
Powell Buat Ekonomi AS 'Sakit' Demi Jinakkan Inflasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell dalam pidatonya di simposium Jackson Hole pada Jumat (26/8/2022) malam waktu Indonesia membuat gempar di kalangan pelaku pasar.
Pasalnya, Powell menyampaikan komitmen tegasnya untuk menghentikan inflasi, sekaligus memperingatkan bahwa ia mengharapkan The Fed untuk terus menaikkan suku bunga dengan cara yang akan menyebabkan "kesakitan" pada ekonomi AS.
Dalam pidatonya Powell menegaskan bahwa The Fed akan "menggunakan alat kami dengan paksa" untuk menurunkan inflasi yang masih mendekati level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun.
Bahkan dengan serangkaian empat kenaikan suku bunga berturut-turut dengan total 2,25 poin persentase, Powell mengatakan ini tidak akan berhenti bersikap keras, meskipun suku bunga acuan mungkin berada di sekitar area yang dianggap tidak stimulatif atau membatasi pertumbuhan.
"Sementara suku bunga yang lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih lambat, dan kondisi pasar tenaga kerja yang lebih lemah akan menurunkan inflasi, hal itu juga akan membawa rasa sakit di sektor rumah tangga dan bisnis," kata Powell dalam sambutan yang telah disiapkan.
"Ini adalah biaya yang tidak menguntungkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan berarti penderitaan yang jauh lebih besar," tambahnya.
Komentar Powell tersebut membuat bursa saham AS, Wall Street kembali berjatuhan, di mana pada perdagangan Jumat pekan ini, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 3,03% ke posisi 32.283,4, S&P 500 anjlok 3,37% ke 4.057,66, dan Nasdaq Composite longsor 3,94% menjadi 12.141,71.
Pernyataan itu muncul di tengah perkiraan pasar akan tanda-tanda bahwa inflasi mungkin telah mencapai puncaknya. Tetapi, pejabat The Fed menduga bahwa tanda-tanda pelandaian inflasi belum akan terjadi dalam waktu dekat, menggarisbawahi bahwa inflasi belum mencapai puncaknya.
Padahal, data pengukur yang diawasi ketat, yakni inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) dan inflasi PCE (personal consumption expenditure), menunjukkan adanya penurunan pada Juli lalu, di mana sebagian besar karena penurunan tajam dalam biaya energi.
Pada saat yang sama, bidang ekonomi lainnya melambat. Perumahan khususnya, jatuh dengan cepat dan para ekonom memperkirakan bahwa lonjakan besar dalam perekrutan pekerja selama satu setengah tahun terakhir kemungkinan akan mendingin.
Namun, Powell memperingatkan bahwa fokus The Fed lebih luas dari satu atau dua bulan kedepan dan akan terus mendorong ke depan sampai inflasi bergerak turun mendekati sasaran jangka panjang 2%.
"Kami memindahkan sikap kebijakan kami dengan sengaja ke tingkat yang akan cukup membatasi untuk mengembalikan inflasi ke 2%," ujar Powell.
"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan akan memerlukan mempertahankan sikap kebijakan yang membatasi untuk beberapa waktu. Catatan sejarah sangat memperingatkan terhadap kebijakan pelonggaran prematur," tambahnya.
Sebelumnya, perekonomian AS mengalami kontraksi pada kuartal I-2022 dan kuartal II-2022, menandakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam terkena resesi secara teknikal.
Namun, Powell dan para pejabat serta beberapa para ahli seperti Menteri Keuangan AS, Janet Yellen belum mengakui bahwa ekonomi AS mengalami resesi. Mereka melihat bahwa ekonomi AS yang mendasarinya masih cenderung kuat, meski secara angka dalam dua kuartal beruntun mengalami kontraksi.
"Intinya, Powell dengan jelas menyatakan bahwa saat ini, memerangi inflasi lebih penting daripada mendukung pertumbuhan," kata Jeffrey Roach, kepala ekonom di LPL Financial, sebagaiman dikutip dari CNBC International.
Sementara, para pemimpin The Fed, termasuk Powell, sering menggunakan simposium Jackson Hole sebagai kesempatan untuk menguraikan perubahan kebijakan secara luas.
Saat ini, pasar sedang menunggu pertemuan The Fed berikutnya yang akan digelar pada September mendatang, untuk melihat apakah para pejabat The Fed yang menetapkan suku bunga akan memberlakukan kenaikan 75 basis poin (bp) selama tiga kali.
Powell mengatakan keputusan itu akan tergantung pada totalitas data yang masuk dan prospek yang berkembang. Pada titik tertentu, ketika sikap kebijakan moneter semakin ketat, kemungkinan akan menjadi tepat untuk memperlambat laju kenaikan.
Para pelaku pasar melihat suku bunga akan condong naik 75 bp. Berdasarkan perangkat CME FedWatch terbaru, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 50 bp ke 2,75-3% adalah 39%. Sementara kemungkinan kenaikan 75 bp adalah 61%.