
Ada Dua Faktor Rupiah Jatuh, BI Tak Ragu Naikkan Bunga Acuan
Rivi Satrianegara & Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
13 August 2018 11:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menegaskan tak akan segan-segan melakukan intervensi, bahkan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk tetap menjaga stabilitas khususnya stabilitas nilai tukar rupiah.
Hal tersebut merespons kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus mengalami tekanan sejak awal tahun. Rupiah pada hari ini, Senin (13/8/2018), menembus level psikologis baru sebesar Rp 14.600/US$.
Demikian ditegaskan Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo melalui pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia. BI, kata dia, sudah menyiapkan berbagai langkah untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah.
"Langkah-langkah stabilisasi nilai tukar yang dilakukan selama ini akan terus dilakukan in front yaitu melalui kombinasi dual intervention di pasar valas dan obligasi," kata Dody.
"[...] Kenaikan suku bunga kebijakan, dan gradual depresiasi rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya," tegas dia.
Selain itu, bank sentral juga tetap menyeimbangkan bauran kebijakan moneter dengan tetap mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa hal yang akan terus dilakukan BI.
"Melalui relaksasi kebijakan makroprudendial, pendalaman pasar keuangan, dan pengembangan ekonomi keuangan syariah," tegasnya.
Dua Penyebab Utama
Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut ada dua faktor utama pelemahan itu. Pertama adalah defisit transaksi berjalan yang mencapai 3% atas PDB untuk kuartal II-2018.
"Selain itu krisis Turki, walaupun secara fundamental Indonesia jauh lebih baik dibanding Turki," kata Eko kepada CNBC Indonesia, Senin (13/8/2018).
Eko pun menilai pemerintah harus waspada dengan dampak kondisi Turki saat ini. Sebab, Goldman Sachs sempat memposisikan Indonesia dan Turki dalam pengelompokkan yang sama dari segi perkembangan ekonomi negara-negara MIST.
"Waspada perlu, karena ada yang mengelompokkan kita dalam MIST, yaitu Mexico, Indonesia, South Korea, dan Turki," sebut Eko.
Meski begitu, dia menilai dari segi karakteristik Indonesia cukup berbeda bila dibandingkan dengan Turki. Misal dalam bagaimana Bank Indonesia membandingkan nilai tukar atau kondisi ekonomi, lebih tepat perbandingan itu dilakukan dengan negara satu kawasan seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bank Indonesia memang kerap membandingkan pelemahan rupiah di tengah ketidakpastian perekonomian global dengan lira Turki. Namun hal itu dinilai Eko punya potensi berdampak negatif.
"Kalau dikelompokkan dengan negara yang memiliki nilai tukar buruk, maka dapat saja sentimen buruk ikut menempel ke mata uang rupuah, padahal cadangan devisa kita jauh lebih kuat dibanding Turki," jelasnya.
(dru) Next Article Biang Kerok Pelemahan Rupiah Hari Ini: Perbankan!
Hal tersebut merespons kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus mengalami tekanan sejak awal tahun. Rupiah pada hari ini, Senin (13/8/2018), menembus level psikologis baru sebesar Rp 14.600/US$.
Demikian ditegaskan Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo melalui pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia. BI, kata dia, sudah menyiapkan berbagai langkah untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah.
"[...] Kenaikan suku bunga kebijakan, dan gradual depresiasi rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya," tegas dia.
Selain itu, bank sentral juga tetap menyeimbangkan bauran kebijakan moneter dengan tetap mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa hal yang akan terus dilakukan BI.
"Melalui relaksasi kebijakan makroprudendial, pendalaman pasar keuangan, dan pengembangan ekonomi keuangan syariah," tegasnya.
Dua Penyebab Utama
Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut ada dua faktor utama pelemahan itu. Pertama adalah defisit transaksi berjalan yang mencapai 3% atas PDB untuk kuartal II-2018.
"Selain itu krisis Turki, walaupun secara fundamental Indonesia jauh lebih baik dibanding Turki," kata Eko kepada CNBC Indonesia, Senin (13/8/2018).
Eko pun menilai pemerintah harus waspada dengan dampak kondisi Turki saat ini. Sebab, Goldman Sachs sempat memposisikan Indonesia dan Turki dalam pengelompokkan yang sama dari segi perkembangan ekonomi negara-negara MIST.
"Waspada perlu, karena ada yang mengelompokkan kita dalam MIST, yaitu Mexico, Indonesia, South Korea, dan Turki," sebut Eko.
Meski begitu, dia menilai dari segi karakteristik Indonesia cukup berbeda bila dibandingkan dengan Turki. Misal dalam bagaimana Bank Indonesia membandingkan nilai tukar atau kondisi ekonomi, lebih tepat perbandingan itu dilakukan dengan negara satu kawasan seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bank Indonesia memang kerap membandingkan pelemahan rupiah di tengah ketidakpastian perekonomian global dengan lira Turki. Namun hal itu dinilai Eko punya potensi berdampak negatif.
"Kalau dikelompokkan dengan negara yang memiliki nilai tukar buruk, maka dapat saja sentimen buruk ikut menempel ke mata uang rupuah, padahal cadangan devisa kita jauh lebih kuat dibanding Turki," jelasnya.
(dru) Next Article Biang Kerok Pelemahan Rupiah Hari Ini: Perbankan!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular