Kisah Turki yang Mirip Indonesia Saat Krismon

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2018 11:55
Kisah Turki yang Mirip Indonesia Saat Krismon
Foto: REUTERS/Murad Sezer
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, pasar keuangan Asia 'meleleh'. Nilai tukar melemah, bursa saham mengkerut, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah menanjak. Semua karena satu penyebab: Turki. 

Sejak akhir pekan lalu, pelaku pasar mencemaskan situasi di Turki terutama soal depresasi mata uang mereka, lira. Pada pukul 11:03 WIB, lira Turki melemah 6,12% di hadapan dolar Amerika Serikat. Ini membuat lira terdepresiasi 31,7% sejak awal tahun. 



Investor cemas karena perusahaan-perusahaan di Negeri Kebab lumayan agresif dalam berutang. Pada akhir kuartal I-2018, total utang luar negeri Turki mencapai US$ 466,67 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
 

 

Pelemahan lira akan membuat pembayaran utang luar negeri membengkak akibat depresiasi kurs, padahal jumlah pinjamannya tidak berubah. Akibatnya adalah bisa memicu gagal bayar (default). 

Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$ 83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$ 38,4 miliar, Italia US$ 17 miliar, dan Inggris US$ 19,2 miliar. 

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar dan di Jepang US$ 14 miliar.

[Gambas:Video CNBC]
Secara fundamental, perekonomian Turki juga relatif lemah. Neraca pembayaran Turki sejak kuartal III-2015 tidak pernah merasakan surplus. Terakhir, neraca pembayaran Negeri Kebab defisit US$ 2,97 miliar pada akhir kuartal II-2018. 



Neraca pembayaran yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Turki dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Apalagi di sisi transaksi berjalan (current account) Turki juga terus mencatat defisit. Pada akhir 2017, defisit transaksi berjalan Turki mencapai 5,54% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  



Defisit transaksi berjalan yang masih besar tentu bukan kabar baik. Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sifat devisa ini lebih berkesinambungan (sustainable) ketimbang arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money

Kala pijakan devisa dari perdagangan ini tidak menudukung, maka posisi mata uang akan mudah goyah. Lira hanya mengandalkan arus modal hot money yang datang dan pergi sesuka hati. 

Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, pasar pun kemudian 'menghukum' Turki. Aset-aset berbasis lira dilepas, dan mata uang ini pun terjun bebas. Namun ternyata terpelesetnya ekonomi Turki membawa risiko baru bagi pasar keuangan global. Sebenarnya 'penyakit' yang diidap Turki saat ini agak mirip dengan Indonesia saat krisis ekonomi 1997-1998. Kala itu, korporasi begitu bernafsu dalam meminjam ke luar negeri.

Ketika dihadapkan pada depresiasi nilai tukar akibat krisis keuangan Asia, mereka pun kelimpungan. Banyak perusahaan tutup, bank-bank berguguran, pengangguran naik, dan krisis ekonomi bertransformasi menjadi krisis sosial-politik. 

[Gambas:Video CNBC]
Oleh karena itu, apa yang dialami Turki saat ini sebaiknya menjadi pelajaran bagi Indonesia. Utang luar negeri perlu mendapat perhatian, jangan sampai terlalu eksesif dan menimbulkan risiko terhadap sistem perekonomian. Upaya lindung nilai (hedging) juga perlu ditingkatkan untuk menjaga utang luar negeri dari risiko kurs. 

Selain itu, neraca pembayaran dan transaksi berjalan Indonesia juga perlu dibenahi. Pasalnya, seperti halnya Turki, Indonesia pun mencatat defisit di dua pos ini. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis NPI mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan juga masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Indonesia memang belum mengalami seperti Turki. Namun bila tidak waspada, maka bisa saja suatu saat Indonesia akan menghadapi situasi yang sama. Jika itu terjadi, maka bersiaplah menghadapi 'hukuman' pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular