Newsletter

Jika Rupiah Tembus Rp 17.000/US$, Jangan Samakan dengan 1998

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 March 2020 06:38
Jika Rupiah Tembus Rp 17.000/US$, Jangan Samakan dengan 1998
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri sekali lagi mengalami aksi jual pada perdagangan Senin (23/3/2020).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles lagi pada perdagangan Senin (23/3/2020) hingga mengakhiri perdagangan di bawah level 4.000 untuk pertama kalinya dalam nyaris 7 tahun terakhir.

Perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali diberhentikan selama 30 menit (trading halt) setelah IHSG ambles 5,01% pada pukul 14:52 WIB. Ini merupakan kali ke-lima perdagangan mengalami trading halt sejak dua pekan lalu.

Setelah perdagangan kembali dibuka, IHSG mampu memangkas pelemahan, mengakhiri perdagangan di level 3.989,517 melemah 4,9%. Ini menjadi pertama kalinya IHSG menutup perdagangan di bawah 4.000 sejak 27 Agustus 2013.

Pada Jumat (19/3/2020) IHSG sempat ambles ke bawah level 4.000, tetapi berhasil bangkit dan mencatat penguatan lebih dari 2%. Tetapi sepanjang pekan lalu, IHSG ambles 14,52%. Penurunan nyaris 15% tersebut menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan.

Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara year-to-date (YTD) hingga hari ini sebesar Rp 10,22 triliun di all market.



Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 naik 14,6 basis poin (bps) ke 8,245%, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2019.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.



Ini berarti sejak awal tahun hingga pekan lalu terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun. Dampaknya nilai tukar rupiah terus tertekan sepanjang bulan ini, Senin kemarin ambles lagi 4.05% ke Rp 16.550/US$ kemarin, bahkan sebelumnya sempat menyentuh level terlemah intraday Rp 16.620/US$.

Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 17 Juni 1998, kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.800/US$, sekaligus merupakan rekor terlemah sepanjang masa.



Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.

Aksi jual sebenarnya terjadi di pasar finansial global, tidak hanya Indonesia. Tetapi akibat besarnya capital outflow, rupiah menjadi terpukul.

Pandemi virus corona (COVID-19) yang penyebarannya semakin masif membuat perekonomian global melambat, bahkan berisiko mengalami resesi. Aksi jual pun tak terelakkan. Bahkan emas, yang merupakan aset aman (safe haven) juga mengalami aksi jual. Para pelaku pasar ini dikatakan lebih memilih uang tunai dibandingkan berinvestasi.

Lonjakan kasus kini tidak hanya terjadi di Eropa dan AS, Asia kembali mengalaminya.

Pada hari Minggu, India telah mendaftarkan 341 kasus virus corona, dengan tujuh kematian. Per hari ini, Senin (23/3/2020) jumlah kasus di India bertambah 55 menjadi 596 mengacu pada data kompilasi John Hopkins University CSSE.



Semua distrik di ibukota New Delhi akan di lockdown, sementara pemerintah negara bagian Maharashtra, rumah bagi pusat keuangan India, Mumbai, meminta semua aktivitas bisnis yang tidak memiliki urgensi tinggi untuk ditutup hingga 31 Maret. Bank dan bursa efek akan tetap terbuka.

"Kepanikan melanda India karena ada kebijakan lockdown," kata Vinod Nair, kepala penelitian di Geojit Financial Services. "Ada kekhawatiran bahwa situasinya tidak akan segera terkendali," tambahnya melansir Reuters.

Akibatnya aksi jual masif menerpa bursa saham India.

Sementara itu aksi jual kembali menerpa bursa saham Singapura setelah terjadi lonjakan kasus COVID-19. Tercatat hingga saat ini sudah ada 455 kasus, dengan 2 orang meninggal dunia dan 144 sembuh.

Untuk meredam penyebaran COVID-19, Pemerintah Singapura mulai hari ini melarang pengunjung jangka pendek masuk ke negaranya.

Laju penyebaran COVID-19 di Singapura sebelumnya sudah mengalami pelambatan signifikan, tetapi sejak pekan lalu terjadi penambahan yang signifikan akibat kasus impor, atau menyebar dari orang yang datang dari luar negeri.

"Di Singapura, hampir 80 persen dari kasus COVID-19 baru di negara kami selama tiga hari terakhir diimpor, kebanyakan dari mereka adalah warga Singapura dan pemegang Kartu Jangka Panjang yang pulang dari luar negeri. Kasus impor dari mereka yang terpapar ini memiliki riwayat perjalanan ke 22 negara yang berbeda," tulis MOH.

Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 579 kasus positif, dengan 49 orang meninggal dan 30 orang dilaporkan sembuh. Angka tersebut diprediksi masih akan bertambah, bahkan cukup signifikan mengingat pemerintah akan melakukan rapid test.

Pandemi COVID-19 benar-benar membuat arah pasar finansial berbalik, bahkan pertumbuhan ekonomi global tahun ini yang sebelumnya lebih baik dari tahun lalu kini malah terancam mengalami resesi.

IHS Markit memprediksi perekonomian global di tahun ini hanya akan tumbuh sebesar 0,7%. Melansir CNBC International, pertumbuhan ekonomi global di bawah 2% diklasifikasikan sebagai resesi global.

Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.

[Gambas:Video CNBC]




Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street kembali merosot pada perdagangan Senin (23/3/2020), meski tidak separah hari-hari sebelumnya. Senat AS yang kembali gagal mencapai kesepakatan untuk menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai jumbo membuat Wall Street merosot.

Indeks Dow Jones memimpin penurunan sebesar 3,1%, disusul S&P 500 -2,9%, dan Nasdaq melemah cukup tipis 0,3%.

CNBC International melaporkan untuk kedua kalinya dalam waktu 24 jam, Senat AS gagal menyepakati rancangan undang-undang (RUU) guna mengucurkan stimulus fiskal senilai triliunan dolar AS. Padahal Menteri Keuangan AS, Stephen Mnuchin, sebelumnya mengatakan sudah "sangat dekat" untuk menyelesaikan RUU tersebut.

Pembahasan RUU tersebut masih berlangsung, tetapi pelaku pasar melihat semakin lama stimulus dikucurkan, ekonomi AS akan semakin tertekan.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebelumnya juga sudah memberikan stimulus moneter dengan membabat habis suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) menjadi 0-0,25% serta mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Tetapi pasar melihat kebijakan The Fed tersebut belum cukup untuk mendorong perekonomian, dan menanti stimulus fiskal dari Pemerintah di Washington.



"Meski kebijakan The Fed memberikan bantuan yang besar, satu-satunya jalan akan pasar bisa menunjukkan penguatan yang berkelanjutan adalah ketika perekonomian bangkit kembali atau setidaknya ada jalur yang nyata jika hal tersebut akan terjadi" kata Paul Hikey dari Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.

Sepanjang pekan lalu, Indeks Dow Jones ambles 17%, mencatat pekan terburuk sejak Oktober 2008 ketika merosot 18,2%. Indeks S&P 500 ambles lebih dari 13% dan Nasdaq -12,6%. Keduanya juga mencatat pekan terburuk sejak krisis finansial 2008.

Tidak hanya itu, Indeks Dow Jones sepanjang bulan Maret sudah ambrol 27% dan kemungkinan akan membukukan kinerja bulanan terburuk sejak September 1931, sementara S&P 500 -25% menuju kinerja terburuk sejak bulan Mei 1940.

David Kostin, ahli strategi pasar AS di Goldman Sachs mengatakan perbedaan cepat atau lamanya pemulihan pasar saham akan tergantung dari tiga hal: seberapa cepat pandemi dapat dihentikan, apakah perusahaan akan mendapat akses untuk mendapatkan modal dan likuiditas dalam 90 sampai 120 hari ke depan, dan apakah stimulus fiskal mampu menstabilkan proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Jumat pekan lalu, ekonom di Goldman Sachs memprediksi ekonomi Paman Sam akan mengalami kontraksi hingga 24% di kuartal II-2020, sementara di kuartal I kontraksi diramal sebesar 6%. Ekonomi AS diprediksi akan bangkit di semester II tahun ini, dengan pertumbuhan masing-masing 12% dan 10% di kuartal III dan IV. Wall Street yang masih memerah sekali lagi berisiko memicu aksi jual di pasar Asia hari ini, termasuk Indonesia.

Pesatnya penyebaran COVID-19 menyebabkan banyak pemerintah mengkarantina wilayah (lockdown) bahkan negaranya guna meredam tingkat penyebaran pandemi ini. Akibatnya, aktivitas ekonomi menjadi menurun drastis sehingga muncul risiko resesi. Akibatnya, aksi jual di bursa saham global tak terhindarkan.

Sepanjang tahun ini, Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia sudah kehilangan nyaris sepertiga nilainya. Indeks Dow Jones ambrol 34,85%, S&P 500 -30,75%, dan Nasdaq -23,54%.

Ketika kiblat bursa saham dunia ambrol seperti itu, maka wajar saja pasar saham Asia termasuk IHSG juga ikut merosot.



Aksi jual sepertinya masih akan terjadi pada perdagangan hari ini, Apalagi lonjakan kasus COVID-19 kembali terjadi di beberapa negara Asia, tentunya membuat sentimen pelaku pasar semakin memburuk.

Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE hingga pagi ini, sudah lebih dari 160 negara terpapar COVID-19, dengan lebih dari 370.000 kasus. Jumlah korban meninggal tercatat lebih dari 16.000 orang, sementara yang sembuh lebih dari 100.000 orang.

Jika aksi jual kembali terjadi di pasar keuangan RI, rupiah berisiko mencapai rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$ bahkan bisa dilewati hingga ke Rp 17.000/US$, melihat volatilitas tinggi yang terjadi beberapa hari terakhir.

Rekor terlemah rupiah terjadi saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998. Tetapi kondisi saat ini tentunya berbeda dengan sebelum era reformasi tersebut. Seandainya rupiah mencapai Rp 17.000/US$ maka pelemahan rupiah sejak awal tahun menjadi sekitar 22%. Sementara pada periode 1997-1998 pelemahan rupiah lebih dari 500%.

Perbedaannya sangat signifikan, sehingga tidak bisa dibandingkan meski nilai tukar rupiah mencetak rekor terlemah baru.

Untuk diketahui, jika melihat pergerakan intraday memang level terlemah sepanjang sejarah rupiah Rp 16.800/US$, tetapi jika melihat level penutupan perdagangan, saat ini Mata Uang Garuda sudah berada di rekor terlemah sepanjang sejarah.



Apalagi penyebab rontoknya rupiah, IHSG serta obligasi Indonesia adalah pandemi COVID-19, yang juga menimbulkan hal yang sama di negara-negara lain. Stimulus fiskal dan moneter sudah digelontorkan di berbagai negara termasuk Indonesia guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Memang efeknya belum terlihat di pasar keuangan saat ini yang masih terus mengalami aksi jual akibat kecemasan akan terjadinya resesi global.

Tetapi, ketika penyebaran COVID-19 berhasil dihentikan, maka pertumbuhan ekonomi akan terakselerasi dengan cepat akibat berbagai stimulus yang digelontorkan. Lihat saja bagaimana Goldman Sachc memprediksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini, berkontraksi 6% dan 24% di kuartal I dan II, kemudian tumbuh 12% dan 10% di kuartal III dan IV.

Ketika sang rakasasa ekonomi dunia bangkit, maka pertumbuhan ekonomi global akan terkerek naik dan keluar dari resesi. Apalagi raksasa ekonomi dunia lainnya, China, sudah mulai bangkit setelah penyebaran COVID-19 berhasil ditekan. Bahkan jumlah kasus baru di kota Wuhan, asal mula COVID-19 sudah 0.

CNBC International melaporkan perusahaan-perusahaan sudah mulai beroperasi kembali, meski masih belum penuh.


Bursa berjangka (futures) Wall Street yang menghijau pagi ini menjadi kabar bagus bagi pasar Asia. Indeks Dow Jones futures menguat 1,65%, S&P 500 futures 1,46% dan Nasdaq futures 1,26%. Memang volatilitas pasar sedang tinggi dan indeks berjangka tersebut bisa masuk ke zona merah dalam sekejap, tetapi dengan menghijau di pagi ini setidaknya memberikan harapan dan pelaung penguatan bagi bursa saham Asia, termasuk IHSG hari ini.

Apalagi jika di tengah perdagangan sesi Asia nanti ada kabar bagus dari Senat AS, misalnya dengan menyetujui gelontoran stimulus fiskal senilai triliunan dolar AS. Tentunya hal tersebut akan mengangkat sentimen pelaku pasar.

Semua negara yang terpapar COVID-19 mulai menggelontorkan stimulus. Ketika dunia berhasil mengalahkan COVID-19, pasar keuangan RI juga akan kembali bangkit. Apalagi melihat performa di bulan Januari lalu, dimana rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia berkati capital inflow yang besar. Itu artinya di awal tahun, para pelaku pasar optimistis dengan pertumbuhan ekonomi RI.



Rupiah di awal tahun ini disebut sebagai "kesayangan" para pelaku pasar, oleh analis Bank of America Merril Lynch, Rohit Garg, dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu," kata Garg. Dia menambahkan rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan dari pemulihan ekonomi global serta kenaikan harga komoditas.

Gard juga mengatakan selain karena pemulihan ekonomi global, Bank Indonesia (BI) yang terbuka pada tren penguatan rupiah juga menjadi salah satu alasan rupiah menjadi "kesayangan" pelaku pasar, membuatnya menjadi mata uang terbaik pada bulan Januari lalu.

Pandemi COVID-19 akhirnya membuat semua berbalik arah, aksi jual di pasar saham dan obligasi Indonesia membuat capital outflow nyaris Rp 100 triliun YTD. Rupiah yang sebelumnya mata uang terbaik di dunia, malah menjadi yang terburuk di Asia. 




Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.

Rupiah memang sedang terpuruk saat ini, bahkan menjadi mata uang yang terburuk di Asia. Tetapi melihat optimisme di awal tahun, ketika pertumbuhan ekonomi perlahan normal kembali, pasar keuangan RI akan kembali bangkit, dan capital inflow kembali bisa menopang penguatan rupiah.


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • PMI Manufaktur & Jasa Perancis (15:15 WIB)
  • PMI Manufaktur & Jasa Jerman (15:30 WIB)
  • PMI Manufaktur & Jasa Zona Euro (15:15 WIB)


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar




TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular