Newsletter

Sakitnya Amerika Bisa Menular ke Indonesia! Semoga Tidak Lama

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 August 2022 06:10
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan pasar finansial Indonesia pada pekan lalu dipengaruhi isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, dan kejutan dari Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuannya.

Hasilnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus menghentikan penguatan 5 pekan beruntun, rupiah mampu mencatat penguatan, dan Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi.

Pada perdagangan Senin (29/8/2022), pasar finansial Indonesia berpeluang akan kompak. Namun, kompak melemah. Sebabnya, ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang mengatakan Negeri Paman Sam kemungkinan akan mengalami "beberapa rasa sakit" ke depan.

"Beberapa penderitaan" tersebut bisa saja merembet ke Indonesia, terutama di pasar finansial. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini, termasuk pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell, tersebut akan dibahas di halaman 3, 4, dan 5.

Kembali pada pergerakan pekan lalu, IHSG tercatat melemah 0,52% ke Rp 7.135,248. Dengan demikian, IHSG gagal mencatat penguatan 6 pekan beruntun. Sebelumnya, bursa kebanggaan Tanah Air ini sudah menguat 5 pekan beruntun dengan total 7,8%.

Isu kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar menguat setelah Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dua minggu lalu mengatakan pemerintah akan mengumumkan harga BBM.

Alhasil, IHSG langsung jeblok 0,9% di awal pekan lalu, beruntung masih mampu dipangkas.

Kenaikan harga BBM subsidi bisa memicu inflasi yang tinggi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian.

Namun, hingga Jumat kemarin pemerintah tidak mengumumkan kenaikan tersebut.

Sumber dari lingkup pemerintahan kepada CNBC Indonesia mengatakan masalah kenaikan harga BBM subsidi masih dibicarakan, dan memberikan sedikit bocoran kenaikan harga.

"Kemungkinan di bawah Rp 10.000/liter," kata sumber tersebut, pada Jumat (26/8/2022).

Sementara itu rupiah mampu menguat 0,13% melawan dolar AS ke Rp 14.815/US$. Tidak sekedar menguat, hanya rupiah dan ringgit Malaysia yang mampu menguat di bandingkan mata uang utama Asia lainnya pada pekan lalu.

Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega yang menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin membuat rupiah lebih bertenaga.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,5%," ungkap Perry dalam jumpa pers usai RDG BI Agustus, Selasa (23/8/2022).

Inflasi yang diprediksi meningkat menjadi salah satu alasan BI menaikkan suku bunga.

BI memperkirakan inflasi umum pada keseluruhan 2022 akan mencapai 5,2%. Sementara inflasi inti diperkirakan bisa menembus level 4,15%.

"Pada akhir tahun ini bisa lebih tinggi 4,15% itu adalah inflasi inti dan dengan perkembangan itu, inflasi IHK di atas 5% atau 5,24%," jelasnya.

Meski suku bunga dinaikkan dan inflasi meningkat, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi masih akan tinggi.

"(Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022) sudah tinggi yaitu 5,44%, ini lebih tinggi dari perkiraan BI yang 5,1%. Pada kuartal III-2022 juga tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari kuartal II-2022," kata Perry, Selasa (23/8/2022).

Permintaan domestik, lanjut Perry, sudah cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Pada kuartal III-2022 bisa mencapai 5,5%," ungkapnya.

Dengan demikian, proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2022 akan berada di batas atas kisaran 4,5-5,3%.

Dalam paparan hasil rapat RDG, BI pun menegaskan akan mengerahkan seluruh instrumen yang dimilikinya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Selain mempengaruhi rupiah, keputusan BI serta isu kenaikan BBM membuat pasar obligasi bervariasi. SBN tenor 3 tahun, 10 tahun, 25 dan 30 tahun menguat terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Sementara tenor lainnya mengalami pelemahan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Ambrol, Dow Jones Minus 1.000 Poin

Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street ambrol pada perdagangan Jumat (26/8/2022) waktu setempat. Penyebabnya, siapa lagi kalo bulan ketua The Fed Jerome Powell.

Melansir data Refinitiv, indeks Dow Jones anjlok lebih dari 1.000 poin atau 3% ke 32.283,4. S&P 500 dan Nasdaq lebih parah lagi, masing-masing merosot 3,4% dan 3,9% ke 4.057,66 dan 12.141,71.

Powell yang berbicara di simposium Jackson Hole membuat pasar ketar-ketir. Powell menegaskan masih akan terus menaikkan suku bunga dengan agresif hingga inflasi melandai.

Alhasil, harapan Powell akan sedikit mengendurkan kenaikan suku bunga pun sirna, resesi Amerika Serikat semakin di depan mata.

"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan membutuhkan stance yang ketat dalam waktu yang lama. Catatan sejarah sangat menentang pelonggaran kebijakan moneter yang prematur," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/8/2022).

"Kami percaya The Fed, kami percaya apa yang mereka katakan mengenai suku bunga akan tinggi untuk waktu yang lama, dan kami melihat beberapa mengantisipasi pemangkasan suku bunga di 2023," kata Zach Hill, kepala manajemen portofolio di Horizon Investment, sebagaimana dilansir CNBC International.

Hill menyatakan banyak yang akan terjadi ke depannya, dan memicu volatilitas di pasar saham.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Jebloknya Wall Street tentunya menjadi pertanda buruk bagi pasar finansial Indonesia. Pernyataan Powell benar-benar memukul sentimen pelaku pasar. Ia memperingatkan perekonomian Amerika Serikat akan mengalami "beberapa rasa sakit".

Wall Street pun langsung merasakan penderitaan tersebut dengan jeblok dan berisiko merembet ke IHSG, termasuk rupiah dan SBN.

"Saat suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah maka akan membawa inflasi turun, itu juga akan memberikan beberapa kesakitan bagi rumah tangga dan dunia usaha. Itu adalah biaya yang harus kita tanggung guna menurunkan inflasi. Memang menyakitkan, tetapi kegagalan menurunkan inflasi berarti penderitaan yang lebih besar akan terjadi," kata Powell.

Pernyataan Powell tersebut mengindikasikan risiko resesi yang dihadapi Amerika Serikat, Wall Street pun rontok.

Inflasi di Amerika Serikat sudah menunjukkan tanda-tanda mencapai puncaknya, tetapi dengan pernyataan Powell tersebut, pasar melihat tren penurunan inflasi masih belum akan terjadi dalam waktu dekat.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed pada Juli tercatat tumbuh 6,3% year-on-year (yoy), turun dari bulan sebelumnya 6,8% (yoy). Meski menurun, tetapi masih di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 4,6% (yoy), lebih rendah dari sebelumnya 4,8% (yoy).

Powell mengatakan, The Fed tidak akan terpengaruh dengan data selama satu atau dua bulan, dan masih akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi mendekati target 2%.

Artinya, The Fed akan tetap bertindak agresif di tahun ini sampai ada tanda-tanda inflasi melandai. The Fed sepertinya mengorbankan perekonomian demi menurunkan inflasi, ketimbang membiarkannya terus lepas kendali.

Memang, salah satu cara cepat untuk menurunkan inflasi adalah resesi. Ketika resesi terjadi, maka dari sisi demand akan terjadi penurunan yang pada akhirnya menurunkan inflasi.

"Resesi adalah 'setan' yang diperlukan dan satu-satunya cara untuk segera menurunkan inflasi, di mana masyarakat tidak menjadi lebih miskin akibat tingginya harga-harga. Tidak perlu resesi yang besar, karena itu terjadi saat krisis finansial, saat ini keuangan rumah tangga masih kuat," kata Phiilip Marey, ahli strategi senior di Rabobank.

Di kuartal II-2022, perekonomian AS sebenarnya mengalami kontraksi. Hal yang sama terjadi di kuartal sebelumnya. Hal tersebut biasanya disebut sebagai inflasi, tetapi Powell yang banyak ekonom menyatakan ekonomi AS tidak resesi melihat pasar tenaga kerja yang kuat.

Namun, Powell sudah menyatakan pasar tenaga kerja melemah, dan perekonomian AS akan merasakan "beberapa penderitaan" yang menjadi indikasi The Fed melihat resesi akan terjadi.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Dampak dari penderitaan Amerika Serikat akan sangat terasa di pasar finansial Indonesia. Jebloknya Wall Street berisiko menyeret IHSG.

Kemudian The Fed yang tetap agresif menaikkan suku bunga akan membuat yield obligasi AS (Treasury) menanjak, alhasil ada risiko capital outflow di pasar obligasi akan terus terjadi.

Rupiah pada akhirnya akan jeblok. Meski demikian, dampak dari penderitaan AS diharapkan tidak akan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebab, di sektor riil, perekonomian Indonesia masih kuat.

Meski demikian, tantangan semakin besar apalagi dengan kemungkinan kenaikan BBM Pertalite dan Solar.

Jika itu terjadi, maka inflasi berisiko melesat. Isu kenaikan Pertalite dan Solar di awal September juga akan mewarnai pergerakan pasar finansial Indonesia.

Misalnya jika Petralite dinaikkan menjadi Rp 10.000/liter, maka kenaikannya sekitar 30%. Kenaikan tersebut akan sama dengan tahun 2013 dan 2014 ketika pemerintah menaikkan BBM Premium masing-masing sekitar 30%. Kala itu, jumlah penduduk miskin langsung meningkat drastis.

Pada 2013, pemerintah menaikkan BBM Premium sebesar 30% pada bulan Juni 2013, harga pangan yang masuk dalam inflasi harga bergejolak melesat 11,46% (yoy) di bulan yang sama. Sebulan setelahnya inflasi harga bergejolak makin tinggi 16,2%.

Alhasil, jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 28,07 juta orang. Pada September naik menjadi 28,55 juta orang, atau bertambah 480.000 orang.

Setahun kemudian, pemerintah sukses menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 27,73 juta orang, atau berkurang 820.000 orang pada September 2014.

Namun, pemerintah kembali menaikkan harga Premium sebesar 34% pada November 2014, inflasi kembali meroket, jumlah penduduk miskin pun kembali bertambah.

Berdasarkan data dari BPS, pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin sebanyak 28,59 juta orang, bertambah 860.000 orang dibandingkan September 2014.

Melihat korelasi tersebut, bukan tidak mungkin kenaikan harga BBM Pertalite akan menambah jumlah penduduk miskin hingga 1 juta orang.

Kondisi tersebut jelas menggambarkan dampak negatif kenaikan BBM ke perekonomian Indonesia.

Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat, oleh karena itu BI saat itu agresif mengerek suku bunga guna menurunkan inflasi.

BI harus mengerek suku bunganya sebanyak 5 kali dengan total 175 basis poin menjadi 7,5%.

Pada 2014, BI pun kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%.

Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.

Di sisi lain, suku bunga tinggi membuat ekspansi dunia usaha melambat,

Alhasil pelambatan ekonomi pun terjadi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini (3)

Sementara itu, Bahana Sekuritas dalam catatannya kepada investor mengungkapkan bahwa banyak investor saham dan obligasi yang memperkirakan koreksi pasar dari kenaikan harga BBM akan bersifat sementara.

"Walaupun kebijakan tersebut dapat meningkatkan inflasi, menaikkan suku bunga, dan merugikan konsumsi rumah tangga dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan menghilangkan kebijakan menggantung yang membuat orang asing enggan membeli aset dalam rupiah," papar Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro dan tim dalam tulisannya, Jumat (26/8/2022).

Sejauh ini, investor asing memandang bahwa rendahnya inflasi di Indonesia sebagai hal yang artificial karena pemerintah mengelontorkan subsidi jumbo untuk mengamankan harga energi.

Pandangan ini melekat karena Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak bersih yang secara konsisten mencatat defisit fiskal dan menghabiskan lebih dari 15% pendapatan negaranya hanya untuk mensubsidi bahan bakar.

Satria dan tim mengarisbawahi perihal konsensus pasar yang meyakini jika inflasi Indonesia melampaui antara 6% atau bahkan 7% akibat kenaikan harga bahan bakar, setiap aksi jual aset rupiah dapat diredam.

Lebih lanjut, Satria juga melihat kenaikan harga BBM akan menekan imbal hasil obligasi, sementara pasar saham diperkirakan menguat setelah pengumuman.

"Kami melihat kenaikan harga bahan bakar sangat penting untuk menarik kembali investor ke pasar obligasi rupiah, yang telah mencatat arus keluar asing bersih selama tiga tahun berturut-turut," tegasnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Data penjualan ritel Australia (8:30 WIB)
  • Data indeks harga produsen, harga impor dan harga ekspor Singapura (12:00 WIB)


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

5,44%

Inflasi (Juli 2022 YoY)

4,94%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022)

3,75%

Surplus Anggaran (APBN 2022 per Juli)

0,57% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY)

1,1% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (Juli 2022)

US$ 132,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular