melintang, akhir tahun ini Indonesia bisa resmi kuasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Sebab, kini tinggal selangkah lagi untuk menguasai tambang emas terbesar di bumi Papua ini yakni menanti cairnya pinjaman dari sindikasi 8 bank asing untuk membayar ongkos akuisisi.
Indonesia kembali kuasai Freeport lewat Induk Holding BUMN Pertambangan PT Inalum (Persero). Harus diakui, pembentukan holding tambang untuk menghasilkan BUMN berdaya besar sehingga sanggup mengakuisisi Freeport adalah gagasan cemerlang.
Pesan Jokowi ke Menteri BUMN Rini Soemarno dan Bos Inalum Budi Gunadi Sadikin jelas, yakni RI harus kuasai Freeport tahun ini. Jangan sampai pintu divestasi yang telah dibuka, tertutup kembali seperti yang sudah-sudah.
Ongkos menguasai tambang emas ini besar, yakni US$ 3,85 miliar atau setara Rp 57 triliun dengan kurs Rp 15.000/US$. Tapi toh, kata Budi, ini sepadan dengan potensi mineral yang ada di perut tambang. Berdasar hitungan Inalum, hingga 20 tahun ke depan laba yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 508 triliun.
(NEXT) Merebut tiga aset tambang besar bukannya tanpa biaya dan risiko. Untuk akuisisi Freeport misalnya, Inalum mencari dana pinjaman ke 8 bank asing sekaligus untuk kumpulkan US$ 3,85 miliar atau Rp 57 triliun.
Bukitan duit juga dibutuhkan PT Pertamina (Persero) untuk memenangkan pertarungan dengan Chevron dalam merebut blok Rokan. Dengan tawaran bonus tanda tangan US$ 784 juta atau setara Rp 11,7 triliun ini adalah tanda tangan terbesar di dalam sejarah perminyakan Indonesia.
"Iya, Rokan itu yang terbesar sejauh ini. Sebelumnya ada di blok di Sumatra yang nilainya kalau tidak salah US$ 200 juta," tutur Wakil Menteri ESDM Arcandra kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/9/2018).
Tidak cuma itu, Pertamina juga menawarkan komitmen kerja pasti sebesar Rp7,2 triliun. Pertanyaannya, dengan imbalan 220.000 barel/hari produksi Rokan (dua kali lipat dari produksi gabungan 10 blok terminasi), wajarkah Pertamina mengeluarkan bonus tanda tangan hingga Rp 11,7 triliun? Jumlah itu nyaris 15 kali lipat dari bonus tanda tangan untuk 10 blok terminasi!
Wajar jika Chevron akhirnya takluk, karena jumlah bonus tanda tangan untuk Blok Rokan yang diajukan Pertamina begitu fantastis
Tantangan Produksi
Tantangan satu ini menjadi amanat paling berat yang harus dijaga BUMN yang bertanggung jawab atas SDA raksasa ini.
Blok Mahakam yang ditargetkan bisa sumbang 1.008 MMSCF (juta standar kaki kubik per hari), per awal Agustus 2017 baru bisa mencapai 957 MMSCFD. Pertamina sendiri memiliki anggaran cukup besar untuk blok gas raksasa ini yakni US$ 1,7 miliar. Dengan rincian belanja modal US$ 700 juta, sementara operasional porsinya lebih besar yakni US$ 1 miliar.
Angka produksi gas ini jauh dibanding yang bisa dicapai kontraktor sebelumnya, yakni Inpex dan Total, yang rata-rata produksi bisa mencapai 1.360 MMSCFD. Artinya, selama dikelola Pertamina produksi blok ini turun sekitar 30%.
Cerita serupa juga terjadi di blok Rokan. Blok yang dalam masa suburnya bisa produksi minyak ,hingga 220 ribu barel per hari ini, berdasar hitungan SKK Migas bahkan tak akan bisa sentuh level rata-rata 200 ribu barel per hari di akhir tahun nanti.
Blok yang dioperasikan oleh Chevron ini sungguh tak menunjukkan performa optimalnya. Dibandingkan dengan produksi 2016 misalnya bisa sentuh 251 ribu barel sehari. Sementara saat ini, boro-boro bisa sama dengan rekor 2016, menyentuh target APBN yang mematok produksi blok ini bisa sampai 213 ribu barel sehari pun berat.
Alhasil, blok Rokan tak lagi jadi andalan untuk produksi minyak mulai tahun depan. Pemerintah beralih ke blok Cepu yang dioperasikan oleh Exxon yang kini bisa menyalip Chevron.
Data SKK Migas menunjukkan tahun depan blok Cepu bisa sumbang 212 ribu barel dalam sehari, jauh di atas Rokan yang cuma bisa kontribusi 180 ribu barel.
Saat beralih ke tangan Pertamina pada 2021 mendatang, bisa dibayangkan beban berat yang dilimpahkan dari Chevron untuk mengelola sumur minyak yang tua ini.
Sudahlah dibayar mahal, produksi pun terancam menurun. Tapi, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai produksi 200 ribu barel sehari masih bisa datangkan uang puluhan triliun ke Pertamina.
Ia menghitung jika sehari bisa dapat 200 ribu barel produksi, dikali dengan harga minyak asumsi US$ 60 per barel dan dikali 365 hari. "Hitungannya bisa dapat US$ 4,83 miliar atau sekitar Rp 60 triliun, itu sudah enggak usah ngapa-ngapain. Pertamina tinggal produksi minyak saja," kata Arcandra saat berbincang bersama, Selasa (28/8/2018).
Smelter Freeport dan Belitan Isu Lingkungan
Masalah yang kerap menjadi sorotan dalam pertambangan mineral adalah pemurnian dan pengolahan, pengolahan di sini termasuk dengan pengolahan limbah pertambangan atau tailing.
Saat ini, PT Freeport Indonesia sedang berurusan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya potensi kerugian kerusakan ekosistem senilai Rp 185 triliun selama tambang tersebut beroperasi.
Sampai saat ini, metode penghitungan kerugian yang ternyata hasil penelitian IPB ini masih simpang siur tindak lanjutnya. Tapi yang pasti, jika masalah lingkungan ini tak selesai, pinjaman Rp 57 triliun juga tak akan cair.
Dengan kembalinya Freeport ke pelukan RI, harapannya adalah pengolahan limbah dan kondisi lingkungan alam di Papua lebih diperhatikan. Inalum harus lebih baik dari operator sebelumnya.
Begitu juga dengan pembangunan smelter sebagai realisasi komitmen hilirisasi. Sampai saat ini perkembangan smelter Freeport masih di bawah 5,18%, bahkan lokasi masih bisa bergeser.
Freeport sebut sedang dalam tahap mengkaji pembangunan smelter bersama Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat. Sementara, mereka juga sedang membangun smelter di Jawa Timur bersama PT Smelting.
Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan studi untuk pembangunan smelter ini dilakukan sejak 2017 lalu. "Smelternya ini diusulkan oleh Amman, kalau Freeport kami kan sudah ada rencana juga di Gresik. Jadi masih studi dulu," kata Riza kepada CNBC Indonesia, usai acara buka puasa bersama, Senin (11/6/2018).
(NEXT) Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia mengimpor terlalu banyak minyak dan gas (migas) sehingga menjadi pengimpor bersih (net importir) minyak, di tengah kenaikan konsumsi energi dalam negeri.
Namun jika kita bertanya apakah bengkaknya impor migas tersebut, yang membuat rupiah terkapar 12% sepanjang tahun berjalan ini, sedikit-banyak terpicu oleh kebijakan pemerintah? Mungkin tidak banyak yang menyadarinya.
Tim Riset CNBC Indonesia akan memaparkan analisis yang menunjukkan indikasi itu, dengan harapan pemerintah mau untuk bersikap realistis dan bukannya bersikap politis demi pertarungan pilpres tahun depan sembari mengorbankan ekonomi.
Kinerja perdagangan Indonesia pada tahun 2018 sama sekali tidak membanggakan. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,81 miliar (Rp57,88 triliun) pada periode Januari-September 2018.
Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$9,37 miliar (Rp142,35 triliun) di periode yang sama. Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,87 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat nyaris 60%.
Dari sisi volume, impor migas juga ternyata tercatat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia bukanlah variabel satu-satunya di balik kenaikan impor Indonesia atas energi utama dunia ini.
Kenaikan volume jelas mengindikasikan adanya kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Sejauh mana? Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tim Riset CNBC Indonesia menemukan fakta bahwa impor produk jadi BBM dan minyak mentah pada semester I/2018 meningkat masing-masing sebesar 8,12% dan 1,5% secara tahunan.
Apa pemicu kenaikan konsumsi BBM tersebut? Kenaikan konsumsi BBM tidak akan lepas dari pertumbuhan ekonomi. Saat aktivitas ekonomi di suatu negara berekspansi, sudah pasti permintaan akan energi pun meningkat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2018 tercatat sebesar 5,27% YoY, atau lebih kencang daripada 5,01% di kuartal I-2017. Laju ekonomi yang positif ini otomatis menjadi pendorong permintaan BBM tahun ini.
Tapi benarkah pertumbuhan ekonomi yang sehat menjadi satu-satunya peningkatan konsumsi? Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi memutuskan kembali membuka "keran" pasokan BBM jenis premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Tidak hanya itu, presiden ke-7 RI tersebut menetapkan bahwa harga BBM jenis premium itu dilarang naik, alias bertahan di harga Rp6.550/liter, setidaknya hingga tahun 2019.
Alhasil, saat BBM premium yang harganya murah kembali diguyur ke Jamali, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan melonjak. Sederhana saja, sesuai hukum penawaran-permintaan, saat harga suatu barang menjadi lebih murah, otomatis permintaan barang tersebut akan naik.
Padahal, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang nyaris mencapai Rp3.000/liter. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis premium di Jamali sejak 2015 lalu.
Terlebih, impor BBM Premium pun kian menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan defisit neraca perdagangan mungkin hanya tinggal impian.
(NEXT)
Pemerintah sebenarnya mungkin sudah menyadari bahaya dari defisit perdagangan migas yang semakin menjadi-jadi, di kala rupiah makin terpuruk plus harga minyak dunia yang semakin mahal.
Per 10 Oktober 2018, pemerintah akhirnya menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018.
Meski demikian, untuk urusan BBM Premium, pemerintah menunjukkan sifatnya yang plin-plan. Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, tapi sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
BBM bersubsidi (seperti solar) pun tidak berani diutak-atik oleh pemerintahan Jokowi. Malah alokasi subsidi solar pun ditambah menjadi Rp2.000/liter di tahun ini, dari semula Rp 500/liter.
Akibatnya, tidak hanya menyangkut defisit neraca perdagangan (seperti yang sudah dijelaskan di atas), namun kini anggaran subsidi BBM dan kinerja keuangan Pertamina pun di ujung tanduk. Perlu diketahui bahwa meskipun BBM Premium tidak disubsidi lagi, tapi selisih harga dengan minyak dunia ditanggung oleh Pertamina.
Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target. Artinya, kuota subsidi untuk pos ini sudah jebol.
Dengan realisasi tersebut, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Kemudian, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings juga menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, meski sudah menaikkan alokasi subsidi solar, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$2 miliar (Rp30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung Pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring terus menanjaknya harga minyak mentah global.
Kedua, harga Pertamax memang sudah dinaikkan hingga empat kali di tahun ini. Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Kondisi-kondisi di atas lantas memberikan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Jokowi perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM.
(RHG/gus) Next Article Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja
Tidak main-main, aset-aset yang direbut adalah aset yang terklasifikasi akbar dan memiliki peran kunci dalam penerimaan negara. Aset tersebut adalah; Blok Mahakam, Blok Rokan, dan PT Freeport Indonesia.
Blok Mahakam adalah blok gas terbesar di Indonesia, blok Rokan memproduksi minyak terbanyak di RI, dan Freeport berkilau dengan tambang emas tak akan habis hingga puluhan tahun ke depan.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus tegas soal kedaulatan sumber daya alamnya. "Tidak sampai di situ saja. Setelah beberapa dekade berada di tangan pihak lain, Blok Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, dan mayoritas saham Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi yang sebesar-besarnya digunakan bagi kemakmuran rakyat," kata Jokowi di gedung MPR, Kamis (16/8/2018).
Sepekan sebelum ia berpidato di hadapan anggota dewan, ia juga menyampaikan pesan serupa di hadapan ribuan kyai di Bogor. Joko Widodo menegaskan upayanya merebut Blok Rokan, Blok Mahakam dan Freeport adalah usaha nyata dalam melakukan perubahan di Indonesia.
"Blok Rokan, Blok Mahakam, mayoritas Freeport, bukti bahwa kita berdaulat. Kita ingin sebesar-besarnya digunakan untuk rakyat Indonesia. Itu adalah bukti, bukan fiksi. Ini butuh dilanjutkan, butuh diteruskan untuk mentransformasi Indonesia negara maju," tegas Jokowi.
Potensi di Blok-Blok Raksasa
Blok Mahakam
Blok Mahakam resmi berpindah tangan ke Pertamina pada 1 Januari 2018 lalu. Sebelumnya blok dengan produksi gas berlimpah ini dikelola selama 50 tahun oleh kontraktor migas asal Perancis dan Jepang, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex. Pertamina diberikan 100% saham blok Mahakam ke Pertamina, tetapi tetap terbuka untuk bermitra dengan kontraktor lainnya agar bisa menggenjot produksi.
Semula, Total dan Inpex dikabarkan masih akan bertahan di blok ini dengan porsi 39%. Namun tarik ulur negosiasi porsi semakin alot dan Total mengatakan tidak jadi bermitra di blok ini.
Pertamina, kini masih mencari mitra untuk menggarap blok gas raksasa ini. Data SKK Migas per semester I-2018, produksi blok ini masih meleset dari target.
PT Pertamina Hulu Mahakam hanya mencapai 92,47%, yaitu 44.638 barel per hari dari target 48.271 barel. Sementara untuk produksi gas bumi, capaian hanya 84% yaitu 932.700 MMSCFD dari target 1,2 juta MMSCFD.
Blok Rokan
![]() |
Sempat terjadi drama di balik perebutan siapa yang akan jadi pengelola di blok minyak terbesar RI ini setelah 2021 mendatang. Chevron Pasific Indonesia yang hampir seabad lamanya berada di blok ini, menginginkan untuk bertahan. Sementara PT Pertamina (Persero) mencoba peruntungan dan mengajukan proposal menandingi Chevron.
Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sampai April 2018 tercatat produksi minyak di blok Rokan mencapai 210.280,60 BOPD, dan produksi gas-nya sebesar 24,26 MMSCFD.
Tapi, menangnya Pertamina di blok Rokan bukan tanpa harga. Pertamina merogoh kocek cukup dalam untuk merebut blok Rokan dengan menawarkan bonus tanda tangan senilai Rp 11,3 triliun. Perlu dicatat, bonus tanda tangan ini wajib dibayar cash oleh Pertamina ke pemerintah sebulan setelah penandatanganan wilayah kerja.
Divestasi Freeport
Jika tak ada aral melintang, akhir tahun ini Indonesia bisa resmi kuasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Sebab, kini tinggal selangkah lagi untuk menguasai tambang emas terbesar di bumi Papua ini yakni menanti cairnya pinjaman dari sindikasi 8 bank asing untuk membayar ongkos akuisisi.
Indonesia kembali kuasai Freeport lewat Induk Holding BUMN Pertambangan PT Inalum (Persero). Harus diakui, pembentukan holding tambang untuk menghasilkan BUMN berdaya besar sehingga sanggup mengakuisisi Freeport adalah gagasan cemerlang.
![]() |
Pesan Jokowi ke Menteri BUMN Rini Soemarno dan Bos Inalum Budi Gunadi Sadikin jelas, yakni RI harus kuasai Freeport tahun ini. Jangan sampai pintu divestasi yang telah dibuka, tertutup kembali seperti yang sudah-sudah.
Ongkos menguasai tambang emas ini besar, yakni US$ 3,85 miliar atau setara Rp 57 triliun dengan kurs Rp 15.000/US$. Tapi toh, kata Budi, ini sepadan dengan potensi mineral yang ada di perut tambang. Berdasar hitungan Inalum, hingga 20 tahun ke depan laba yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 508 triliun.
![]() |
(NEXT) Merebut tiga aset tambang besar bukannya tanpa biaya dan risiko. Untuk akuisisi Freeport misalnya, Inalum mencari dana pinjaman ke 8 bank asing sekaligus untuk kumpulkan US$ 3,85 miliar atau Rp 57 triliun.
Bukitan duit juga dibutuhkan PT Pertamina (Persero) untuk memenangkan pertarungan dengan Chevron dalam merebut blok Rokan. Dengan tawaran bonus tanda tangan US$ 784 juta atau setara Rp 11,7 triliun ini adalah tanda tangan terbesar di dalam sejarah perminyakan Indonesia.
"Iya, Rokan itu yang terbesar sejauh ini. Sebelumnya ada di blok di Sumatra yang nilainya kalau tidak salah US$ 200 juta," tutur Wakil Menteri ESDM Arcandra kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/9/2018).
Tidak cuma itu, Pertamina juga menawarkan komitmen kerja pasti sebesar Rp7,2 triliun. Pertanyaannya, dengan imbalan 220.000 barel/hari produksi Rokan (dua kali lipat dari produksi gabungan 10 blok terminasi), wajarkah Pertamina mengeluarkan bonus tanda tangan hingga Rp 11,7 triliun? Jumlah itu nyaris 15 kali lipat dari bonus tanda tangan untuk 10 blok terminasi!
Wajar jika Chevron akhirnya takluk, karena jumlah bonus tanda tangan untuk Blok Rokan yang diajukan Pertamina begitu fantastis
Tantangan Produksi
Tantangan satu ini menjadi amanat paling berat yang harus dijaga BUMN yang bertanggung jawab atas SDA raksasa ini.
Blok Mahakam yang ditargetkan bisa sumbang 1.008 MMSCF (juta standar kaki kubik per hari), per awal Agustus 2017 baru bisa mencapai 957 MMSCFD. Pertamina sendiri memiliki anggaran cukup besar untuk blok gas raksasa ini yakni US$ 1,7 miliar. Dengan rincian belanja modal US$ 700 juta, sementara operasional porsinya lebih besar yakni US$ 1 miliar.
Angka produksi gas ini jauh dibanding yang bisa dicapai kontraktor sebelumnya, yakni Inpex dan Total, yang rata-rata produksi bisa mencapai 1.360 MMSCFD. Artinya, selama dikelola Pertamina produksi blok ini turun sekitar 30%.
Cerita serupa juga terjadi di blok Rokan. Blok yang dalam masa suburnya bisa produksi minyak ,hingga 220 ribu barel per hari ini, berdasar hitungan SKK Migas bahkan tak akan bisa sentuh level rata-rata 200 ribu barel per hari di akhir tahun nanti.
Blok yang dioperasikan oleh Chevron ini sungguh tak menunjukkan performa optimalnya. Dibandingkan dengan produksi 2016 misalnya bisa sentuh 251 ribu barel sehari. Sementara saat ini, boro-boro bisa sama dengan rekor 2016, menyentuh target APBN yang mematok produksi blok ini bisa sampai 213 ribu barel sehari pun berat.
Alhasil, blok Rokan tak lagi jadi andalan untuk produksi minyak mulai tahun depan. Pemerintah beralih ke blok Cepu yang dioperasikan oleh Exxon yang kini bisa menyalip Chevron.
Data SKK Migas menunjukkan tahun depan blok Cepu bisa sumbang 212 ribu barel dalam sehari, jauh di atas Rokan yang cuma bisa kontribusi 180 ribu barel.
![]() |
Saat beralih ke tangan Pertamina pada 2021 mendatang, bisa dibayangkan beban berat yang dilimpahkan dari Chevron untuk mengelola sumur minyak yang tua ini.
Sudahlah dibayar mahal, produksi pun terancam menurun. Tapi, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menilai produksi 200 ribu barel sehari masih bisa datangkan uang puluhan triliun ke Pertamina.
Ia menghitung jika sehari bisa dapat 200 ribu barel produksi, dikali dengan harga minyak asumsi US$ 60 per barel dan dikali 365 hari. "Hitungannya bisa dapat US$ 4,83 miliar atau sekitar Rp 60 triliun, itu sudah enggak usah ngapa-ngapain. Pertamina tinggal produksi minyak saja," kata Arcandra saat berbincang bersama, Selasa (28/8/2018).
Smelter Freeport dan Belitan Isu Lingkungan
Masalah yang kerap menjadi sorotan dalam pertambangan mineral adalah pemurnian dan pengolahan, pengolahan di sini termasuk dengan pengolahan limbah pertambangan atau tailing.
Saat ini, PT Freeport Indonesia sedang berurusan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan adanya potensi kerugian kerusakan ekosistem senilai Rp 185 triliun selama tambang tersebut beroperasi.
Sampai saat ini, metode penghitungan kerugian yang ternyata hasil penelitian IPB ini masih simpang siur tindak lanjutnya. Tapi yang pasti, jika masalah lingkungan ini tak selesai, pinjaman Rp 57 triliun juga tak akan cair.
Dengan kembalinya Freeport ke pelukan RI, harapannya adalah pengolahan limbah dan kondisi lingkungan alam di Papua lebih diperhatikan. Inalum harus lebih baik dari operator sebelumnya.
Begitu juga dengan pembangunan smelter sebagai realisasi komitmen hilirisasi. Sampai saat ini perkembangan smelter Freeport masih di bawah 5,18%, bahkan lokasi masih bisa bergeser.
Freeport sebut sedang dalam tahap mengkaji pembangunan smelter bersama Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat. Sementara, mereka juga sedang membangun smelter di Jawa Timur bersama PT Smelting.
Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan studi untuk pembangunan smelter ini dilakukan sejak 2017 lalu. "Smelternya ini diusulkan oleh Amman, kalau Freeport kami kan sudah ada rencana juga di Gresik. Jadi masih studi dulu," kata Riza kepada CNBC Indonesia, usai acara buka puasa bersama, Senin (11/6/2018).
(NEXT) Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia mengimpor terlalu banyak minyak dan gas (migas) sehingga menjadi pengimpor bersih (net importir) minyak, di tengah kenaikan konsumsi energi dalam negeri.
Namun jika kita bertanya apakah bengkaknya impor migas tersebut, yang membuat rupiah terkapar 12% sepanjang tahun berjalan ini, sedikit-banyak terpicu oleh kebijakan pemerintah? Mungkin tidak banyak yang menyadarinya.
Tim Riset CNBC Indonesia akan memaparkan analisis yang menunjukkan indikasi itu, dengan harapan pemerintah mau untuk bersikap realistis dan bukannya bersikap politis demi pertarungan pilpres tahun depan sembari mengorbankan ekonomi.
Kinerja perdagangan Indonesia pada tahun 2018 sama sekali tidak membanggakan. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,81 miliar (Rp57,88 triliun) pada periode Januari-September 2018.
Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$9,37 miliar (Rp142,35 triliun) di periode yang sama. Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,87 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat nyaris 60%.
Dari sisi volume, impor migas juga ternyata tercatat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia bukanlah variabel satu-satunya di balik kenaikan impor Indonesia atas energi utama dunia ini.
Kenaikan volume jelas mengindikasikan adanya kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Sejauh mana? Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tim Riset CNBC Indonesia menemukan fakta bahwa impor produk jadi BBM dan minyak mentah pada semester I/2018 meningkat masing-masing sebesar 8,12% dan 1,5% secara tahunan.
Apa pemicu kenaikan konsumsi BBM tersebut? Kenaikan konsumsi BBM tidak akan lepas dari pertumbuhan ekonomi. Saat aktivitas ekonomi di suatu negara berekspansi, sudah pasti permintaan akan energi pun meningkat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2018 tercatat sebesar 5,27% YoY, atau lebih kencang daripada 5,01% di kuartal I-2017. Laju ekonomi yang positif ini otomatis menjadi pendorong permintaan BBM tahun ini.
Tapi benarkah pertumbuhan ekonomi yang sehat menjadi satu-satunya peningkatan konsumsi? Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi memutuskan kembali membuka "keran" pasokan BBM jenis premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Tidak hanya itu, presiden ke-7 RI tersebut menetapkan bahwa harga BBM jenis premium itu dilarang naik, alias bertahan di harga Rp6.550/liter, setidaknya hingga tahun 2019.
Alhasil, saat BBM premium yang harganya murah kembali diguyur ke Jamali, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan melonjak. Sederhana saja, sesuai hukum penawaran-permintaan, saat harga suatu barang menjadi lebih murah, otomatis permintaan barang tersebut akan naik.
Padahal, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang nyaris mencapai Rp3.000/liter. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis premium di Jamali sejak 2015 lalu.
Terlebih, impor BBM Premium pun kian menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan defisit neraca perdagangan mungkin hanya tinggal impian.
(NEXT)
Pemerintah sebenarnya mungkin sudah menyadari bahaya dari defisit perdagangan migas yang semakin menjadi-jadi, di kala rupiah makin terpuruk plus harga minyak dunia yang semakin mahal.
Per 10 Oktober 2018, pemerintah akhirnya menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018.
Meski demikian, untuk urusan BBM Premium, pemerintah menunjukkan sifatnya yang plin-plan. Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, tapi sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
BBM bersubsidi (seperti solar) pun tidak berani diutak-atik oleh pemerintahan Jokowi. Malah alokasi subsidi solar pun ditambah menjadi Rp2.000/liter di tahun ini, dari semula Rp 500/liter.
Akibatnya, tidak hanya menyangkut defisit neraca perdagangan (seperti yang sudah dijelaskan di atas), namun kini anggaran subsidi BBM dan kinerja keuangan Pertamina pun di ujung tanduk. Perlu diketahui bahwa meskipun BBM Premium tidak disubsidi lagi, tapi selisih harga dengan minyak dunia ditanggung oleh Pertamina.
Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target. Artinya, kuota subsidi untuk pos ini sudah jebol.
Dengan realisasi tersebut, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Kemudian, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings juga menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, meski sudah menaikkan alokasi subsidi solar, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$2 miliar (Rp30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung Pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring terus menanjaknya harga minyak mentah global.
Kedua, harga Pertamax memang sudah dinaikkan hingga empat kali di tahun ini. Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Kondisi-kondisi di atas lantas memberikan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Jokowi perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM.
(RHG/gus) Next Article Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular