Internasional

Lira Anjlok Parah Akibat Terlalu Bergantung Pada Modal Asing

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
13 August 2018 12:21
Lira Anjlok Parah Akibat Terlalu Bergantung Pada Modal Asing
Foto: REUTERS/Murad Sezer
Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan mata uang dan guncangan ekonomi Turki telah mengakibatkan pelemahan di pasar berkembang dan menyebabkan kerentanan di sejumlah bank Eropa. Namun, para ahli siasat (strategists) tidak melihat pelemahan ini sebagai pemicu krisis perbankan atau keuangan yang lebih luas.

Hanya beberapa bank Eropa yang teridentifikasi sebagai investor utama di Turki, tetapi eksposur mereka tidak dianggap terlalu parah untuk memicu krisis perbankan di Eropa, kata para pakar.

[Gambas:Video CNBC]
Namun, pasar-pasar di negara berkembang yang sudah mengalami dampak penguatan dolar, kenaikan suku bunga dan perang dagang dapat tetap tertekan. Aliran keluar dari aset-aset Turki dapat menyebabkan eksodus dari negara dengan pasar berkembang terlemah semakin parah.

Bursa saham di seluruh dunia mengalami penurunan, dolar Amerika Serikat (AS) naik ke posisi tertinggi di tahun ini, mata uang di negara berkembang anjlok dan para investor mencari jalan aman ke obligasi AS dan Jerman.

Euro anjlok 1,2% di bawah US$1,14 (Rp 16.708), selama 13 bulan The Dow kehilangan 200 poin dalam perdagangan siang hari, dan imbal hasil surat utang AS tenor 10 tahun, mendekati 3% di awal pekan ini, berada di posisi 2,87% di hari Jumat (10/8/2018). Imbal hasil bergerak melawan harga.

"Risiko untuk perekonomian Turki sangat besar. Ini adalah ekonomi yang sangat bergantung pada aliran modal asing," kata William Jackson selaku Kepala Ekonom Pasar Berkembang di Capital Economics di London.

"Terkait apa maknanya untuk negara lain, mereka tidak terlalu terhubung dengan Turki. Bulgaria memiliki relasi dagang yang besar, tetapi relasi sebagian besar negara sangat kecil."

Lira kini turun 80% terhadap dolar atau turun dua digit di hari Jumat ketika Presiden Turki Tayyip Erdogan gagal meyakinkan para investor, dan justru menyebabkan eksodus dari mata uangnya lebih deras ketika dia memohon nasionalisme para warga Turki serta meminta para warga negara menukarkan dolar dan emas dengan lira.

"Saya tidak terlalu yakin Erdogan akan secepat itu mencari resolusi ke IMF [International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional]. Ada juga politik domestik yang menunjukkan, sejak setidaknya tahun 2013, dia sudah mempersiapkan hari ini dengan tidak melakukan keputusan ekonomi yang bijak tetapi menjauhkan upaya asing yang mencoba membuat Turki terpuruk," kata Steven Cook selaku senior fellow untuk kajian Timur Tengah dan Afrika di Dewan Hubungan Luar Negeri.

"Ada 37% kelompok garis keras di Turki yang mendukungnya entah apapun yang terjadi, orang-orang yang membakar dolar ketika dia mengatakan bakarlah dolar."

Penurunan mata uang lira semakin drastis di hari Jumat setelah Presiden AS Donald Trump meresmikan pelipatgandaan bea masuk logam di negara itu, melampaui sanksi AS yang sudah diterapkan untuk merespons penolakan Turki untuk membebaskan pendeta Amerika bernama Andrew Brunson. 

Ia terjaring investigasi setelah pencobaan kudeta terhadap Erdogan yang gagal di tahun 2016. Lira seketika turun 20%, kemudian diperdagangkan sekitar 17% lebih rendah.

Dalam pernyataannya di hari Jumat, Erdogan memohon kepada rakyatnya dan mencemooh barat. Dia mengklaim upaya dari luar tidak akan bisa "menghancurkan negara ini". Dia kabarnya juga mengatakan, "Alur suku bunga tidak berbeda dibanding percobaan kudeta militer". Erdogan, yang kini secara defacto mengendalikan sistem perbankan, menolak menaikkan suku bunga seraya nilai tukar mata uangnya bergejolak.

"Bahkan menaikkan suku bunga mungkin tidak cukup untuk menstabilkan situasi...Sekarang Anda memiliki kekhawatiran tentang sektor perbankan Turki. Dari analisa yang kami lakukan, luapan seharusnya relatif terbatas," kata Jackson. "Ada beberapa risiko nyata di sektor itu. Mereka memiliki ledakan kredit yang besar...Ketika Anda memiliki ledakan pinjaman yang besar, Anda bisa memperoleh kenaikan kredit macet. Anda belum melihatnya sampai sekarang. Dengan anjloknya lira, itu risiko yang besar."

Turki telah tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya, seraya bank sentral global utama khususnya The Fed beralih dari kebijakan pelonggaran uang dan menghapuskan sejumlah likuiditas yang membanjiri perekonomian global sejak krisis keuangan.

"Kita sudah melihat neraca keuangan bank sentral global mengetat dan kita sudah melihat negara berkembang, seperti yang Warren Buffet katakana, berenang tanpa sehelai benang pun," kata Mark McCormick selaku Kepala Strategi Mata Uang Amerika Utara di TD Securities. Dia mengatakan masa-masalah akan muncul di negara dengan perekonomian terlemah, misalnya saja Argentina.

Namun, para pakar mengatakan masalah Turki ini unik. Salah satu masalah terbesarnya saat ini adalah Erdogan memperoleh kekuasaan keuangan baru yang luas di pemilu bulan Juni, dan itu menjadi sentiment negatif terhadap perekonomian serta mengurangi kepercayaan investor.

"Inti dari semua ini adalah prioritas mereka. Kebijakan fiskal terlalu longgar dan kebijakan moneter terlalu longgar. Pertumbuhan terlalu kuat pada 7% tahun ini. Ketika Anda tumbuh seperti itu, Anda sudah membangun kerentanan. Impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor, membuat Turki cukup bergantung pada pinjaman asing. Itu menyebabkan situasi yang rapuh," kata Jackson.

Saham-saham bank Eropa tertekan di hari Jumat, dengan investor terbesar di Turki yang terkena dampaknya. Euro anjlok ke posisi terendah di tahun ini terhadap dolar, seraya para investor mencemaskan masalah keuangan Turki akan menular sehingga mendorong bank sentral Eropa menggunakan langkah darurat. Obligasi negara Turki terjual dengan kenaikan imbal hasil 2 tahun menjadi sekitar 24% dan imbal hasil 10 tahun lebih dari 22%.

Mata uang lain juga terjual di Afrika Selatan dan turun lebih dari 2%. Mata uang rubel di Rusia turun 1,5% dengan posisi terendah terhadap dolar selama lebih dari dua tahun.



Para pakar mengatakan pemberitaan di Financial Times hari Jumat dengan menyebutkan kekhawatiran European Central Bank (ECB) tentang tiga bank besar di Turki turut mendorong penjualan besar-besaran di sektor perbankan Eropa.

Artikel itu mengatakan Mekanisme Pengawasan Tunggal, yang memonitor bank untuk ECB, memantau relasi dengan Turki secara lebih ketat dalam beberapa bulan terakhir. 

Sebagian besar bank yang terdampak adalah BBVA dari Spanyol, Unicredit dari Italia dan BNP Paribas dari Prancis yang semuanya beroperasi di Turki.

"Nampaknya itu terbatas ke beberapa bank dan tidak terlihat menimbulkan risiko sistemis, meski tentu saja mempertimbangkan [emberitaan FT, hari ini bukanlah milik bank-bank Eropa-bahkan yang tidak terlibat sekalipun," kata Marc Chandler selaku Kepala Strategy Gaji Tetap di Brown Brohers Harriman.

Unicredit memiliki lebih dari 40% saham di bank Turki yang bernama Yapi Kredi. Sebelumnya di awal pekan ini, bank itu mengatakan kinerja Yapi Kredi baik dan bisa menyerap kerugian nilai tukar asing, menurut FT. Hal tersebut terjadi sebelum penurunan tajam euro di hari Jumat.

Demikian pula BBVA, yang memiliki hampir setengah sahamnya, dikabarkan menyebut Garanti Bank siap untuk situasi ini. Saham BBVA turun 5% di hari Jumat dan BNP Paribas anjlok 3%.

"[Erdogan] akan tetap kuat, memohon kepada Tuhan, menyalahkan Amerika Serikat dan memancing semua orang dengan membuat pengumuman besar tentang berbincang dengan Putin dan melakukan kesepakatan dengan Iran terkait sesuatu...Satu-satunya negara yang bisa membantu mereka selain barat dan institusi keuangan adalah China. Mari lihat apa yang China lakukan. Bagi saya itu lebih penting," kata Cook.

Erdogan berkata dia sudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di hari Jumat, tetapi tidak jelas apa peran yang akan dimainkan Rusia. Sementara itu, AS tetap menjadi peran kunci.

"Ketegangan yang meningkat antara AS dan Turki selama beberapa pekan terakhir akan memakan banyak waktu untuk diselesaikan," kata Jackson. "Ada delegasi dari Turki ke Washington di awal pekan ini, tetapi mereka pulang dengan tangan hampa. Ada rintangan yang cukup besar. Ketidakpastian terus membayangi, investor akan berpikir sanksi macam apa lagi yang akan diterapkan AS."

Tekanan ke Turki bisa melanjutkan beban terhadap pasar berkembang. "Ada banyak kisah negatif. Sudah ada perang dagang...perekonomian China melambat, sehingga itu membuat pasar berkembang buruk sebagai kelas aset," kata Jackson.

Chandler mengatakan pasar kini melihat ke Asia, di mana pelemahan lebih dalam terjadi di Senin pagi. Dia berhadap tekanan untuk tetap berada di pasar berkembang.

"Ini seperti banjir 100 tahun untuk Turki, tetapi Apa yang anda lakukan saat banjir selama 100 tahun, membeli lebih banyak asuransi banjir? Model quant akan menunjukkan ini adalah tindakan ekstrim, tetapi saya rasa itu saja tidak akan menarik orang-orang untuk mengambil yang terbawah," katanya.


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular