Newsletter

Kekuatan Oktober sebagai "Bear Killer" Pudar, IHSG Aman?

Maesaroh, CNBC Indonesia
11 October 2022 06:05
Ilustrasi bearish market vs bullish market
Foto: Pixabay/gerd Altmann

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih melanjutkan tren negatifnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) ambruk pada perdagangan hari pertama pekan ini.

Pada perdagangan Senin (10/10/2022), IHSG ditutup melemah 0,46% ke posisi 6.994,395. Untuk pertama kalinya sejak 2 Agutus 2022, IHSG bahkan terlempar dari level psikologis 7.000.

Pelemahan IHSG juga memperpanjang tren negatifnya yang sudah berlangsung sejak Jumat pekan lalu. Dalam sepekan, IHSG juga sudah melemah 0,22% sementara dalam 3,4% dalam sebulan.

Pada awal perdagangan sesi I, IHSG langsung tergelincir 0,47% kemudian dalam beberapa menit sempat ambles 1%. Pada pukul 09.54 WIB, IHSG terpantau melemah 1,05% di 6.953.


Pada perdagangan sesi II, IHSG kembali mencoba untuk bangkit dan sempat berhasil kembali ke level psikologisnya di 7.000. Namun pada akhir perdagangan sesi II, IHSG tak mampu bertahan di level psikologis tersebut dan akhirnya mendekam di bawah kisaran level 7.000.

Sebanyak 150 saham menguat, 392 melemah sementara 157 stagnan. Nilai transaksi pada perdagangan kemarin tercatat Rp 12,3 triliun dengan melibatkan 24,3 miliar saham.

Investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 721,77 miliar di seluruh pasar.

Melemahnya IHSG tidak bisa dilepaskan dari sentimen negatif di pasar keuangan global serta terpuruknya harga batu bara.

Seperti diketahui, harga batu bara anjlok 6,8% lebih pekan lalu. Proyeksi harga batu bara juga masih suram ke depan sehingga emiten batu bara amblas.

Saham PT Bumi Resources (BUMI) ambruk 5,38%, saham PT Adaro Energy Indonesia (ADRO) anjlok 5,31%, saham PT Indo Tambangraya Megah (ITMG) ambles 4,34%, dan PT Bukit Asam (PTBA) melandai 3,26%.

Ambruknya IHSG juga tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang ketidakpastian global. Sentimen negatif datang dari bursa Amerika Serikat (AS) yang ambruk sejak Rabu pelan lalu. Data tenaga kerja AS juga semakin meningkatkan kekhawatiran jika bank sentral AS Teh Federal Reserve/The Fed akan memperpanjang kebijakan hawkishnya.   

Kekhawatiran muncul setelah Biro statistik Tenaga Kerja AS mengumumkan ada peningkatan jumlah pekerja sebanyak 263.000 pada September. Jumlah tersebut memang jauh lebih rendah dibandingkan 315.000 pada Agustus. Namun, tingkat pengangguran melandai ke 3,5% pada September 2022 dari 3,7% pada Agustus. Meskipun penambahan pekerja melandai tetapi angkanya masih terbilang solid. 

Kebijakan hawkish The Fed diperkirakan akan membuat ekonomi AS melambat bahkan terancam resesi. Dengan statusnya sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, perlambatan ekonomi AS bisa menyeret melandainya perekonomian global.

Dari dalam negeri, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September ada di angka 117,2 atau terendah dalam enam bulan terakhir. Semua kelompok pengeluaran dan usia menunjukkan penurunan optimisme.

Anjloknya optimisme secara signifikan di semua kelompok pengeluaran ini terbilang tidak biasa. Pada survei-survei sebelumnya, penurunan optimisme hanya terjadi pada beberapa kelompok tertentu saja.

Tidak hanya di Indonesia, bursa Asia Pasifik juga memerah. Pada perdagangan kemarin, Hang Seng Hong Kong ambles 2,95% dan Straits Times Singapura turun 1,22%.

Indeks ASX 200 Australia merosot 1,4% dan Indeks KOSPI Korea Selatan melemah 0,22%. Indeks Nikkei 225 Jepang libur memperingati hari kesehatan dan olah raga.



Di pasar mata uang, nilai tukar rupiah terus tersungkur di hadapan dolar AS.  Begitu perdagangan dibuka, rupiah masih melemah 0,07%, ke Rp 15.260/US$. Depresiasi bertambah menjadi 0,28% ke Rp 15.293/US$ pada Senin pukul 11:00 WIB.

Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 15.310/US$, melemah 0,39% di pasar spot, sekaligus posisi terlemah dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya sejak 29 April 2020.

Rupiah tersungkur karena dolar AS begitu perkasa di tengah ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed sebesar 75 basis points (bps) pada November mendatang.

Kenaikan suku bunga AS, terutama di tengah ketidakpastian global, semakin menguatkan status emas sebagai instrument safe haven. Dolar AS pun semakin dicari sementara sebaliknya rupiah melemah.

Indeks dolar AS ditutup menguat 0,37% ke 113,14 yang merupakan posisi terkuatnya sejak 27 September 2022. 

Di pasar SBN, yield (imbal hasil) seluruh seri SBN naik pada perdagangan Senin (10/10/2022). Meningkatnya yield SBN menandai banyaknya investor yang melepas SBN sehingga harganya turun.

Yield dengan peningkatan paling tajam ada pada seri FR0090 tenor lima tahun. Yield naik dari 6,789 pada Jumat (7/10/2022) menjadi 6,824 kemarin.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara naik 1,6 basis point (bp) menjadi 7,298% kemarin, dari 7,282% yang tercatat pada Jumat.


 

 

Beralih ke Negeri Paman Sam, kebakaran masih terjadi di Wall Street. Tiga bursa AS berakhir di zona merah untuk empat hari perdagangan beruntun.  

Indeks Dow Jones ditutup melandai 93,91 poin atau 0,32% ke posisi 29.202,88. Hal serupa terjadi pada indeks S&P 500 yang melemah 27,27 poin atau 0,75% ke 3.612,39. Nasdaq ambruk 1,04% atau 110,3 ke 10.542,1. Posisi penutupan Nasdaq adalah yang terendah sejak Juli 2020 atau dua tahun terakhir.

Kembali ambruknya bursa Wall Street dipicu oleh dua hal yakni ancaman resesi serta kebijakan Presiden AS Joe Biden terkait ekspor semikonduktor.

Sejumlah lembaga terus mengingatkan ancaman resesi di AS. Terakhir, adalah CEO JPMorgan Jamie Dimon. Dia memperkirakan AS akan jatuh ke jurang resesi dalam 6-9 bulan ke depan atau pada 2023.  AS tidak hanya mengalami perlambatan ekonomi ringan tetapi mengarah ke kondisi yang serius.

Dimon menjelaskan lonjakan inflasi, dampak perang Rusia-Ukraina, serta tren kenaikan suku bunga akan memicu inflasi dalam skala yang luas.
"(Faktor-faktor) Ini sangat..sangat... sangat serius karena bisa menekan ekonomi dunia dan AS. Eropa akan resesi dan itu akan menekan AS ke dalam resesi dalam 6-9 bulan ke depan dari sekarang," tutur Dimon, kepada CNBC International.

Saham-saham teknologi berjatuhan setelah pemerintah AS pada akhir pekan lalu memutuskan akan membatasi ekspor beberapa jenis chip AS ke China, terutama yang digunakan dalam kecerdasan buatan dan superkomputer.

Pembatasan ekspor merupakan bagian dari upaya pemerintah AS untuk menghentikan China dari kemampuannya mengembangkan kemampuan semikonduktor buatan mereka sendiri.

Ambruknya bursa AS sejak Rabu pekan lalu juga mulai mengikis kepercayaan Oktober sebagai bulan "bear killer". Dalam sejarah bursa AS bulan September identik dengan periode brutal karena bursa kerap tumbang pada bulan kesembilan. Pasar akan ada dalam kondisi "bearish" atau melemah pada bulan tersebut.

Bursa biasanya akan bangkit pada Oktober. Market AS bahkan pada umumnya tampil impresif pada bulan ke-10 di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu jeda AS atau midterm election. AS sendiri akan menggelar midterm election pada 8 November mendatang.

Dilansir dari Market Watch dan merujuk hitungan Stock Trader's Almanac, sejak 1950, pernah terjadi tujuh kali pembalikan arah yang luar biasa di bursa AS pada Oktober dari kondisi market terburuk ke kondisi yang lebih baik.
Bursa S&P 500 juga pernah mengalami kejatuhan parah pada 1974, 1986, 2001, 2022, 2008, dan 2011. Market berbalik arah menjadi positif pada Oktober tahun terrsebut, kecuali pada 2008. Tuah Oktober sebagai bulan "bear killer" pupus di tengah Krisis Financial AS.

Hitungan Stock Trader's Almanac juga menunjukkan Oktober mampu membalikkan kondisi market yang melemah "bear market" ke kondisi "bullish" sebanyak 12 kali sejak Perang Dunia II yakni pada 1946, 1957, 1960, 1962, 1966, 1974, 1987, 1990, 1998, 2001, 2002, dan 2011.

Namun, banyak analis mengingatkan jika fenomena Oktober sebagai "bear killer" tidak boleh ditelan mentah-mentah. Periode 2008 menjadi pengalaman yang perlu diperhatikan apalagi kondisi tahun ini juga sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

 "Bursa saham pasti memiliki tahun-tahun yang sulit dan kita tidak boleh menggampangkan tahun tersebut. Ada perubahan-perubahan dalam kondisi makro yang menekan perdagangan saham. Jujur saja, untuk tahun ini, sangat sulit memproyeksi kondisi dalam beberapa bulan ke depan," tutur

Anthony Saglimbene, chief markets strategist dari Ameriprise Financial, seperti dikutip dari Market Watch.

Ekonomi AS dan fenomena bear killerFoto: market watch
Ekonomi AS dan fenomena bear killer

 

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Sayangnya, sentimen yang menyelimuti bursa pada hari ini lebih banyak bernada negatif.

Ambruknya bursa Wall Street tentu saja akan menjadi perhatian besar pelaku pasar di bursa efek Indonesia. Semakin menguatnya isu resesi di AS dan global juga bisa membebani kinerja IHSG.

Dengan masih memburuknya kinerja bursa AS dan proyeksi ekonomi maka prospek ekonomi dalam negeri pun akan terimbas.

Proyeksi JPMorgan mengenai resesi AS yang sangat serius dan akan terjadi dalam 6-9 bulan ke depan bisa berdampak ke ekonomi Indonesia melalui jalur perdagangan dan pasar keuangan.

AS adalah tujuan eksportir terbesar kedua Indonesia setelah China. Perlambatan ekonomi di AS akan menekan ekspor yang pada akhirnya mengancam pertumbuhan.

Belum lagi dampak kebijakan The Fed yang akan berimbas ke pasar keuangan domestik.  Ekonom Goldman Sach memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali lagi hingga akhir 2023.  Bank sentral Negara Paman Sam kemudian akan menahan suku bunga di kisaran 4,25-4,50% hingga 2024.

Goldman Sach memproyeksi The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps baik pada November dan Desember. The Fed kemudian akan menaikkan suku bunga dalam ukuran yang lebih kecil pada 2023 sebelum memangkasnya pada 2024.
Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 bps pada tahun ini menjadi 3,00-3,25% pada September.
 

Melemahnya harga batu bara juga akan membayangi kinerja emiten batu bara. Setelah ambruk 6,8% pada pekan lalu, harga batu bara kembali melemah 0,04% pada perdagangan Senin (10/10/2022).
Sebagai catatan, ambruknya harga batu bara menjadi salah satu faktor anjloknya kinerja IHSG pada Senin kemarin.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan data penjualan ritel untuk Agustus dan proyeksi untuk September. Menarik ditunggu apakah data penjualan sudah terdampak oleh lonjakan inflasi dan kenaikan harga BBM.

Mandiri Spending Index menunjukkan laju inflasi telah menahan belanja masyarakat. Tingkat belanja di tiga minggu pasca kenaikan harga BBM sedikit lebih rendah dibanding sebelum kenaikan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui situasi perekonomian saat ini tengah bergejolak. Dia pun minta semuanya untuk waspada tetapi tidak boleh gentar dalam menghadapinya.

"Perkembangan dunia yg sangat bergejolak tentu perlu diwaspadai, namun tidak berarti kita gentar, kita tetap optimis namun waspada," kata Sri Mulyani dalam pembukaan Profesi Keuangan Expo 2022, Senin (10/10/2022).

CEO Yugen Bertumbuh Sekuritas William Surya Wijaya IHSG juga mengingatkan IHSG masih memiliki peluang menguat. Di tengah koreksi yang terjadi saat ini, investor bisa memanfaatkan kesempatan untuk menambah portofolio.  Dia memperkirakan IHSG akan bergerak di kisaran 6872 - 7137.

"Mengingat kondisi perekonomian yang cukup stabil terlihat dari data-data perekonomian yang terlansir serta proyeksi perbaikan perekonomian di tengah mulai bergeraknya ekonomi ke arah normal, hari ini IHSG berpeluang menguat," tutur William Surya, dalam analisisnya.

 

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  •          Laporan Survei Penjualan Ritel Agustus 2022 (11:00 WIB)
  •          Peluncuran Sail Tidore 2022 di Auditorium Kementerian Perdagangan. Turut hadir Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan (10:30 WIB)

Berikut beberapa agenda korporasi:

  •          Tanggal cum Dividen Tunai Interim Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
  •          Tanggal cum Dividen Tunai Interim Astra International Tbk (ASII)
  •          Tanggal cum Dividen Tunai Interim Indo Kordsa Tbk (BRAM)
  •          RUPS Rencana Bumi Resources Tbk (BUMI) Pukul 11:00 WIB
  •          Tanggal akhir perdagangan waran pasar tunai PT SUMBER ENERGI ANDALAN Tbk (ITMA)
  •          Tanggal DPS Dividen Tunai Interim Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (SSMS)

Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

alah sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (September 2022 YoY)

5,95%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022)

4,25%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

(3,92% PDB)

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022)

(1,1%) PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (September 2022)

US$ 130,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular