
Dolar AS Tertinggi Dalam Setahun Terakhir, Harga Emas Merosot
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 August 2018 11:52

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga emas COMEX kontrak pengiriman Desember 2018 bergerak melemah sebesar 0,30% ke US$1.215,4/troy ounce, pada perdagangan hari ini Senin (13/08/2018) hingga pukul 11.28 WIB hari ini.
Dengan pergerakan itu, harga emas melanjutkan momentum pelemahan sebesar 0,34% di sepanjang pekan lalu. Energi negatif bagi harga emas pada awal pekan ini datang dari dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat hingga menyentuh titik tertingginya dalam 13 bulan terakhir.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, tercatat menguat sebesar 0,11% ke 96,46 hingga pukul 11.18 WIB. Indeks ini bahkan sempat menguat hingga level 96,505, yang merupakan nilai tertingginya sejak awal 2017.
Sepertinya pelaku pasar masih menyisakan kekhawatiran terhadap kondisi di Turki. Akhir pekan lalu, bursa saham dan mata uang global tertekan hebat akibat kisruh ekonomi di Negeri Kebab. Turki terancam krisis setelah mata uang lira anjlok ke titik terlemah sepanjang sejarah. Sejak awal tahun, lira jatuh 31,7% di hadapan dolar AS.
Penyebabnya adalah kebijakan AS kepada Turki. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50%. Aluminium juga kena bea masuk 20%.
"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter, akhir pekan lalu.
Cuitan Trump keluar setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan Erdogan menyerukan agar rakyat Turki menjual dolar AS dan emas mereka untuk menguatkan nilai tukar lira. Sesuatu yang mengingatkan kita kepada gerakan Aku Cinta Rupiah di Indonesia pada 1998, karena anjloknya nilai tukar mata uang Tanah Air.
Selain itu, pasar juga menghukum Turki karena campur tangan Presiden Erdogan yang dianggap terlalu dalam terhadap kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan memilih menantunya, Berat Albayrak, sebagai Menteri Keuangan.
Di luar faktor ekonomi, keretakan hubungan Washington-Ankara juga disebabkan seseorang bernama Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding pastur asal AS ini sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya hingga saat ini masih belum jelas. Negosiasi antara kedua pihak pun masih buntu.
Dalam situasi gunjang-ganjing seperti ini, investor lebih memilih bermain aman dengan tidak mengambil risiko. Instrumen high risk seperti saham (apalagi di negara berkembang) dilepas, untuk kemudian masuk ke mana lagi kalau bukan dolar AS.
Penguatan dolar AS juga mendapat momentum dari rilis data inflasi. Pada Juli 2018, inflasi di Negeri Paman Sam tercatat 2,9% secara tahunan (year-on-year/YoY). Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi merupakan laju tercepat sejak Februari 2012.
Laju inflasi yang semakin cepat akan menjadi pembenaran bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih agresif. Pasar kini berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan total empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali. Jika data-data ekonomi Negeri Adidaya terus positif, maka kemungkinan ke arah sana akan semakin tinggi.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal untuk pemegang mata uang asing selain greenback. Hal ini lantas mampu menekan permintaan sang logam mulia.
(gus) Next Article Tensi Perang Dagang Mereda, Harga Emas Perlahan Turun
Dengan pergerakan itu, harga emas melanjutkan momentum pelemahan sebesar 0,34% di sepanjang pekan lalu. Energi negatif bagi harga emas pada awal pekan ini datang dari dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat hingga menyentuh titik tertingginya dalam 13 bulan terakhir.
![]() |
Sepertinya pelaku pasar masih menyisakan kekhawatiran terhadap kondisi di Turki. Akhir pekan lalu, bursa saham dan mata uang global tertekan hebat akibat kisruh ekonomi di Negeri Kebab. Turki terancam krisis setelah mata uang lira anjlok ke titik terlemah sepanjang sejarah. Sejak awal tahun, lira jatuh 31,7% di hadapan dolar AS.
Penyebabnya adalah kebijakan AS kepada Turki. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50%. Aluminium juga kena bea masuk 20%.
"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter, akhir pekan lalu.
Cuitan Trump keluar setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan Erdogan menyerukan agar rakyat Turki menjual dolar AS dan emas mereka untuk menguatkan nilai tukar lira. Sesuatu yang mengingatkan kita kepada gerakan Aku Cinta Rupiah di Indonesia pada 1998, karena anjloknya nilai tukar mata uang Tanah Air.
Selain itu, pasar juga menghukum Turki karena campur tangan Presiden Erdogan yang dianggap terlalu dalam terhadap kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan memilih menantunya, Berat Albayrak, sebagai Menteri Keuangan.
Di luar faktor ekonomi, keretakan hubungan Washington-Ankara juga disebabkan seseorang bernama Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding pastur asal AS ini sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya hingga saat ini masih belum jelas. Negosiasi antara kedua pihak pun masih buntu.
Dalam situasi gunjang-ganjing seperti ini, investor lebih memilih bermain aman dengan tidak mengambil risiko. Instrumen high risk seperti saham (apalagi di negara berkembang) dilepas, untuk kemudian masuk ke mana lagi kalau bukan dolar AS.
Penguatan dolar AS juga mendapat momentum dari rilis data inflasi. Pada Juli 2018, inflasi di Negeri Paman Sam tercatat 2,9% secara tahunan (year-on-year/YoY). Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi merupakan laju tercepat sejak Februari 2012.
Laju inflasi yang semakin cepat akan menjadi pembenaran bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih agresif. Pasar kini berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan total empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali. Jika data-data ekonomi Negeri Adidaya terus positif, maka kemungkinan ke arah sana akan semakin tinggi.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal untuk pemegang mata uang asing selain greenback. Hal ini lantas mampu menekan permintaan sang logam mulia.
(gus) Next Article Tensi Perang Dagang Mereda, Harga Emas Perlahan Turun
Most Popular